Oleh: Sampean*
SKETSA, EDUNEWS.ID – Sosiologi terlahir dari keprihatinan situasi sosial yang melingkupi tokoh-tokohnya seperti Aguste Comte, Emile Durkheim, dan Max Weber. Mereka memancangkan sosiologi berwajah humanis, yang ingin membebaskan masyarakat dari tatanan struktur sosial yang kacau balau. Latar sejarah yang membelenggu Eropa selama 1000 tahun kegelapan tidak hanya menimbulkan ketertinggalan ilmu pengetahuan dari Islam, yang bertumbuh subur di timur tengah, daratan mediterania, dan semenanjung Spanyol. Tetapi juga, Eropa dibelenggu oleh otoritas gereja yang menimbulkan kekacauan, ketimpangan, dan kesenjangan sosial. Peperangan, penjarahan, perbudakan bertumbuh subur di tanah Eropa, yang dilegitimasi oleh kaum gereja dan pihak penguasa. Perebutan kekuasaan dan peperangan sulit terhindarkan.
Knut Hamsun sangat lugas bercerita dalam novelnya yang berjudul Sult (Lapar) mengenai masyarakat Eropa yang dilanda kelaparan. Akses sumber penghidupan yang sulit di dalam novel tersebut membuat orang saling menzalimi, tipu muslihat, dan pencurian dilakukan hanya untuk memperoleh sepotong roti. Bahkan, Tokoh utamanya harus makan kayu lapuk untuk menyambung hidupnya. Kegetiran Eropa yang lain termaktub dalam novel berjudul sampar ditulis oleh Albert Camus. Ia menceritakan penyebaran penyakit sampar akibat krisis ekologis yang melanda Prancis. Penyakit tersebut dibawa oleh Ledakan populasi tikus dan ditularkan ke manusia. Akhirnya, menimbulkan kegamangan karena kematian terjadi di mana-mana. Situasi gelap Eropa yang lain diceritakan oleh Victor Hugo dalam novelnya Less Misereble di mana kekuasaan dan birokrasi bertindak sewenang-wenang pada masyarakat, praktek perbudakan seolah tidak terhindarkan, kesenjangan, dan kegentingan sosial warna kehidupan keseharian. Sekelumit cerita dari sastrawan ini kita dapat memotret situasi kegelapan Eropa yang seolah tidak punya ujungnya.
Keprihatinan terhadap situasi sosial melanda Eropa tidak hanya dari kalangan sastrawan. Tetapi juga dari ilmuwan alam yang menggugat otoritas gereja atas dominasi pengetahuan. Perdebatan pusat tata surya antara pihak gereja dan ilmuwan menjadi cikal-bakal revolusi pengetahuan di Eropa. Kaum gerejawan bersikukuh mempertahankan doktrin pusat tata surya Geosentris (Bumi sebagai pusat tata surya), sementara itu digugat habis oleh Nicolas Copernicus dengan menggunakan teori Heliosentris (Matahari sebagai pusat tata surya). Perdebatan ini harus mengorbankan kepala Galileo Galilei untuk mempertahankan teori Heliosentris Copernicus. Belakangan teori ini mendapat dukungan dari ilmuwan alam seperti Giordano Bruno, Sir Isaac Newton. Pada akhirnya teori Geosentris gereja runtuh oleh Ilmu pengetahuan. Dominasi gereja pun berakhir atas kemenangan ilmu alam (ilmu keras).
Kemunculan ilmu alam tidak serta merta memberikan pembebasan kepada masyarakat Eropa. Ketimpangan, kesenjangan, kesengsaraan, dan kekerasan sosial masih merebak di masyarakat Eropa. Tetapi, perkembangan pengetahuan mendorong penemuan teknologi baru, yang menginspirasi revolusi industri di Inggris. Inggris yang bercorak masyarakat feodal dan agraris perlahan-lahan bergerak menjadi negara industri. Penemuan teknologi mempermudah mengeksploitasi alam dan menimbulkan perbudakan tenaga kerja. Situasi Inggris ini menginspirasi Karl Marx menelurkan karya fenomenal Das Kapital, yang menjelaskan konsep ekonomi kapitalis dan sistem penindasannya. Kemudian, di Prancis merebak revolusi politik dengan perebutan kekuasaan antara parlemen dan pihak Kerajaan Prancis berakibat pemenggalan kepala sang raja. Revolusi Prancis berimbas terhadap pemisahan antara politik dan agama, yang menjadi cikal bakal lahirnya sekularisme.
Berakhirnya, revolusi Prancis dan Inggris tidak memberikan perbaikan terhadap situasi sosial pada masyarakat. Tatanan sosial masih kacau balau, ilmu alam masih sangat sulit mengeluarkan masyarakat dari persoalan dan masalah sosial. Rasa sinis dan pemujaan pengetahuan makin menjadi-jadi, yang memicu lahirnya berbagai disiplin ilmu sosial termasuk Sosiologi. Sosiologi yang digagas oleh Aguste Comte berusaha membebaskan masyarakat dari ketertindasan, ketertinggalan, dan ketimpangan sosial. Hal tersebut tidak lepas dari obsesi Comte mengenai masyarakat harmonis. Harapan Comte terhadap ilmu sosiologi bisa menjawab persoalan masyarakat dengan perkembangan akal budi atau kesadaran masyarakat. Bahkan, dia menganggap sosiologi akan menjadi agama baru dalam masyarakat. Keyakinan tersebut suatu hal yang wajar di tengah masyarakat kalut dan kacau. Comte Tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain seperti Emile Durkheim dan Max Weber semakin memancarkan sosiologi sebagai bentuk disiplin ilmu sosial yang menjawab persoalan masyarakat. Sosiologi bertumbuh subur dari keprihatinan sosial. Durkheim mengukuhkan sosiologi sebagai ilmu untuk melihat bunuh diri sebagai fakta sosial, yang diakibatkan oleh kohesi sosial. Weber menegaskan dialektika kesadaran Individu mengenai pilihan rasional dalam menjalani kehidupan keseharian.
Perkembangan dan proses produksi pengetahuan di Eropa tidak bisa dipisahkan dari situasi dan kondisi sosial Eropa. Keberlangsungan ilmu alam dan ilmu sosial saling bahu membahu membangkitkan Eropa dari tidur panjangnya. Bangunan teori ilmu sosial (ilmu lunak) tidak lepas dari bangunan ilmu alam (ilmu keras). Struktur ilmu lunak mulai dari bangunan teoritis, topik, telah empiris, wilayah penelitian, dan renungan filosofis ditentukan oleh jejaring sosial pada tatanan masyarakat. Tetapi, ilmu lunak tidak lepas dari bayang-bayang ilmu keras.
Berkenaan dengan keadaan ilmu sosial dan jangkauan penjajahan Eropa. Daya jangkauan ilmu sosial termasuk sosiologi merebak ke berbagai wilayah di dunia sebagai ilmu kolonialisasi. Tidak ayal, teori-teori sosial termasuk sosiologi adalah hasil dominasi barat. Tokoh-tokoh barat digunakan untuk menganalisis masyarakat selain Eropa. Pada hal beberapa teori dipaksakan untuk diterapkan dan dikontekstualisasikan terhadap situasi masyarakat. Jika diselisik kelahiran ilmu lunak termasuk sosiologi terlahir atas keprihatinan situasi dan kondisi sosial yang melingkupi masyarakat tersebut. Seharusnya, teori-teori ilmu sosial dan sosiologi memiliki karakter masing-masing berdasarkan lokus wilayah, konteks, dan waktu. Situasi dan kondisi sosial terjadi atas perentangan antara ekologis dan aktor-aktor yang seharusnya melahirkan teori sosial dan sosiologi yang berbeda.
Produksi pengetahuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa sangat berbeda dengan perkembangan ilmu sosial di Asia maupun di Indonesia. Perkembangan ilmu sosial pada umumnya, sosiologi pada khususnya, Asia lebih banyak menyerap teori-teori barat. Dominasi Eropa sangat terlihat dari jenjang aktivitas ilmu sosiologi termasuk pengajaran, riset, penulisan, dan abstraksi terhadap situasi sosial masyarakat. Kemiskinan dan kemandekan ilmu sosial di Asia menurut Syed Farid Alatas (2010) karena Ilmuwan sosial di Asia cenderung mempelajari masyarakatnya sendiri, dan secara umum berkutat dengan riset empiris yang terkait dengan kebijakan. Akibatnya, karya mereka sangat pas-pasan tidak memberikan sumbangan teoritis dan perspektif baru dalam ilmu sosial. Ungkapan Alatas tersebut sangat sesuai dengan perkembangan sosiologi Indonesia. Pengajaran sosiologi sangat bergantung pada teori impor dari Amerika, Australia, Prancis, Belanda, Italy, Jerman, dan Inggris. Negara-negara biasa disebut kelompok Anglo Saxon dan Eropa Kontinental.
Kebergantungan akademik tersebut membuat pengajaran ilmu sosial dan sosiologi irelevan terhadap situasi sosial dan kondisi sosial Indonesia maupun Asia (Alatas, 2010). Model kebergantungan tersebut memicu terjadinya peminggiran dan pengucilan konsep-konsep lokalitas. Sehingga, teoritisasi terhadap situasi sosial dalam masyarakat tidak berkembang. Pengultusan barat pada dasarnya adalah proses penjajahan pengetahuan yang tidak sadari. Akan tetapi, kemajuan teoritisasi barat tidak bisa dielakkan yang berkembang pesat dan sangat cepat dalam merespons pengetahuan dari situasi sosial. Ilmuwan Indonesia tidak bisa dipungkiri sedikit banyak menyerap ilmu pengetahuan bahkan mengultuskan pengetahuan barat atas konsep teoritisnya. Tulisan-tulisan akademis tidak pernah lepas dari kutipan orang-orang barat. Proses ini akan sulit dielakkan sebab kelahiran ilmu sosial tidak bisa lepas dari latar kesejarahan masyarakat Eropa. Pertanyaan kemudian bisakah Sosiologi di Asia lepas dari bayang Eropa.
Indigenisasi, Mungkinkah!
Jika perkembangan sosiologi Eropa lahir atas keprihatinan sosial, sosiologi Indonesia lebih banyak menyerap teoritis barat daripada lahir dari situasi sosial. Perkembangan teoritisasi ilmu sosiologi di Indonesia belum cukup signifikan bisa dilihat dari karya-karya sosiologi anak bangsa. Mereka masih tidak bisa terlepas dari bayang Eropa Kontinental dan Anglo Saxon.
Selain itu, perkembangan ilmu sosial di Indonesia merupakan hasil kolonialisasi yang berlangsung 350 Tahun. Ilmu sosial digunakan untuk menguasai dan menundukkan masyarakat pribumi. Pengkajian masyarakat Indonesia oleh kolonial melalui indologi, yang khusus mengkaji bahasa dan kebudayaan pribumi. Indologi ini sangat berkontribusi terhadap proses penaklukan setiap wilayah. Indologi sebagai alat untuk melumpuhkan masyarakat. Tesis Snouck Hurgronje mengenai masyarakat islam ampuh menundukkan masyarakat islam di wilayah jajahan Eropa. Ia menyarankan kepada Eropa bahwa islam sebagai ajaran dan islam sebagai kekuatan politik harus dibedakan[1]. Pembagian kategori ini masih sangat berasa sampai sekarang. Pengaruh pembelahan penerapan itu masih berlangsung kuat dalam masyarakat berdasarkan arus keyakinan masyarakat Indonesia. Keyakinan masih banyak dipegang ilmuwan Indonesia termasuk orientalis Indonesia seperti Clifford Geertz, yang membagi masyarakat Islam Jawa menjadi Abangan, Santri, dan priyayi.
Pengaruh kajian Indologi pun masih cukup terasa dari berbagai studi ilmu sosial termasuk Sejarah. History Of java karya Thomas Stamford Raffles dalam mengkaji masyarakat Jawa masih sangat relevan hingga masa kini. Sehingga pengaruh indologi pun sulit dilepaskan. Hannamen Samuel (2010) meyakini bahwa penghindaran terhadap warisan kolonial dalam membangun wacana politik dan keilmuan tertentu justru memperkuat dampak warisan kolonial. Pengkajian terhadap etnisitas, agama, relasi sosial, ilmuwan sosial Indonesia menggunakan pola yang sama yang pernah digunakan oleh para kolonial.
Pesimisme yang dimiliki Hannamen Samuel sangat beralasan dengan melihat perkembangan akademik ilmu sosial maupun sosiologi sangat bergantung pada tradisi Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Selain itu, ketertinggalan ilmu sosial Indonesia cenderung berorientasi kebijakan dari pada aspek teoritis. Perkembangan ilmu sosial lebih mengedepankan kebutuhan akademik perguruan tinggi daripada kebutuhan pengetahuan masyarakat. Perguruan tinggi dan masyarakat memiliki jarak (gap) yang signifikan dalam proses perkembangan pengetahuan. Termasuk penggunaan gaya bahasa, Bahasa akademik yang digunakan pihak perguruan tinggi sangat sulit dipahami masyarakat. Efek dari kesenjangan pengetahuan tersebut tidak memiliki umpan balik atau proses pertukaran pengetahuan antara perguruan tinggi dan masyarakat. Perguruan tinggi hanya menempatkan masyarakat sebagai objek kajian untuk membangun struktur dan epistemologi ilmu pengetahuan. Sehingga pengetahuan tidak dialogis dan berakhir seperti angin lalu.
Ignas Kleden (1987) pun prihatin dengan keadaan ilmu sosial dan sikap ilmiah kaum intelektual Indonesia yang cenderung anti kritik. Dia menandaskan bahwa jika gagasan tertentukan oleh status sosial maka perkembangan ilmu sosial di Indonesia akan mengalami kemandekan karena pemikiran ilmu sosial tidak dapat teruji dan umpan balik. Kondisi ini masih banyak menjangkiti kaum intelektual kampus saat ini termasuk beberapa akademik.
Pengaruh ketertinggalan ilmu sosial bukan hanya ketergantungan garis pemikiran Anglo Saxon dan Eropa Kontinental, sikap konservatif kaum intelektual Indonesia, dan orientasi ilmu sosial pada kebijakan, tetapi juga, landasan teoritis ilmu sosial belum mampu menggali kultur dan struktur budaya masyarakat Indonesia secara universal. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh Pemisahan kajian antara disiplin ilmu sosial masih sangat kuat seperti yang dilakukan oleh Koentjaraningrat di masa orde baru. Antropologi menggunakan metode kualitatif sementara sosiologi menggunakan kuantitatif. Pembagian tidak hanya mengurangi daya jangkauan kedua disiplin ini akan tetapi juga mengerdilkannya. Hantu yang masih sulit kita hindari dalam mengkaji masyarakat Indonesia yakni kategorisasi yang dibuat oleh para ilmuwan sosial terdahulu dengan pendikotomian diri sendiri vs orang lain, khusus vs universal, subjektivitas dan objektivitas, orang dalam vs orang luar, beradab vs primitif, pria vs wanita, homoseksual vs heteroseksual. Dikotomi pemikiran ini berangkat dari landasan filsafat ilmu sosial bercorak Eropa dengan membagi epistemologi ilmu sosial menjadi atomisme vs holisme, sebab vs makna, ilmu sosial interpretatif vs ilmu sosial kausal, historiorisme vs nomologikalisme, konstruksionisme vs realisme naratif[2]. Pendikotomian ini Brian Fay harus dihindari pada pengkajian masyarakat multikultur khususnya pada Indonesia.
Dari kondisi ini bahwa salah satu alternatif yang digunakan dalam ilmu sosial adalah dengan memandirikan ilmu sosial dari ketergantungan dan pola pengkajian ilmu sosial yang sama dari sebelumnya. Alternatif yang lain dengan mempribumikan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Proses pribumisasi ilmu sosial di Indonesia menurut Ignas Kleden (1987) tidak lebih pada proses penentangan dari pada sikap ilmu ilmiah kaum intelektual Indonesia. Tetapi, kerangka pribumisasi ilmu sosial atau indigenis ilmu sosial sudah harus keluar dari proses ini. Indigenis ilmu sosial harus terlahir dari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, interpretasi pribumi, berorientasi pada kultur dan kebutuhan masyarakat lokal. Pada hakikatnya mengembalikan ilmu sosial dari kelahirannya sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Keprihatinan sosial sebagai bentuk keberpihakan ilmu sosial terhadap lokus budaya lokal, yang berbasis pada kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat. Dari keprihatinan sosial tidak bisa dipisahkan dengan kesadaran sejarah pada masyarakat tersebut. kesadaran sejarah menurut Soedjatmoko (1988) harus mampu membebaskan manusia, dengan menambahkan pengertian atau kesadaran tentang dirinya baik hari sekarang, maupun dari akar masa lalunya. Merenungkan sejarah, hidup bersejarah, pada hakikatnya telah merintis masa depan[3]. Oleh karena, hakikat sosiologi lahir dari keprihatinan sosial untuk membebaskan masyarakat, sudah semestinya teori sosiologi Indonesia mencirikan karakter masyarakat Indonesia.
1. Samuel, Hanneman. 2010. Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Di Indonesia dari Kolonialisme Belanda Hingga modernisme Amerika. Depok: Kepik Ungu.
2. Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu sosial Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
3. Soedjatmoko. 1988. Etika Pembebasan. Jakarta : LP3S.
Sampean. Lahir di Bulukumba, 10 Februari 1989. Penulis Pernah Bergiat di Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Yogyakarta. Alumni Sosiologi Universitas Negeri Makassar dan sementara menempuh pendidikan pasca sarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB).