Oleh: Dr. Ahmad Sahide*
Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
~WS. Rendra
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Apa kabar Indonesia kita? Jawabannya tentu tidak terlalu menggembirakan. Lihat saja, setiap hari masyarakat disuguhi berita mengenai elite yang terjerat kasus korupsi. Seolah korupsi adalah budaya yang tak lekang oleh zaman. Rakyat lelah membaca berita tentang korupsi, tetapi sebagian besar elite tak pernah lelah melakukan korupsi. Jika Milan Kundera, dari Republik Ceko, mengatakan bahwa politik adalah seni untuk mengabadikan diri, maka di Indonesia hari ini punya jargon yang berbeda, korupsi adalah seni berpolitik.
Pada tahun 2016 ini kasus Panama Papers, salah satunya, sempat menghebohkan perbincangan publik, setelah terungkapnya sejumlah tokoh ternama di Tanah Air dalam Panama Papers. Dilanjutkan dengan perbincangan kasus tax amnesty bagi orang-orang kaya yang menyimpan uangnya di luar negeri demi menghindari membayar pajak kepada negara.
Parahnya, sejumlah nama yang tercatut dalam Panama Papers adalah tokoh, pejabat publik, atau yang sedang bermanuver untuk menduduki jabatan publik tertentu di republik ini. Tokoh-tokoh itu tentulah tiap hari mengucapkan kata ‘nasionalisme’, baik itu kepada bawahannya maupun kepada awak media. Harapannnya, publik tahu atau (setidaknya) mempunyai persepsi bahwa tokoh tersebut mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi sehingga layak mendapatkan jabatan publik.
Kasus Panama Papers membongkar nasionalisme semu yang diteorikan oleh banyak tokoh tersebut selama ini. Nasionalisme mereka hanyalah sebatas kata-kata. Buktinya, mereka menyimpan uangnya di luar negeri dengan maksud menghindari pajak. Seandainya saja uang dalam jumlah besar itu tidak dilarikan ke luar negeri, pajak yang mereka bayarkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 sebanyak 11,13 persen (28,51 juta jiwa).
Tapi sudahlah, mari kita berhenti berandai-andai. Tokoh yang menguasai perputaran ekonomi di Indonesia juga pada beramai-ramai untuk tidak membayar pajak. Dan negara tidak dapat berbuat banyak sebab tokoh tersebut adalah pejabat publik atau ketua partai politik. Kalau mereka bukan keduanya, maka mereka sedang membidik untuk menjadi pejabat publik. Agenda utamanya adalah mengamankan bisnisnya yang ‘bebas pajak’ di balik retorika nasionalisme.
Tidak perlu dijelaskan bagaimana nantinya jika figur-figur seperti ini yang menjadi pemimpin di republik ini. Kita semua sudah punya jawabannya masing-masing. Mereka akan memperkuat dinasti bisnisnya yang ‘bebas pajak’. Visi dan misinya adalah untuk masuk dalam nominasi orang terkaya di dunia, yang dapat disejajarkan dengan Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan lain-lain.
Jika itu tercapai, mereka akan mengabarkan kepada masyarakat Indonesia bahwa dirinyalah yang berhasil menggaungkan nama Indonesia di pentas dunia. Dan itulah nasionalisme dalam versi mereka. Tidak perduli bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia kurang lebih 28 juta jiwa. Cukup untuk mendirikan negara sendiri. Malaysia saja jumlah penduduknya hanya kurang lebih 30 juta jiwa, sedikit lebih banyak dari jumlah penduduk miskin di republik ini
Tak menanti perubahan
Jika kabar tentang Indonesia seperti yang dipaparkan di atas, dapatkah kita membangun optimisme menanti datangnya perubahan di republik ini? Rakyat telah melakukan pemberontakan dengan memilih untuk tidak memilih (24, 89 persen) pada pemiliu 2014 lalu (Viva.co.id). Sementara dalam pilkada serentak 2015 lalu, beberapa daerah mempunyai persentase golput yang cukup tinggi, hampir 50 persen, sebagai contoh Denpasar, Bali, dengan angka golput 44 persen (Tribun Regional, 22/12/2015).
Tingginya persentase golput dalam daur ulang demokrasi ini menjadi jawaban bahwa rakyat kini telah pesimis menanti datangnya perubahan yang direkayasa oleh elite (pemimpin). “Siapapun pemimpinnya, tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan kita ini, rakyat biasa!” kalimat-kalimat ini seringkali terlontar dari masyarakat bawah dalam merespons daur ulang demokrasi di Indonesia. Rakyat sudah tidak lagi menanti datangnya perubahan dari pemimpinnya. Alarm yang harus dibaca oleh elite, jika tidak, ke depan pemberontakannya bukan lagi semata golput tetapi dengan melakukan tindakan-tindakan kriminal.
Jadilah active citizen
Mari berhenti berharap untuk datangnya perubahan sosial dari elite (pemimpin). Kalaupun ada pemimpin yang muncul dengan kemampuan menghadirkan optimisme, itu hanya segelintir, seperti Tri Rismaharini di Surabaya, Nurdin Abdullah di Bantaeng, Ridwan Kamil di Bandung, serta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang fenomenal. Sebagian besar pemimpin tidak menghadirkan optimisme, tidak melakukan perubahan di masyarakat. Jabatan publik hanyalah sebatas gengsi, wibawa, dan juga kebanyakan untuk membangun dinasti perekonomian.
Yang perlu kita lakukan hari ini adalah menjadi warga negara yang aktif melakukan gerakan-gerakan perubahan sosial. Bukan hanya menjadi warga negara yang pasif menunggu datangnya perubahan itu dari pemimpin atau sama sekali tidak menanti dan memimpikan perubahan itu datang. Semangat warga negara yang aktif ini yang harus digelorakan kepada masyarakat luas. Butet Manurung telah memberikan contoh sebagai warga negara yang aktif melakukan gerakan-gerakan perubahan di masyarakat dengan Sokola Rimba yang digagasnya. Anis Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru saja diganti, bersama dengan teman-temannya yang menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar sejak 2010 menjadi contoh yang lain.
Beberapa gerakan-gerakan perubahan sosial lainnya yang muncul dari bawah dan diinisiasi oleh masyarakat di berbagai daerah. Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, sejak 2010 berdiri komunitas Boetta Ilmoe yang mendorong anak-anak muda, termasuk anak-anak SMA, untuk giat membaca dan menulis. Di Jambi, juga muncul gerakan sosial yang sama. Yanti Budiyanti mendorong munculnya penulis cilik dari Jambi. Berawal dari mendirikan rumah baca untuk merangsang anak-anak tetangga agar suka membaca pada tahun 2010. Yanti lalu mengembangkan kegiatan pelatihan menulis gratis bagi anak-anak SD.
Di Malang, Jawa Timur, Eko Cahyono juga sudah lama menghidupkan gerakan membaca dan penulisan melalui Perpustakaan Anak Bangsa milikinya. Di Pare, Kediri, juga ada komunitas sama yang digerakkan oleh Uun Nurcahyanti, Direktur kursusan bahasa Inggris SMART English Course.
Inilah beberapa contoh gerakan-gerakan perubahan yang dilakukan oleh warga negara yang aktif, bukan warga negara yang pasif. Jika semangat warga negara aktif (active citizen) kita galakkan di masyarakat Indonesia di seantero Tanah Air, maka kita pun perlu membangun optimisme untuk datangnya perubahan sosial. Tugas kita semua hari ini adalah kampanye untuk membangun spirit active citizen. Kini waktunya untuk mengambil gerakan perubahan, bukan menanti perubahan karena perjuangan, kata Rendra, adalah pelaksanaan kata-kata.
Semoga semangat ini bergelora saat rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke merayakan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus beberapa hari yang lalu.
Ahmad Sahide. Dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis buku “Kekuasaan dan Moralitas”.