Oleh: Ikhsan Kurnia*
OPINI, EDUNEWS.ID – Aksi 411 adalah manifestasi dan ekspresi sikap keberagamaan (religious attitude) ummat Islam. Apakah ada sebagian ummat Islam yang memiliki perbedaan sikap dan pandangan dalam melihat kasus dugaan penistaan agama oleh BTP? Tentu, keberagaman sikap (diversity of attitudes) di internal ummat Islam dalam kasus ini adalah hal yang proper, bahkan niscaya. Hampir tidak ada dalam sejarah agama manapun sikap keberagamaan yang muncul dapat seiya sekata tanpa anomali (pengecualian). Namun, jika aksi 411 dinilai tidak representatif, agaknya penilaian tersebut perlu ditinjau ulang.
Jika yang dipersoalkan adalah adanya “ghost rider” dalam proses aksi 411 (apalagi ini merupakan aksi luar biasa dahsyat dalam sejarah Indonesia), seharusnya ini tidak layak dijadikan sebagai titik tekan dalam memandang persoalan pokoknya. Ini ibarat kita lebih fokus pada semut daripada gajah, sementara keduanya hadir di depan mata kita secara terang benderang. Bukan berarti kita menafikan sama sekali eksistensi “semut” (baca: adanya sedikit kericuhan dalam proses aksi) yang memang secara faktual hadir, namun jika kita menjadikannya sebagai titik tekan (emphasize) dalam melihat persoalan ini, maka cara pandang tersebut mengandung sesat fikir dan sungguh berbahaya. Ketidakmampuan dalam menemukan main/root problem boleh jadi menjadi indikasi adanya krisis kemampuan menalar yang akut.
Keberagaman dalam sikap keberagamaan (diversity of religious attitude) merupakan hal yang selaras dengan nature of democratic society. Nalar demokrasi mengizinkan setiap warga Negara memiliki sikap yang bebas untuk berbeda, ataupun untuk sama. Boleh jadi, kebebasan sikap tersebut dibenarkan oleh demokrasi. Meskipun demikian, saya meyakini, Tuhan memiliki penilaian tersendiri yang sangat adil terhadap kualitas sikap (quality of attitude) masing-masing orang dalam melihat kasus bertema keagamaan ini. Timbangan terhadap kualitas sikap tersebut barangkali tidak bisa kita lihat saat ini, namun kelak semua orang akan mengetahui konsekuensi dari setiap sikap dan perbuatannya.
Keberagaman sikap terhadap kasus ini rupanya telah menciptakan 2 kubu yang cukup ekstrem berada di posisi biner. Mungkin ada sebagian yang berdiri di tengah, memilih posisi moderat (untuk tidak dikatakan netral), namun magnet penarik yang begitu kuat oleh masing-masing kubu seolah menghipnotis banyak orang untuk terlibat aktif menjadi bagian dari salah satu kubu tersebut. Saya melihat keduanya memiliki daya tarik “ideologis”, dimotivasi oleh cara berfikir dan pilihan sadar yang argumentatif. Boleh jadi ada sebagian orang yang bergerak atas dasar motivasi kapital, bukan berbasis pada idealisme dan keyakinan. Namun saya tidak akan mereduksi dan men-judge fenomena ini sebagai narasi utama kedua kubu tersebut. Kalaupun ada indikasi, ini hanya warna saja. Namun, seberapa dominan warna ini hanya pelakunya yang tahu.
Yang menarik, semua pihak seolah berkata hal yang benar, atau setidaknya yang dirasa benar. Sikap menuntut ataupun membela, bukan karena nihilism of argument. Alasan dan pertimbangan masing-masing pihak bisa bersifat mikro, makro, atau keduanya. Alasan mikro adalah pertimbangan yang semata-mata berupa konten, yakni kasus dugaan penistaan agama. Seseorang menuntut atau membela, hanya karena konten ini saja. Sementara itu, alasan makro adalah pertimbangan yang bersifat lebih luas, mencakup nilai, nalar, sistem dan struktur sosial-politik. It is beyond the case. Ia lebih besar dari sekadar kasus Al Maidah 51. Alasan mikro barangkali dapat diselesaikan oleh mekanisme hukum, namun hanya akan menyelesaikan kasusnya, tidak menyelesaikan persoalan pokoknya.
Keberagaman sikap (diversity of attitude) terhadap persoalan ini harus mencapai titik equilibrium. Jika konflik dua kubu ini bersifat zero sum game, maka persoalan ini hanya akan menghasilkan satu pihak sebagai pemenang, sementara pihak lainnya kalah. Namun jika ini non zero sum game, masih ada probabilitas terciptanya titik temu yang menghasilkan win-win solution. Dalam game theory, ada alternatif langkah yang dapat dilakukan oleh kedua kubu (players) agar menghasilkan quadrant dengan resiko yang paling minimal.
Namun, tidak mudah mencapai titik equilibrium dan win-win solution, jika titik pisahnya sudah seumpama air dan minyak. Barangkali harus ada salah satu pihak yang mendekatkan diri kepada pihak lainnya. Menurut saya, solusi atas masalah ini tidak bisa semata-mata didekati dengan pendekatan prosedural dan formal, karena justru hanya akan semakin menjauhkan titik pisahnya. Atas nama kemaslahatan dan kebaikan bagi banyak orang, dan untuk menjaga keutuhan NKRI, agaknya pemerintah harus berani membuat langkah bijak dengan mendekatkan diri menuju titik kehendak rakyatnya. Karena titik equilibrium hanya dapat tercapai jika digerakkan oleh political will. Langkah tersebut menunjukkan elastisitas karakter demokrasi dalam kondisi extra ordinary.
Ikhsan Kurnia. Pemerhati Sosial Politik dan Keumatan.