*Oleh Ian Hidayat
OPINI, EDUNEWS.ID – Sore hari di Pondok Persantren, foto Ambo Dalle dipajang di sebelah kanan gerbang. Gerbang pesantren menghadap ke timur, persis ke arah matahari terbit.
Sore berganti malam saat surau masjid mengumandangkan syair-syair Qur’annya. Foto Ambo Dalle akan bersebelahan dengan matahari sore, warnanya jingga merona seperti langit sore waktu itu.
Foto Ambo Dalle lazimnya dipajang oleh murid-muridnya sebagai penghormatan, Ambo Dalle adalah seorang pendakwah daratan Sulawesi, namanya cukup mahsyur. Orang-orang memajangnya untuk mengingat ajaran-ajaran beliau.
Saban hari ketika mengitari jalanan di perkotaan, nampak gambar-gambar manusia berjajaran ditempel di pepohonan, berdiri dekat gerbang masjid, hingga memenuhi trotoar dan menutup ruang bagi pejalan kaki.
Gambar-gambar itu berisi calon legislatif atau calon eksekutif pemerintahan yang menjadi kontestan Pemilu. Bedanya dengan foto Ambo Dalle, orang-orang memajangnya untuk mengingatkan mencoblosnya di bilik suara kemudian hari.
Malam hari di warung kopi, orang-orang ramai membicarakan Pemilu. Masing-masing mempromosikan calonnya untuk dipilih. Mereka adalah warga negara baik hati yang meluangkan waktu dan pikirannya untuk keberlangsungan demokrasi Republik ini.
Kita bisa sepakat dengan pemikiran Artidjo Kautsar, bahwa keberlangsungan demokrasi yang baik itu ditentukan oleh mekanisme kontrol dari masyarakat. Salah satu peluang mempertahankan ekosistem demokrasi tersebut adalah Pemilu. Walaupun narasi tersebut menjadi budaya buruk bangsa ini.
Di Indonesia, orang-orang ramai membicarakan demokrasi hanya pada saat momentum Pemilu saja. Padahal kita selalu abai demokratisasi dalam hal pembangunan. Makassar misalnya, pembangunan tata ruang kota selalu mengabaikan partisipasi masyarakat. Akibatnya, kemiskinan dan penggusuran selalu mengancam dalam mimpi warga negara. Hal ini seharusnya tidak terjadi.
Selain kampanye para politisi yang ingin menyamakan dirinya seperti Ambo Dalle, momentum Pemilu kali ini juga penting untuk mengkampanyekan demokrasi yang sehat. Catatan demokrasi dasawarsa terakhir ini memang sangat buruk.
Pembungkaman masyarakat sipil terus saja terjadi. Kriminalisasi pejuang lingkungan selalu ada, misal tragedi Rempang yang sempat ramai dibicarakan. Masyarakat yang meminta diakui hak ulayatnya diintimadasi bahkan ditangkap. Perstiwa itu hanya sebagian kecil pembungkaman yang terjadi. Belum lagi para pelanggar HAM masa lalu masih terus berkeliaran, bahkan beberapa nama muncul sebagai calon eksekutif di Pemilu kali ini. Dua contoh tersebut memperlihatkan cacatnya demokrasi bangsa ini.
Dua pilar pertanda demokrasi yang sehat, yakni keadilan dan tindakan non-diskriminasi. Tragedi perampasan lahan di Pulau Rempang dan berbagai tempat lain di Indonesia menunjukkan sikap abai Negara terhadap keadilan, sedangkan diskriminatifnya dicerminkan ketika masih bebasnya para pelanggar HAM berpidato. Di sisi lain, mereka yang memperjuangkan tanahnya ditangkap dengan alasan tidak jelas.
Jika terus dibiarkan, demokrasi di Negara ini jadi prematur. Sedikit lagi demokrasi bisa mati. Apalagi mekanisme kontrol masyarakat tidak benar-benar terjadi. Melihat situasi saat ini, beberapa masyarakat sipil dengan segudang pengetahuannya, turut serta mendukung pelanggar HAM sebagai calon kepala eksekutif.
Imajinasi Demokrasi
Membayangkan demokrasi 10 tahun ke depan memang adalah imajinasi buruk bagi setiap orang, apalagi melihat kondisi pengambilan kebijakan yang sama sekali tidak melibatkan warga. Mereka bahkan lebih memilih memasang gambar wajah mereka di perempatan jalan dibanding mengadakan forum untuk mendiskusikan program kerjanya. Hilirisasi terus terjadi dan digaungkan tanpa menimbang apakah warga membutuhkannya atau tidak.
Saya bahkan melihat para elits maupun poilitis Negara merangkap menjadi Tuhan. Tuhan dalam bahasan Comte merupakan zat adikodrati, hal tersebut coba diikuti oleh para politisi. Mereka mencoba melanggengkan kekuasaannya dengan berbagi cara, melalui hukum, politik, bahkan ekonomi sehingga tercipta abuse of power. Jadi, saat ini ada pertarungan antara kekuasaan dan demokrasi. Jika warga negara tidak membuat kekuatan dari bawah maka demokrasi akan mati.
Ian Hidayat, Volunteer YLBHI-LBH Makassar.
