*Oleh Muh Imran
OPINI, EDUNEWS.ID – Momentum pesta demokrasi merupakan satu yang paling di rindukan oleh rakyat, khususnya mereka yang selalu rindu dengan narasi perbaikan, perubahan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rindu yang kemudian perlu dijawab oleh mereka yang mau menjadi Pejabat negeri, dari tingkat Desa sampai Pusat, atau dari pejabat Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. Bagi penulis semua itu model pejabat merupakan penentu nasib rakyat atau masa depan Rakyat.
Study sederhananya, legislatif bertugas membuat undang-undang, yudikatif bertugas mempertahankan dan melaksanakan undang-undang dan Eksekutif bertanggung jawab untuk menerapkan hukum secara menyeluruh kepada siapapun, tanpa memilih-milih. Siapapun yang melanggar hukum harus dihukum.
Dari Pelosok Negeri sampai ke kota-kota seluruh penjuru negeri ini, dipenuhi dengan wajah-wajah yang menawarkan wajahnya sebagai orang yang katanya bisa mewakili rakyat, bisa memimpin rakyat, bisa memberikan keadilan, kesejahteraan, khususnya bunyi sila ke 5 “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Tapi sampai hari ini, rakyat masih belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan. Kemerdekaan bagi penulis adalah tak ada lagi angka kemiskinan. Sementara dari banyaknya caleg, tidak ada yang berani menarasikan dengan janji dan merealisasikan dengan menghilangkan kemiskinan sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1).
Setiap hari saya menelusuri sepanjang jalan setiap ke Daerah dari kabupaten ke kabupaten, dari Desa ke Desa, dari Lurah ke Lurah, dan semua jalan yang saya lewati dimana pun tak pernah hilang wajah-wajah di spanduk yang berwarna-warni, yang lagi-lagi penulis menyatakan bahwa katanya sebagai perwakilan, pemimpin, dan penghitung nasib rakyat.
Harapan rakyat kepada mereka agar bisa mendapatkan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan lainya, walau ada dari wajah-wajah mereka yang tak dikenal, oleh lapisan-lapisan rakyat, tapi tidak sedikit masyarakat masih menyandarkan harapannya karena wajah-wajah dan kata-kata di baliho.
Hampir semua lorong-lorong jalan dimana ada masyarakat, yang dengan bangganya memasang musik, dipenuhi dengan pajangan-pajangan dari warna yang berbeda-beda dengan tulisan kata berbagai macam untuk mendapatkan simpati dari masyarakat.
Kenapa penulis mempertanyakan itu, karena dengan keadaan praktek politik uang masih merajalela.
Bagi penulis spanduk atau baliho itu tidak relevan lagi dengan era teknologi. Spanduk dan baliho itu tidak relevan lagi, karena dengan legitimasi dengan angka pemilih terbanyak pada 2024 mendatang itu didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z yang kritis.
Dengan angka pemilih yang didominasi kaum muda, dengan tiktok, Instagram, Facebook, Web-web, media sosial dan Internet lainnya, menjadi wadah untuk memasang spanduk dan baliho dengan model dan tempat yang berbeda.
Keunggulannya adalah, berkampanye dunia maya bisa menyertakan video singkat dari para calon atau wajah-wajah caleg sehingga jangkauannya lebih luas.
Jelas sebagai penulis tak relevan lagi jor-joran untuk mengeluarkan biaya spanduk atau baliho yang ujung-ujungnya akan menjadi sampah yang tak berguna lagi.
Bahkan fatalnya masyarakat yang tak mengenal dan tak tahu apa fungsi spanduk hanya akan menggunakan untuk alas rumah atau gubuk merek, sebagai dinding rumah dan mungkin sampai atap kediaman mereka.
Pada aspek yang lain, soal lingkungan, dimana pohon-pohon jadi tempat spanduk untuk di paku, di ikat dan lain sebagainya, tiang listrik dan tempat-tempat yang merusak estetika kota.
Kongkritnya adalah, dengan kampanye-kampanye di media sosial, internet menjadi ruang yang nyaman dan menantang pikiran para calon-calon untuk menyampaikan narasi visi dan misi mereka setelah terpilih dan menjadi pejabat.
Atau paling tidak, membuka panggung ide untuk menguji visi dan misi mereka oleh publik atau calon pemilih.
Sama halnya pada pemilihan presiden sebagai pemimpin negara, biarkan kampus-kampus sebagai tempat ujian secara akademis untuk menguji visi dan misi sebagai calon presiden dalam melihat masa depan Indonesia.
Penulis sepakat dengan satu pernyataan Rocky Gerung pada satu diskusi, bahwa untuk menguji calon presiden suruh mereka datang ke kampus UI, agar pikiran mereka di hajar oleh BEM UI.
Muh Imran, Ketua Umum KAMMI Daerah Makassar/Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
