*Oleh Ahmad Sahide
OPINI, EDUNEWS.ID – Teka-teki bakal calon Wapres tiga calon presiden yang sudah berhasil membangun koalisi dan memenuhi syarat Undang-undang mulai terungkap jelas ke publik, terutama untuk calon presiden yang diusung partai Nasional Demokrat (Nasdem), Anies Rasyid Baswedan.
Anies secara resmi dideklarasikan oleh Nasdem sebagai calon presiden untuk 2024 pada 3 Oktober 2022 (Kompas, 3/10/2022). Tidak lama setelah deklarasi pencalonan Anies oleh Nasdem, perwakilan dari Nasdem, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bertemu di Jakarta pada 21 Oktober 2022 untuk menjajaki koalisi.
Ketiga partai ini kemudian berhasil membangun koalisi yang disebutnya Koalisi Perubahan (Kompas, 29 Oktober 2022). Ketiga partai ini memiliki 163 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau setara dengan 28,3% kursi. Cukup untuk mengajukan satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Setelah koalisi resmi terbentuk, Anies dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), ketua umum Demokrat, kemudian seringkali jalan bersama di berbagai event dan dialog dengan berbagai pihak. Publik kemudian mencium bahwa AHY akan menjadi calon wakil presiden dari Anies Baswedan.
Artinya, bahwa target dari Demokrat dan AHY dengan membangun koalisi ini adalah menjadi calon wakil presiden dari Anies. Adapun PKS nampaknya hanya menargetkan menteri karena memang tidak mempunyai figur kuat untuk diusung.
Selain itu, PKS dan Anies mempunyai kedekatan ‘ideologis’. Anies dilihat sebagai figur yang keislamannya lebih kental dari dua kandidat lainnya. PKS jugalah sebagai salah satu motor penggerak di balik kemenangan Anies pada pilkada DKI Jakarta 2017 yang berhasil mengantarkan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.
Walakin, hingga akhir Agustus 2023, Anies dan koalisinya juga belum mendeklarasikan calon wakil presidennya. AHY nampaknya berharap terus. Namun, situasi ini dibaca bahwa Anies dan Nasdem (terutama) belum yakin betul bahwa AHY bisa membantu Anies dalam mengangkat elektabilitasnya.
Basis massa AHY tidak jelas meski dia adalah putra dari Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memenangi dua kali pemilihan presiden (2004 dan 2009). AHY bukanlah SBY, buktinya AHY dalam menghadapi Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pilkada DKI Jakarta 2017 saja kalah.
AHY juga menjadi ketua umum Demokrat bukan karena bakat kepemimpinan dan ketokohannya. Melainkan dia mendapatkan ‘pemberian’ dari bapaknya. Artinya AHY belum mempunyai bukti yang kuat untuk meyakinkan Anies dan Nasdem dalam mengangkat elektabilitasnya.
Terlebih dari berbagai survei menunjukkan Anies selalu tertinggal dari Ganjar Pranowo, capres dari koalisi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP), dan Prabowo Subianto, capres yang diusung oleh Gerindra dan koalisinya. Maka Anies perlu figur untuk membantu mengangkat elektabilitasnya.
Opsi Muhaimin Iskandar
Munculnya nama Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai figur pendamping Anies Baswedan tentu mengagetkan bagi koalisi Perubahan dan publik tentunya.
Hal itu karena Muhaimin sudah terlebih dahulu membawa partainya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membangun koalisi dengan Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Muhaimin, yang sejak 2019 lalu memasang baliho di mana-mana sebagai bakal calon wakil presiden, tentu mempunyai target tertentu, yaitu menjadi pendamping Prabowo Subianto pada pilpres 2024 nantinya.
Namun demikian, Cak Imin nampaknya merasa terusik ketika Golkar dan PAN bergabung dalam koalisi yang dibangun Prabowo. Tiket cawapres dari koalisi ini tidak lagi terjamin bagi Muhaimin yang nampaknya sudah memasang target cawapres sebagai ‘harga mati’ pada pilpres 2024 setelah beberapa kali pemilu diselenggarakan hanya sebagai pendukung saja.
Cak imin kemudian merubah haluan politiknya dan menarik diri dari koalisi yang dibangun Prabowo. Cak Imin nampaknya melihat ada ‘perjodohan politik’ dengan Anies dan Nasdem. Di sinilah Muhaimin menemukan kalkulasi dan manuver politiknya untuk menjadi cawapres dan juga rasionalitas kemenangan ada.
Komunikasi politik yang singkat akhirnya Anies dan Cak Imin mendeklarasikan sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pilpres 2024 di hotel Majapahit Surabaya, 2 September 2023 (Kompas, 3/09/2023). Teka-teki siapa yang akan mendampingi Anies pada pilpres 2024 terjawab sudah.
Namun demikian, pilihan Anies untuk berduet dengan Muhaimin merubah konstelasi politik sebab Demokrat yang juga menargetkan mengusung AHY sebagai cawapres menarik diri dari koalisi perubahan. AHY kemudian membangun framing opini dari konferensi persnya seolah-olah partai Demokrat dikhianati.
Rasionalitas Politik Anies
Sebagai pemerhati politik yang memotret dari jauh kita bisa membaca rasionalitas politik Anies yang lebih memilih Cak Imin daripada AHY meski ia dicap telah mengkhianati partai Demokrat dan AHY.
Pertama, Anies dan Nasdem tentu menyadari bahwa elektabilitasnya sangat rendah di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang mana dua provinsi ini adalah provinsi dengan basis kaum Nahdlatul Ulama sangat kuat.
Padahal, dua provinsi ini adalah provinsi yang sangat menentukan untuk memenangi kontestasi politik nasional. AHY tidak bisa membantu Anies untuk membuka pintu suara di provinsi ini. Dengan menggandeng Cak Imin, Anies mempunyai kuncinya untuk membuka pintu suara tersebut.
Meski tidak ada jaminan seratus persen, tetapi peluang untuk mendapatkan suara yang lebih besar dari Jawa Timur akan lebih terbuka. Tidak heran jika pidato Anies dan Cak Imin pada saat deklarasi memberikan salam penghormatan yang pertama kepada para kyai dan sesepuh dari kaum Nahdliyin yang memang selama ini dikenal sebagai basis massa PKB.
Kedua, koalisi perubahan yang terdiri dari Nasdem, Demokrat dan PKS memiliki 163 kursi di DPR, atau 28,35% kursi di parlemen. Pembagian kursi tersebut di mana Nasdem memiliki 59 kursi (10,26%), Demokrat 54 kursi (9,39%), dan PKS 50 kursi (8,70%).
Perolehan suara parlemen ini tentu dipahami oleh Nasdem dan Anies bahwa Anies bisa maju sebagai capres apabila ketiga partai ini solid. Nasdem dan Anies tentu sudah mewanti-wanti jika pada detik-detik terakhir pendaftaran di mana salah satu peserta koalisinya berubah haluan, maka pintu Anies untuk maju sebagai capres tertutup.
Oleh karena itu, koalisi ini rawan untuk gagal dalam mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Terlebih selama ini terkuak ke publik bahwa ada upaya dari istana untuk menjegal pencalonan Anies karena dianggap sebagai figur oposan.
Sementara itu, PKB memiliki 58 kursi di parlemen (10,09%). Artinya bahwa suara Nasdem dan PKB di parlemen sudah 20,35% suara yang mana sudah memenuhi syarat undang-undang untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden meski Demokrat dan PKS keluar dari koalisi.
Oleh karena itu, menggandeng Cak Imin lebih memberikan jaminan bagi Anies untuk tetap maju. Kekhawatiran untuk gagal karena syarat undang-undang tidak lagi menghantui Nasdem dan Anies.
AHY dan Demokrat semestinya bisa membaca rasionalitas politik di balik Anies lebih memilih Cak Imin daripada dirinya dan tidak perlu mengambil sikap yang reaksioner dengan menarik diri dari koalisi ini.
Dengan menarik diri dari koalisi perubahan dan berlabuh ke koalisi yang sudah terbentuk juga tidak memberikan jaminan bagi AHY untuk mendapat tiket cawapres. Toh, Cak Imin bergeser dari koalisi yang dibangun Prabowo karena dia membaca tiket cawapres tidak untuk dirinya.
Seandainya AHY tetap dalam barisan koalisi perubahan dan tidak berbalik menyerang dengan framing penghianatan, maka akan lebih baik bagi Demokrat dan AHY ke depannya. Apa yang dialami oleh AHY tidak sebanding dengan yang dialami oleh Mahfud MD pada 2019 lalu yang mana namanya digantikan pada detik-detik terakhir deklarasi capres dan cawapres.
Bedanya, Mahfud MD menyadari realitas politik yang ada sehingga tidak berbalik menyerang kepada Jokowi dan koalisinya. Hasilnya, Mahfud MD tetapi diajak bergabung dalam kabinet yang dibentuk oleh Jokowi sebagai Menkopolhukam.
Jika alasannya adalah karena penghianatan terhadap rekan koalisi lalu ke mana AHY akan berlabuh membawa Demokrat? Pilihannya ada dua, bergabung dalam koalisi yang mengusung Prabowo.
Tapi apakah AHY masih ingat bahwa Prabowo juga dicap menghianati massa pendukungnya pada 2019 ketika memilih untuk bergabung dalam kabinet Jokowi (lawan politiknya pada 2014 dan 2019)? Pilihan berikutnya bergabung dalam koalisi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo.
Apakah ini juga bersih dari kata penghianatan? Tidak juga! Bukankah Prabowo pernah menuding Megawati mengkhianati perjanjian Batu Tulis yang disepakati Ketika Megawati bergandengan dengan Prabowo pada pilpres 2009? Dan apakah AHY menyadari bahwa komunikasi yang tersendat selama bertahun-tahun antara Megawati dan SBY karena Megawati merasa dihianati oleh SBY?
Inilah yang disebut oleh Vedi R. Hadiz dalam tulisannya di harian Kompas pada 5 September 2023 dengan istilah akrobat politik.
Ahmad Sahide, Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Referensi
Kompas.id. Nasdem Usung Anies, Penjajakan Koalisi dengan PKS dan Demokrat Tak Terganggu. Edisi 3 Oktober 2022. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/10/03/nasdem-usung-anies-penjajakan-koalisi-dengan-pks-dan-demokrat-tak-terganggu?open_from=Search_Result_Page
Kompas.id. PKS Tepis Isu Ditawari Jatah Menteri. Edisi 29 Oktober 2022. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/10/29/pks-tepis-isu-jatah-menteri-nasdem-demokrat-klaim-koalisi-tetap-solid?open_from=Search_Result_Page
Kompas.id. Anies-Muhaimin, dari Perobekan Bendera Biru hingga Kampus Biru. Edisi 3 September 2023. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/09/03/anies-muhaimin-dari-perobekan-bendera-biru-hingga-kampus-biru