Oleh : Dr. H Abdullah Hehamahua, S.H., M.M.*
EDUNEWS.ID– Pada seri ketiga yang lalu, sudah dikomunikasikan, korupsi menurut al-Qur’an, as-Sunnah, dan pernyataan para sahabat. Di seri keempat ini, dikomunikasikan korupsi menurut hukum positif di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hukum positif di Indonesia telah mengatur masalah korupsi. Aturan yang paling utama adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Di UU ini, perbuatan korupsi diatur dalam bab II mengenai tindak pidana korupsi yang terdiri dari 19 pasal. Secara garis besar, di UU ini, dirumuskan 30 bentuk perbuatan yang termasuk korupsi yang dapat diklasifikasi menjadi 7 keluarga besar korupsi, yakni:
- Perbuatan yang Merugikan Keuangan/Perekonomian Negara
Sering kita baca di surat kabar dan media online, atau mendengar di berita radio dan tv, seorang tersangka/terdakwa kasus korupsi atau keluarganya mengatakan, mereka tidak menikmati uang korupsi yang disangkakan/dituduhkan. Mereka lupa, sekalipun tidak menikmati uangnya, tetapi jika telah terjadi kerugian keuangan/perekonomian negara disebabkan perbuatan, tindakan atau kebijakan mereka, hal tersebut sudah terkategori sebagai korupsi. Tentunya, perbuatan, tindakan atau kebijakan mereka tersebut, bertentangan dengan peraturan per-undang-undangan yang ada. Sebab, sekalipun mereka tidak menikmatinya, tetapi ada pihak lain yang menikmati uang tersebut, baik individu maupun suatu korporasi. Yang penting, jika unsur-unsur yang dimaksud di pasal ini (pasal 2 dan pasal 3) terpenuhi, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Unsur-unsur dimaksud dalam korupsi jenis pertama ini adalah:
- Setiap orang (baik individu maupun korporasi)
- Perbuatan melawan hukum, atau
- Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
- Memperkaya/menguntungkan diri (baik diri sendiri, orang lain maupun korporasi)
- Dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara
- Suap Menyuap
Suap menyuap ini dikenal di masyarakat dalam dua bentuk, yait
Suap Menyuap Aktif
Suap menyuap aktif itu misalnya, seorang pelanggan datang ke kantor laya-nan publik untuk suatu urusan. Apakah pengurusan SIM, STNK, paspor, kir mobil, impor eksport, kenaikan pangkat/golongan sampai dengan ijin usaha. Pelanggan ini langsung menyerahkan amplop berisi sejumlah uang dengan maksud agar urusannya segera diselesaikan. Pelanggan jenis ini biasanya memi-liki dua kondisi.
Pertama, persyaratan yang harus dimiliki untuk suatu urusan, tidak terpenuhi. Kasus yang sering terjadi adalah pengiriman TKW ke luar negeri yang masih di bawah umur. Saya pernah bertemu seorang pembantu rumah di Selangor, Malaysia yang baru tamat SD di pulau Jawa yang berbahasa Indonesia pun kurang lancar. Dia hanya lancar berbahasa Jawa. Ini berarti, perusahaan penyalur TKW, menyuap petugas yang berkaitan dengan identitas diri sehingga dia dapat dikirim sebagai pembantu rumah di Malaysia.
Kedua, pelanggan yang menyuap ini, tidak mau lama antri karena banyak urusan lain yang mesti dikerjakan. Atau dia seorang tokoh masyarakat, politisi atau pejabat yang merasa risih, malu, gengsi atau tidak mau capek untuk antri dengan masyarakat umum lainnya.
Suap Menyuap Pasif
Suap menyuap pasif lebih banyak berbentuk janji-janji. Misalnya, dalam kampanye Pilpres, Pemilu, Pemilukada, kandidat mengatakan, jika dirinya atau partainya menang, setiap penduduk akan diberikan modal usaha dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dan tanpa agunan. Atau, kalau dilantik sebagai komisaris, direktur BUMN/BUMD, Deputi, Kepala Biro, akan diberikan mobil, motor atau sejumlah uang atau saham perusahaan. Seorang tersangka menjanjikan hadiah rumah, mobil atau sejumlah uang kalau penyidik menetapkan pasal yang ancaman hukumannya paling rendah. Demikian pula, seorang terdakwa men-janjikan rumah, mobil atau sejumlah uang kalau jaksa penuntut umum menuntut hukuman yang paling minimal. Bahkan Hakim pun dijanjikan oleh terdakwa atau pengacara, sejumlah barang atau uang kalau Hakim menjatuhi hukuman mini-mal, apalagi sampai membebaskan terdakwa. Korupsi jenis ini juga dilakukan oleh siswa dan mahasiswa atau orang tua mereka agar anaknya dinaikan kelas, lulus atau memeroleh nilai yang bagus.
Korupsi jenis ini diatur dalam lima pasal, yaitu: pasal 5; pasal 6; pasal 11, pasal 12; dan pasal 13;
- Penggelapan
Sering kita saksikan atau baca di media massa, bendahara kantor atau pimpinan proyek ditangkap aparat penegak hukum karena menggelapkan uang kantor atau uang proyek. Sejatinya, bendahara, pembantu bendahara atau juru bayar di kantor pemerintah, tidak berniat untuk mengorupsi uang kantor. Tetapi disebabkan dia tidak mempunyai simpanan uang sementara anaknya sedang sakit keras atau anak mau ujian/ulangan umum atau di rumah sudah tidak ada persediaan beras, pegawai ini mengambil seratus atau dua ratus ribu rupiah. Niatnya, begitu menerima gaji, langsung diganti
Ternyata, sewaktu gajian, keperluan bertambah karena sakit anak belum sembuh atau harga barang di pasar naik. Disebabkan sistem pengawasan yang buruk dari administrasi pemerintah, yaitu tidak ada opname kas bulanan atau mingguan, apalagi harian, maka jumlah uang yang “dipinjam” bendahara/bendahara pembantu/juru bayar ini menjadi puluhan juta rupiah. Ketika audit akhir tahun, baik yang dilakukan BPKP maupun BPK, barulah diketahui bahwa ada kekurangan uang kantor. Korupsi jenis ini diatur dalam pasal 8, 9 dan 10
- Pemerasan
Di lapangan, anggota masyarakat sering mengeluh tentang pemerasan yang dilakukan pejabat atau pegawai publik. Hanya saja, pemerasan itu terjadi, dapat disebabkan karena perilaku buruk dari pegawai pelayan publik, tetapi dapat juga karena kebodohan pelanggan. Olehnya, perlu dikomunikasikan bahwa, dalam ke-nyataannya, ada dua jenis pemerasan, yaitu:
Pemerasan Aktif
Pemerasan aktif adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan seorang pegawai pelayan publik atau pejabat terhadap pelanggan, baik sebelum maupun selama proses pengurusan. Misalnya, ketika seseorang mau mengurus SIM, STNK, Paspor atau ijin usaha, pelanggan diminta sejumlah uang terlebih dahulu sebelum melayani atau menyelesaikan urusan pelanggan tersebut. Padahal dalam ketentuan resmi, tidak ada bayaran seperti itu. Jika pelanggan tidak menyerahkan apa yang diminta, urusannya tidak diselesaikan sementara dia sangat memerlukan.
Ada kisah lucu di salah satu kantor imigrasi. Kepada pelanggan, pegawai dengan santai bertanya: “bapak mau jalan tol atau jalan biasa.?” Dengan heran pelanggan balik bertanya, “jalan tol itu bagaimana.?” Pegawai menjelaskan, jalan tol adalah urusan paspor dapat selesai hari itu juga. Syaratnya, harus membayar Rp. 1 juta. ”Kalau jalan biasa.?” Pegawai kembali menerangkan bahwa, jalan biasa ada-lah pengurusan paspor secara normal, yaitu waktu yang diperlukan adalah se-minggu dan bayarannya hanya Rp.250.000.”
Mengenai pemerasan aktif ini, hasil survei integritas yang dilakukan KPK pada tahun 2009 ditemukan data-data berikut: Pegawai yang meminta secara langsung ke pelanggan mencapai jumlah 42%. Pegawai yang meminta biaya tambahan melalui pihak lain mencapat 11%;
Pemerasan Pasif
Korupsi jenis ini biasa terjadi dalam urusan layanan publik. Katakanlah, seorang pelanggan, A, datang ke kantor layanan publik sejak pukul 07.00 pagi, lengkap dengan seluruh berkas sebagaimana yang ditetapkan kantor layanan publik tersebut. Pada pukul 08.45 pagi misalnya, datang pelanggan yang lain, B, untuk urusan yang sama. Ternyata, beberapa menit kemudian, B mendapat panggilan sementara A yang datang lebih dahulu, belum memeroleh giliran. Tentu saja, A heran lalu mendekati B setelah orang ini meninggalkan loket urusan. “Saya sudah menunggu sejak pukul 07.00, tetapi belum dipanggil. Kok anda yang baru datang beberapa menit lalu, sudah dipanggil,?” tanya A dengan heran bercampur kesal. Dengan santai, B balik bertanya, “tadi bapak masukan amplop ke dalam mapnya tidak.?” “Oh,” reaksi A sambil kembali ke tempat duduknya. Kesal karena lama me-nunggu sementara sudah ada jadwal kegiatan yang lain, A mencari amplop kosong dan memasukan sejumlah uang. Dia menghampiri loket di mana mapnya berada di bagian paling bawah di tumpukan map pelanggan dan memasukan amplopnya. Mengetahui bahwa A memasukan amplop ke dalam map, tak berapa lama kemudian, pegawai pelayan publik memanggil namanya. Selesailah urusan. !!!
Apa yang terjadi dalam contoh kasus ini biasa terkenal dengan ungkapan, “kalau dapat dipersulit, mengapa harus dipermudah ?.” Masalah pemerasan atau yang dalam masyarakat lebih dikenal sebagai pungli ini, dua kali dialami isteri saya. Kali pertama, ketika beliau mengurus mutasi motor yang dibeli di Jakarta Timur untuk digunakan di Depok. Di Samsat Jakarta Timur, beliau diminta bayaran Rp 75.000, tanpa tanda terima. Mengetahui hal itu, saya perintahkan isteri kembali ke Samsat untuk meminta tanda terima atas uang yang dibayar tersebut. Ternyata, menurut pegawai Samsat, tidak ada kwitansi untuk bayaran Rp 75.000 tersebut. Mendengar penjelasan itu, isteri saya menyerahkan kwitansi yang sudah disediakan sejak di rumah untuk ditanda-tangani. Tetapi, tidak ada pegawai yang mau menanda-tangani dengan alasan, pegawai yang bertanggung jawab atas masalah tersebut sedang keluar kantor. “Tidak apa pak, saya tunggu,” respons interi saya. Sambil menunggu, ada pegawai yang menanyakan, di LSM apa, isteri saya aktif. Dengan jujur, sang isteri mengakui bahwa, beliau hanya seorang ibu rumah tangga. Beliau juga tidak menyebutkan bahwa, suaminya adalah seorang Penasihat KPK. Beberapa menit kemudian, seorang pegawai keluar dari ruangan dan menyerahkan amplop kepada isteri saya. “Ini bu, uangnya kemarin, diambil kembali saja,” katanya sambil menyerahkan ampop yang berisi Rp 75.000 kepada isteri saya.
Pengalaman kedua ketika isteri mengurus pindah alamat STNK mobil di Samsat Cinere. Pegawai Samsat meminta Rp 50.000 untuk pengesahan BPKB dan Rp 35.000 untuk pemeriksaan mesin mobil. Isteri meminta kwitansi bagi kedua bayaran tersebut. Disebabkan pegawai tidak menyediakan kwitansi, isteri Penulis tidak memenuhi permintaan pegawai untuk membayar Rp 85.000 tersebut. Beliau hanya membayar langsung ke kasir sejumlah uang yang ditentukan secara resmi dalam STNK mobil Avanza, yaitu Rp. 2.315.500.
Pengalaman isteri saya di atas menunjukkan, pemerasan atau pungli tidak akan merebak kalau anggota masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak menyuap serta berani menolak permintaan petugas yang meminta bayaran di luar ketentuan resmi. Ditakdirkan, isteri saya tinggal di Malaysia lebih dari 15 tahun sehingga terbiasa dengan layanan publik yang akuntabel dan transparan. Misalnya, kalau berobat di Puskesmas atau rumah sakit pemerintah, uang pendaftaran sebesar RM 1 (setara Rp 3.000) ada kwitansinya. Sedangkan biaya pemeriksaan dokter serta obat, gratis. Sementara uang pendaftaran di Puskesmas Depok sebesar Rp 5.000, tidak disertai kwitansi. Kalau di tempat praktik dokter swasta atau rumah sakit swasta Malaysia, tentu bayarannya lebih mahal. Tetapi, bayaran tersebut sudah meliputi obat. Artinya, di rumah sakit atau tempat praktik dokter di Malaysia, tidak ada resep dokter untuk pasien membeli obat di apotek. Dengan kata lain, ketika meninggalkan rumah sakit – pemerintah maupun swasta – atau tempat praktik dokter, pasien sudah memeroleh obat.
Ilustrasi lain tentang akuntabel dan transparansinya layanan publik di Malaysia, misalnya biaya laporan kehilangan. Kalau kita melapor di Polsek Malaysia atas kehilangan KTP, dompet atau paspor, biaya administrasinya RM 2, juga disertai kwitansi. Bahkan, uang kembalian satu sen pun (Rp.30) ketika membayar biaya telepon, listrik atau air, tetap diserahkan ke pelanggan. Kalau merasa uang satu sen tersebut tidak terlalu bermanfaat atau mengganggu kenyamanan kantong celana, pelanggan akan memasukan uang tersebut ke dalam toples yang sengaja dise-diakan di kantor tersebut. Jika jumlah uang sen-senan tersebut sudah banyak, ia akan disumbangkan ke panti asuhan di daerah tersebut. Lain halnya di Indonesia, kembalian ribuan rupiah di layanan publik tidak diserahkan ke pelanggan, sesuatu yang tidak disadarinya sebagai salah satu bentuk korupsi.
Mengapa di Malaysia, uang kembalian satu sen pun harus dikembalikan ke pelanggan.? Sebab, layanan publik yang akuntabel dan transparan tersebut dilaksanakan melalui sistem komputer sehingga tidak mungkin terjadi perbedaan jumlah uang yang tercatat di komputer dengan yang ada di dalam laci pegawai. Ada dua hal, mengapa sistem layanan publik seperti di Malaysia dan Singapura ini berjalan dengan relatif baik. Pertama, jika ada uang sisa di dalam laci meja pegawai yang menerima bayaran seperti di atas ditemukan oleh atasan atau oleh Pengawas Internal atau Irjen di Indonesia, pegawai tersebut akan dikenakan sanksi. Kedua, pegawai pelayan publik ini sadar, setiap pemilikan apa pun walaupun hanya satu sen secara ilegal adalah perbuatan dosa yang akan dipertanggung-jawabkan sampai di akhirat kelak. Jika keyakinan dan perilaku seperti ini dipahamami dan dilaksanakan oleh seluruh pelayan publik Indonesia, apa yang dikonstatasi almarhum Soemitro, (kebocoran anggaran rutin sebesar 30% setiap tahun), tidak berterusan. Apalagi, sesuai dengan hasil survei integritas yang dilakukan KPK pada tahun 2009, ditemukan bahwa ada 47% pegawai pelayan publik yang melakukan pungli dengan cara memeras secara tidak langsung, alias melakukan pemerasan pasif.
Jenis korupsi yang keempat ini diatur dalam pasal 12.
Dr. H Abdullah Hehamahua, S.H., M.M. Penasehat KPK Periode 2005 – 2013.
