Oleh : Yarifai Mappeaty*
OPINI,EDUNEWS.ID-Terjawab sudah satu teka-teki terkait kasus hukum Ahok. Bagi GNPF MUI, ini dianggap satu tahap lebih maju di dalam perjuangannnya menuntut keadilan. Namun sebelumnya, publik sempat dibuat menerka-nerka, apakah Ahok benar-benar dijadikan tersangka atau tidak oleh Bareskrim Mabes Polri?
Mengapa memang publik harus menerka? Karena hukum di negeri ini, penuh dengan ketakpastian. Terutama kalau yang berkasus adalah sosok penting yang berpengaruh dan memiliki koneksi kuat dengan penguasa politik dan penguasa modal. Itu sebabnya, adagium, “tumpul ke atas tajam ke bawah”, begitu populer dalam proses penegakan hukum di republik ini. Apalagi, ini menyangkut seorang Ahok, Gubernur non-aktif DKI Jakarta, orang “dekat” Jokowi.
Semenjak kasus dugaan Ahok menista Islam ini bergulir, banyak pihak tak begitu yakin kalau Ahok akan ditersangkakan. Soalnya, jika menengok pengalaman-pengalaman sebelumnya, Ahok benar-benar seorang yang tak tersentuh, untouchable. Coba kita tracking mulai dari kasus pengadaan bus Trans Jakarta, kasus taman BMW, kasus pembelian tanah Cengkareng, kasus Rumah Sakit Sumber Waras, dan kasus reklamasi Teluk Jakarta. Semua “selesai” begitu saja tanpa menyentuh Ahok. Bahkan, dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras, lembaga tinggi negara semacam BPK, pun, terpaksa “dikorbankan” agar Ahok tak tersentuh.
Begitu pula dengan yang terakhir, lelang dini warisan Ahok senilai 4,4 trilyun yang sarat dengan aroma kongkalikong, terpaksa dibatalkan oleh Soni Soemarsono, PLT Gubernur DKI Jakarta, kini pun sudah tak terdengar lagi. Bagaimana mungkin proyek dengan nilai trilyunan itu sudah ditender, sedangkan anggarannya saja belum ditetapkan dalam APBD? Padahal, kalau kepala daerah lain yang melakukan kebijakan yang sama, hampir dipastikan sudah berurusan dengan aparat penegak hukum.
Ahok memang orang “kuat”. Bayangkan, ketika GNPF MUI melaporkan Ahok, Bareskrim Mabes Polri pun terkesan tak bersungguh-sungguh menindaklanjutinya. Bahkan, ketika dikonfirmasi, Kabareskrim mengelak dengan dalih belum ada izin dari presiden. Aneh. Sebab keputusan MK soal pemeriksaan kepala daerah tak harus ada izin presiden. Publik seketika mengambil kesimpulan sendiri bahwa Jokowi selaku presiden melindungi Ahok, yang kemudian menjadi viral di media sosial. Inilah yang melukai rasa keadilan ummat Islam yang tak menerima kitab sucinya dilecehkan, dan pada gilirannya memantik peristiwa dahsyat reaksi damai 411 yang belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
Jokowi enggan Ahok tersangka. Begitu kira-kira kesan yang ditangkap oleh publik melihat langkah politik dan intensitas kesibukan Jokowi pasca reaksi damai 411. Tak heran kalau sampai muncul celoteh di warung kopi, “Ahok yang bermain api, Jokowi yang kepanasan”. Kasus Ahok membuat Jokowi benar-benar sangat sibuk. Ini pula yang membuat publik menerka, bahwa Ahok tak tersangka. Dan masih banyak isyarat yang dapat dijadikan petunjuk mengenai hal itu.
Ketika Jokowi bersafari politik dengan ormas-ormas islam, Jokowi sama sekali tak mengikutkan ormas islam pendukung fatwa MUI. Kunjungan Jokowi ke markas Kopassus, Brimob, Marinir, dan Kopaskhas AU di Bandung, lebih dimaknai sebagai Road show of force dari pada sebagai kunjungan kerja biasa seorang Presiden/Pangti TNI. Terakhir, seorang mufassir didatangkan dari Al Azhar Mesir, sebagai saksi ahli Ahok, namun pulang sebelum bersaksi. Belum lagi pernyataan Kapolri yang menilai Ahok tidak melakukan penistaan, yang kemudian mendapat kecaman keras dari publik. Semua itu memberi isyarat kalau Ahok tak akan tersangka.
Faktanya, Ahok pun tersangka. Tetapi, apakah Ahok tersangka murni karena penilaian hukum? Jangan-jangan ini adalah keputusan politik. Mengapa? Karena di negara dimana politik menjadi panglima, bukanlah perkara sulit kalau proses hukum dapat diskenariokan sedemikian rupa sesuai kepentingan penguasa.
Bukan tidak mungkin mentersangkakan Ahok adalah juga skenario, ketika skenario “tak tersangka” terlalu berisiko dilakukan. Dengan mentersangkakan Ahok, paling tidak, gejolak “perlawanan” dari ummat Islam yang demikian massif, dapat mereda, sembari kelanjutan proses hukum Ahok diulur hingga usai pilkada DKI Jakarta. Mungkin bagi Ahok sendiri, status tersangka, tak terlalu masalah. Toh, tak menggugurkan statusnya sebagai kontestan pilkada DKI Jakarta. Bahkan, statusnya sebagai tersangka justeru menguntungkan. Masyarakat Jakarta tak punya lagi alasan kuat untuk menolak Ahok datang berkampanye.
Ahok pun tersangka. Begitu hasil gelar perkara Bareskrim Mabes Polri pada 16 November 2016. Tidak penting, apakah itu merupakan murni sebagai hasil penilaian hukum atau keputusan politik. Tidak penting lagi diperdebatkan. Akan tetapi, kelanjutan proses hukum itu harus tetap dikawal, jangan sampai berputar-putar seperti film telenovela yang tak pernah jelas sampai kapan berakhirnya.
Akhirnya, Ahok pun kemudian menjadi tersangka. Bagi penulis, hal ini bukan sekadar perjuangan GNPF MUI menuntut keadilan hukum, tetapi lebih merupakan perjuangan kaum kecil, dhuafa, musthad’afin melawan dominasi minoritas pemilik modal yang direprensentasikan sosok Ahok. Yaitu, kaum mayoritas tertindas yang telah sekian lama menjadi jongos di negerinya sendiri, menggeliat menuntut keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Ini merupakan subtansi reaksi ummat islam yang direprensetasikan oleh ormas islam yang tergabung dalam GNPF MUI.
Yarifai Mappeaty. Pengurus masjid, Tinggal di Makassar