Oleh: Dr. Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat yang berlangsung pada tanggal 8 November tahun ini cukup mengejutkan dunia internasional. Hal itu tidak terlepas dari munculnya sosok kontroversial Donald Trump, kandidat dari Partai Republik, sebagai pemenang. Donald Trump mengalahkan kandidat populer dan berpengalaman dalam dunia birokrasi, Hillary Clinton. Hillary komudian gagal mencatatkan dirinya sebagai presiden perempuan pertama dari negara kampiun demokrasi tersebut.
Kemenangan Trump ini menimbulkan kekhawatiran dunia internasional, terutama dunia Islam karena sejak kampanye Trump seringkali mengeluarkan pernyataan politik yang akan membatasi imigran dari dunia Islam masuk ke Amerika. Tidak heran, respons dunia internasional sangat negatif begitu Trump dipastikan memenangi pilpres Amerika berdasarkan electoral vote yang melebihi 270 suara. Respons negatif itu terlihat dengan langsung anjloknya harga saham Eropa tidak lama setelah Trump memeroleh suara electoral vote yang melebihi 270 suara. Nilai tukar dollar Amerika juga jatuh.
Di dalam negeri, aksi massa terus berlangsung hingga hari ini yang memrotes terpilihnya Trump sebagai Presiden AS ke-45. Hal ini tentu jarang terjadi dalam demokrasi Amerika yang menganut paham demokrasi bahwa suara rakyat suara Tuhan. Bahwa mereka tidak menerima hasil pemilihan yang demokratis itu menunjukkan adanya protes terhadap ‘suara Tuhan’ dan ini menjadi catatan tersendiri akan adanya cacat dari demokrasi Amerika yang terkenal sebagai negara kampiun demokrasi tersebut. Negara yang selama ini aktif mengajari dunia internasional untuk kehidupan yang demokratis. Demokrasi diyakini sebagai momentum bagi partisipasi rakyat untuk memilihi pemimpin terbaik.
Pertanyaannya adalah apakah Trump adalah sosok terbaik untuk memimpin negara sebesar Amerika bahkan dunia? Adanya respons negatif dari dunia internasional begitu Trump dinyatakan menang dalam pemilihan Presiden Amerika dan juga demonstrasi penolakan yang berlangsung hingga hari ini menjadi catatan adanya noda hitam dalam demokrasi Amerika.
Catatan Hasil Pilpres
Hasil dari daur ulang demokrasi negeri Paman Sam tersebut yang di luar dugaan memberikan beberapa catatan penting. Pertama, sejak Partai Demokrat resmi mencalonkan Hillary Clinton sebagai kandidat presiden dan juga Donlad Trump memenangi konvensi Partai Republik untuk mendapatkan tiket ke Gedung Putih, Hillary, dari berbagai survei, selalu unggul dari Trump. Bahkan satu hari menjelang pemilihan berlangsung, Reuters/Ipsos dalam surveinya menyebutkan bahwa Hillary unggul 5 persen dari Trump, atau 44 persen berbanding 39 persen (Kompas, 8/11/2016).
Ternyata suara rakyat Amerika berbeda dengan hasil survei beberapa lembaga kredibel. Lembaga survei yang selama ini dibangun di atas fondasi metodologi ilmiah yang bertahun-tahun dapat dipertanggungjawabkan validitas dan hasilnya. Adalah Trump yang berhasil menjungkirbalikkan ‘kebenaran ilmiah’ yang selama ini disembah oleh berbagai lembaga survei, bahkan di negara yang menjadi pusat peradaban dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan hari ini. Maka catatannya adalah sehebat apapun Amerika mengembangkan sains dan teknologinya, bahkan sampai ke luar angkasa, sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkannya juga dapat menuai kekeliruan. Dan dunia pasti mencatat itu. Jika pembacaan lembaga survei kredibel di Amerika saja keliru, lalu bagaimana dengan lembaga survei di negara lain yang berguru ke Amerika, termasuk Indonesia?
Catatan kedua (lanjutannya), kemenangan Trump yang menyebarkan kekhawatiran ke dunia Internasional boleh jadi sebagai simbol kekalahan serta keruntuhan sains dan ilmu pengetahuan yang berpusat di Amerika. Juga hasil dari daur ulang demokrasinya tidak memunculkan pemimpin terbaik untuk Amerika dan dunia. Yang menang adalah Trump yang langsung membuat dollar Amerika melemah dan juga harga saham Eropa jatuh, ditambah lagi dengan munculnya aksi-aksi demonstrasi yang menolak Trump di dalam negeri.
Sangat berbeda dengan terpilihnya Obama tahun 2008 silam yang disambut hangat oleh dunia internasional. Trump justru disambut dengan ketakutan, mungkin karena ia adalah president of fear. I Basis Susilo, dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, menuliskan di harian Kompas, 10 November 2016, bahwa kemenangan ini adalah awal dari kemunduran Amerika, “Trump dan Awal Kemunduran Amerika”. Kemundurannya karena sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkannya keliru besar dan kedua adalah demokrasinya tidak menghasilkan figur yang terbaik.
Dr. Ahmad Sahide. Dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta.