Oleh: Mauliah Mulkin*
HORISON, EDUEWS.ID – Sering terbetik pertanyaan di kepala, apakah anak-anak menyenangi sekolahnya? Cinta dengan guru-gurunya, dan menikmati suasana sekolahnya? Dengan cepat saya sendiri yang akan menjawab pertanyaan ini. Bahwa pada dasarnya banyak anak yang tidak sepenuhnya senang bersekolah. Mengapa mereka tetap ke sekolah, karena seperti itulah pemahaman mereka tentang hidup yang harus mereka jalani. Orangtua menyuruhnya ke sekolah dan anak-anak lain pun ramai-ramai pergi bersekolah. Sesederhana itu.
Dalam perjalanan tersebut banyak peristiwa yang terjadi dalam lingkungan sekolah mereka. Yang mulanya menyenangkan lama-kelamaan berubah membosankan. Banyak teman yang bertingkah menyebalkan. Guru-guru mengajar dengan gaya yang itu-itu saja. Tidak banyak melakukan variasi, di samping kurang membangkitkan keingintahuan siswa. Bahkan tak jarang anak mendapatkan perundungan baik dari teman-temannya sendiri maupun dari guru-guru yang mengajarnya. Beragam sebabnya, entah karena tidak bisa menjawab pertanyaan, ataukah karena tidak mengerjakan PR sebagaimana yang diperintahkan guru. Masalah di sekolah pun mulai dirasakan oleh anak.
Muncullah berbagai reaksi atas ketidaknyamanan anak dengan situasi sekolah. Tergantung bagaimana keluarga dalam hal ini orangtua merespons masalah tersebut. Juga pada sifat dan karakter anak, apakah ia anak yang mudah bercerita dan terbuka pada kedua orangtuanya, ataukah sebaliknya. Jika orangtua mampu menciptakan lingkungan yang nyaman serta pola komunikasi yang terbuka dan intensif dengan anak, maka apa pun masalah yang terjadi di sekolah akan mudah diketahui oleh orangtua. Anak tidak akan segan atau takut untuk bercerita apa adanya. Sekalipun mendapat ancaman dari pihak lain. Karena baginya orangtua adalah tempat teraman untuk bercerita.
Akan tetapi berbeda dengan anak yang memiliki sifat tertutup dan kurang terbuka dengan orangtua, maka biasanya kejadian di sekolah tidak akan mudah ia ceritakan ulang di hadapan orangtuanya. Banyak pertimbangan yang melatari hal tersebut, di antaranya orangtua yang sibuk sehingga tidak punya cukup waktu dan kesempatan untuk mendengarkan cerita anak. Atau orangtua yang tidak adil dalam menilai permasalahan. Misalnya dengan mudahnya menyalahkan anak atas peristiwa yang terjadi, sehingga tidak proporsional dalam menilai persoalan. Ataukah ketiadaan waktu yang membatasi anak untuk leluasa menuangkan segenap perasaannya pada orangtua. Padahal mengetahui permasalahan mereka sangatlah penting dan mendesak. Karena jika tidak ditindaklanjuti akan menimbulkan deretan panjang masalah di belakangnya.
Bagi orangtua yang peduli, biasanya ada dua opsi yang akan mereka berlakukan dalam menyikapi masalah sekolah anak. Pertama, memindahkannya ke sekolah lain apabila permasalahan di sekolah tersebut memang berat dan fatal. Tidak ada lagi jalan tengah yang dapat ditempuh. Kedua, mendampingi anak selama hari-hari berat yang harus mereka lalui. Memulihkan semangatnya jika itu terkait soal keengganan belajar, mendampinginya mengerjakan soal-soal sulit di rumah, atau kalau perlu mengantar-jemput ke sekolah untuk memberinya rasa aman sebatas yang dibutuhkannya.
Setidaknya, orangtua perlu memberikan perhatian serius manakala anak sudah menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan dalam hubungannya dengan sekolahnya. Karena jika hal tersebut dibiarkan berlalu begitu saja, maka akan menyisakan banyak kesan negatif pada benak anak. Semisal, menganggap orangtua tidak peduli pada masalahnya, dan lebih mementingkan urusan lain ketimbang urusan sekolah anak. Sehingga efek jangka panjangnya justru akan semakin buruk.
Tidak banyak sekolah yang ideal di mata kita sebagai orangtua. Namun apa boleh buat, untuk saat ini belum banyak pilihan yang mampu kita tempuh. Di antara penyebabnya di antaranya faktor biaya yang besar yang belum tentu banyak keluarga mampu untuk menanggungnya. Sementara untuk menyekolahkannya sendiri di rumah alias home schooling memerlukan kesiapan mental dan keseriusan tersendiri untuk menempuhnya. Apakah anak memang memilih metode belajar seperti itu? Jangan-jangan hanya orangtua yang memiliki ambisi untuk melakukannya.
Saya teringat dengan peristiwa yang juga pernah menimpa anak saya yang bungsu, saat ia menerima perlakuan tidak nyaman dari salah seorang teman sekolahnya. Berhari-hari ia nampak muram dan enggan untuk ke sekolah. Beruntunglah kami mampu menggali penyebabnya lewat ceritanya yang muncul belakangan, sehingga kami berhasil mengembalikannya ke sekolah seperti sediakala. Bahkan saat ini jika waktunya pulang, ia tidak langsung minta dijemput, malah minta waktu beberapa saat untuk bermain dulu bersama teman-temannya.
Mauliah Mulkin. Ibu rumah tangga, bergiat di Kelas Literasi Paradigma Ilmu.