Opini

Meritokrasi sebagai Paradigma Baru dalam Pemilihan Umum: Mengatasi Tantangan Dinasti Politik di Indonesia

foto/penulis

*Oleh Nur Asyifa T

OPINI, EDUNEWS.ID – Pemilu Indonesia telah menjadi momen krusial dalam menentukan arah demokrasi dan tatanan politik negara. Salah satu masalah yang kerap kali mencoreng integritas proses demokrasi adalah praktik politik dinasti, di mana kekuasaan politik cenderung berada dalam lingkaran keluarga tertentu.

Penelitian dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa politik dinasti dapat mengakibatkan konsolidasi kekuasaan di tangan segelintir elit, menghambat rotasi kepemimpinan, dan merugikan aspirasi demokratis masyarakat.

Dinasti politik di Indonesia bukanlah hal yang baru, dimana sejak dari jaman orde baru sampai dengan era pemerintah Indonesia Maju fenomena itu terus ada bahkan semakin meningkat baik itu yang terjadi di percaturan politik daerah maupun percaturan politik pusat.

Politik dinasti menimbulkan adanya ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan politik. Negara demokrasi sejatinya harus membuka kran politik seluas mungkin untuk memastikan rakyat terlibat aktif dalam proses politik. Ruang partisipasi untuk masyarakat dalam kontestasi politik regional hingga nasional harusnya sangat terbuka.

Namun faktanya, dengan munculnya politik dinasti telah menghambat partisipasi masyarakat karena status atau hak sosialnya yang jauh berbeda dengan keluarga petahana. Politik dinasti telah merusak makna demokrasi yang sejati, yakni kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Politik dinasti juga memunculkan pragmatisme politik dengan mendorong famili atau kerabat penguasa untuk menjadi pejabat publik.

Menurut Aristoteles, elit adalah sekelompok kecil orang yang memiliki semua atau hampir semua tanggung jawab dalam masyarakat.

Konsep teoritis Plato dan Aristoteles dikembangkan oleh dua sosiolog politik Italia: Vilfredo Pareto and Gaetano Mosca. Pareto berpendapat bahwa setiap masyarakat dijalankan oleh sekelompok kecil orang dengan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan sosial dan politik.

Dari penjelasan beberapa ahli tersebut dapat dilihat bahwa dinasti politik telah membuat elit semakin kuat, mengendalikan kekuasaan dan menghambat partisipasi masyarakat dalam politik.

Dinasti politik pada Indonesia sudah berlangsung lama & ada semenjak orde lama sampai reformasi yaitu berdasarkan famili Presiden Pertama Indonesia yaitu Soekarno. Keturunan Soekarno (anaknya) terjun ke politik misalnya Megawati Soekarnoputri, Sukmawati, Rachmawati, Guruh Soekarnoputra, & diteruskan sang Puan Maharani (PM).

Keturunan Soeharto misalnya anak-anaknya yaitu Siti Hediati Hariyadi (Titiek) sampai Hutomo Mandala Putra (Tommy), berlanjut dalam famili KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) menggunakan Yenny Wahid sampai Abdul Muhaimin Iskandar, begitu pula menggunakan famili Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan anaknya yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Eddie Baskor Yudhoyono (EBY).

Hal ini pula berlaku dalam Presiden Joko Widodo menggunakan terpilihnya anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo & menantunya Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan.

Pada pemilihan umum dalam pemilihan presiden dan wakil presiden putra dari presiden Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai calon wakil presiden mewakili calon presiden Prabowo Subianto.

Jalan Gibran menjadi bakal cawapres Prabowo tak terlepas dari putusan MK yang memperbolehkan syarat usia cawapres di bawah 40 tahun dengan ketentuan pernah menjadi kepala daerah yang terpilih lewat Pemilu. Putusan tersebut menjadi kontroversi lantaran Ketua MK Anwar Usman tak lain merupakan paman dari Gibran dan ipar dari Jokowi.

Berdasarkan penelitian oleh Herna Susanti (2017) menyatakan bahwa Dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat di sebuah daerah. Saat jaringan tersebut mendukung dinasti politik yang berkuasa, akan memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut. Kalau kekuasaan itu absolut, logikanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan semakin besar.

Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti.

Fenomena di atas, boleh jadi sebagian orang menganggap wajar, namun sebagian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung.

Munculnya fenomena dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik.

Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun masyarakat politik. Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatkan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi.

Banyak pihak telah mencatat bahwa pelaksanaan politik dinasti dapat mengurangi nilai demokrasi yang sedang diterapkan di Indonesia saat ini. Terdapat banyak individu di dalam masyarakat yang memiliki potensi untuk tumbuh dan memberikan kontribusi positif melalui jalur politik, tetapi mereka terkadang merasa terhalang dan terpaksa menerima kenyataan bahwa mereka sulit mencapai tujuan mereka.

Meskipun demikian, kesempatan untuk perubahan tetap ada, dan proses tersebut masih dapat bergerak dari politik dinasti menuju politik yang lebih transparan, kredibel, dan demokratis. Oleh karena itu, Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan silsilah, dan dinasti politik bukanlah sistem yang sesuai untuk Indonesia

Salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi masalah politik dinasti adalah dengan memperkenalkan sistem meritokrasi dalam proses pemilihan. Konsep meritokrasi diperkenalkan oleh filsuf Aristotle dan Plato yang percaya bahwa sebuah negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang paling pandai, paling baik dan paling berprestasi.

Aristoteles melihat meritokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang lebih adil, di mana orang-orang yang memiliki keahlian, pengetahuan, dan kemampuan yang tinggi diberikan tanggung jawab dan kekuasaan. Meritokrasi menitikberatkan pada penilaian kualifikasi dan prestasi seseorang daripada faktor keturunan atau hubungan keluarga.

Dalam konteks pemilu, implementasi sistem meritokrasi dapat memberikan banyak manfaat bagi kemajuan demokrasi Indonesia, beberapa manfaat penerapan sistem meritokrasi dalam mengatasi politik dinasti di Indonesia diuraikan sebagai berikut.

Meritokrasi memungkinkan para kandidat dinilai berdasarkan rekam jejak, kompetensi, dan prestasi mereka. Ini akan menggeser fokus dari hubungan keluarga ke kualitas kepemimpinan, memberikan peluang setara kepada semua warga negara yang memiliki kemampuan dan dedikasi.

Dengan meredam politik dinasti, sistem meritokrasi dapat membuka pintu bagi keragaman kepemimpinan. Kandidat yang berasal dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan etnis akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mencalonkan diri dan memberikan kontribusi unik mereka kepada masyarakat.

Meritokrasi mendorong akuntabilitas yang lebih tinggi. Kandidat yang terpilih berdasarkan prestasi akan merasa lebih bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya karena mereka tahu bahwa posisi mereka didasarkan pada kemampuan yang telah diuji, bukan hanya hubungan keluarga.

Sistem meritokrasi dapat memotivasi masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam politik. Keterlibatan lebih luas dari berbagai kalangan akan meningkatkan pluralisme ideologi dan memperkaya dialog politik, mengarah pada keputusan yang lebih inklusif dan representatif.

Dengan memperkuat aspek meritokrasi dalam pemilihan, institusi demokrasi Indonesia dapat mengalami peningkatan kredibilitas. Hal ini dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses politik dan meyakinkan mereka bahwa pemilu benar-benar mencerminkan keinginan dan kepentingan rakyat.

Sistem meritokrasi menawarkan solusi yang konstruktif dan progresif dalam mengatasi tantangan politik dinasti dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Implementasi meritokrasi bukan hanya upaya untuk menciptakan perubahan struktural, tetapi juga untuk membangun fondasi demokrasi yang lebih inklusif, adil, dan dinamis.

Dengan memberikan penghargaan pada kompetensi dan prestasi, Indonesia dapat mengukuhkan posisinya sebagai negara demokratis yang berkembang dan memberdayakan seluruh warganya untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara.

Kita perlu sepakat bahwa adopsi sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis akan memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi masyarakat dalam membangun demokrasi Indonesia menjadi lebih matang dan substansial.

Tantangannya saat ini adalah bagaimana mengalihkan proses politik dari dinasti ke meritokrasi, terutama dalam konteks di mana praktik politik dinasti telah meracuni produk demokrasi, baik dalam sistem partai politik maupun dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Oleh karena itu, saatnya telah tiba untuk membangun dasar demokrasi melalui pendekatan meritokrasi. Inisiasi transisi dapat dimulai melalui revisi Undang-undang terkait partai politik dan pemilihan umum.

Nur Asyifa T Prodi Magister Pascasarjana Ilmu Administrasi Publik UNM

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top