Opini

Wabah Korupsi

Ilustrasi

Oleh : M Yunasri Ridhoh*

OPINI, EDUNEWS.ID – Francis Fukuyama dalam tulisannya “America: the Failed State” (2017), mengatakan ancaman terbesar abad ke-21 adalah gagalnya negara “Failed State“. Ancaman ini ditandai oleh kemiskinan, pengangguran, konflik antar kelompok, merebaknya aksi teror, dan mewabahnya perilaku korup.

Dalam buku Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006), Chomsky secara lebih detail mendeskripsikan negara gagal sebagai negara yang tidak mampu memberi jaminan keamanan bagi warganya, tidak menghargai dan menjamin hak-hak dasar warga — baik di dalam maupun luar negeri — mengabaikan hukum dan perjanjian internasional, menerapkan standar ganda, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kegagalan dalam mempertahankan keberfungsian institusi demokrasi.

Dengan kata lain disebut negara gagal, bila negara tersebut tidak mampu menjamin kebebasan warganya: bebas dari kekerasan, rasa takut, kelaparan, kemiskinan, dan ketimpangan ekstrem, serta bebas untuk menjalani hidup layak, mendapatkan layanan publik, dan mengenyam pelbagai kebutuhan dasar lain.

Tentang Korupsi

Kata Voltaire, dalam hal uang, semua orang beragama sama. Tidak peduli ia beragama apa, bertuhan atau tidak, bila dihadapkan pada setumuk uang, semua sama saja—rakus dan serakah. Sindiran Voltaire rasa-rasanya ada benarnya. Akhir-akhir ini, kita banyak disuguhi ragam berita tentang kerakusan atau keserakan dengan bermacam-macam modus dan kemasan.

Adalah Acton, seorang sejarawan dan filsuf berkebangsaan Inggris, kurang lebih 2 abad yang lalu mengingatkan “Power tends to corrupt, and absolutly power corrupts absolutely”, setiap kekuasaan cenderung korup. Dan kekuasaan absolut, pasti akan korup. Demikianlah peringatan sekaligus kegelisahan Acton setelah menyaksikan kekuasaan dijalankan.

Setelah berjuta-juta purnama, kegelisahan Acton rasanya masih juga relevan. Melihat kekuasaan dijalankan di Indonesia rasa-rasanya peringatan Acton menemukan konteksnya. Indonesia boleh dibilang surganya koruptor. Di negara ini, menjadi koruptor bukan sesuatu yang memalukan, banyak atau pun sedikit. Apalagi bila tidak ketahuan. Kalau pun ketahuan seringkali juga malah diperlakukan secara istimewa.

Barangkali hanya di Indonesia sel tahanan koruptor serasa kamar hotel berbintang. Fasilitasnya super lengkap, ada kulkas, TV, komputer, AC, perlengkapan olahraga, laundry, catering khusus, kamar mandi mewah, meja kerja, springbed, dan bisa plesiran ke mana-mana. Sementara napi untuk kejahatan yang lain, jauh dari kata layak, satu sel tahanan bisa dihuni 30-40 orang, tanpa AC bahkan kipas pun tak ada, mereka tidur di lantai secara bergantian tanpa alas kasur sedikit pun.

Itulah kenapa Indonesia juga dijuluki sebagai pusat pariwisata koruptor. Hampir setiap jenis korupsi ada dan tersaji dengan meriah. Anda sisa pilih saja, ada yang bermerk legislatif, belabel eksekutif, bercap yudikatif, bahkan yang berjubah agama dan berlabel pendidikan juga tersedia.

Kenyataan itu seakan mengafirmasi bahwa bangsa kita memang bangsa korup, seperti kata Mochtar Lubis, lebih dari 40 tahun yang lalu. Jangankan di sektor yang memang rawan korupsi seperti perizinan, pengadaan barang/jasa, peradilan, pembangunan infrastruktur dll.

Di bidang yang harusnya menjadi benteng terakhir moralitas publik saja sudah kebobolan. Lihatlah korupsi dana pendidikan di sekolah dan kampus-kampus, korupsi dana haji dan cetak Al-Qur’an di Kemenag. Bahkan yang tidak kalah menyedihkan, kabar bahwa proyek pembangunan taman integritas dan tugu anti korupsi pun, anggarannya dikorup habis-habisan.

Dan yang lebih menyakitkan, beberapa waktu yang lalu, lembaga anti rasuah yang didirikan untuk memberantas korupsi, penyidiknya juga terbukti melakukan korup. Ini memilukan, sekaligus memalukan.

Tidak heran Indonesia tercatat sebagai salahsatu negara terkorup di kolong langit. Data Transparancy International Indonesia (TII) dalam indeks persepsi korupsi atau corruption perception index (CPI) masih menempatkan Indonesia berada di skor 40 atau berada di ranking 85 dari 180 negara. Ini angka yang memalukan untuk negara dengan kekayaan budaya, kearifan, keluhuran budi dan tingkat religiusitas tertinggi di dunia. Jangan-jangan iman spritual  tidak fungsional di kehidupan sosial.

Data itu cukup beralasan. Sebab, di Indonesia korupsi memang menjadi semacam kompetisi. Orang-orang seperti berlomba melakukannya. Yang juara adalah yang korupsinya paling banyak dan tidak ketahuan. Sampai-sampai muncul sebuah anekdot, ‘semua pejabat itu pasti korupsi, bedanya ada yang ketahuan, ada pula yang belum dan samasekali tidak ketahuan’. Entahlah ini benar atau tidak, tapi rasa-rasanya anekdot ini ada benarnya.

Gus Dur bahkan pernah berguyon, ‘dulu orang korupsi di bawah meja. Sekarang, bukan hanya korupsi di atas meja, bahkan mejanya pun ikut dikorupsi’. Lengkapnya kata Gus Dur kayak begini, ‘Di era Orde Lama, korupsi dilakukan di bawah meja. Lalu di era Orde Baru korupsinya di atas meja. Nah, sekarang di era Reformasi, mejanya pun ikut dikorupsi.

Ungkapan ‘mejanya pun ikut dikorupsi’ sebetulnya ingin menjelaskan kepada kita tentang makin parahnya perilaku korup ini. Hal itu menandakan bobroknya tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera kita. Makin kesini rasa-rasanya perilaku korup malah makin mewabah, mungkin telah menjadi pandemik. Yang dahulu hanya berada di lingkaran eksekutif, sekarang bahkan terjadi di seluruh cabang kekuasaan. Yang dulunya hanya terjadi di pusat pemerintahan, sekarang bahkan secara berjamaah dilakukan, dan mirisnya hal tersebut terjadi sampai ke pelosok-pelosok daerah. Wilayah yang menjadi halaman depan Indonesia.

Padahal kita sama-sama sudah ketahui bahwa korupsi dan nepotisme pasti berdampak pada memburuknya pembangunan manusia dan bangsa. Yang paling nyata kita bisa rasakan adalah lesunya perekonomian, meningkatnya kemiskinan, tingginya kriminalitas, terjadinya demoralisasi, dan yang lebih meghawatiran terjadinya distrust society. Sehingga cepat atau lambat birokrasi kita hancur dan sistem politik-pemerintahan kita akan lumpuh. Yang pada akhirnya menyebabkan suramnya masa depan demokrasi dan cita-cita kemerdekaan kita.

Tidak heran, setelah 76 tahun Indonesia merdeka kita masih saja menjadi negara berkembang—istilah ini sebetulnya untuk memperhalus saja istilah bahwa negara kita tidak dikelola dengan tidak baik. Kita jauh tertinggal dari bangsa-bangsa yang merdekanya belakangan, sebutlah misalnya Singapura. Bayangkan, kita masih memiliki lebih dari 26,42 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, ini kalau menggunakan indicator pemerintah. Bila kita menggunakan ukuran PBB, maka nyaris separuh dari penduduk Indonesia masih dalam kategori miskin.

Selain itu, kita juga menjadi negara dengan peringkat korupsinya di urutan ke 85 di dunia. Lalu angka ketimpangan akses atas SDA masih menganga lebar, kurang dari 0,2% penduduk indonesia yang menguasai 74% tanah. Kemudian 79% perusahaan berbendera asing menguasai SDA kita.

Belum lagi kualitas pendidikan yang masih buruk, Indonesia masih berada di peringkat 72 dari 77 negara. Lalu indeks kesehatan juga masih buruk, berada di peringkat 101 dari 149 negara. Kemudian indeks demokrasinya juga terus menurun, berada di peringkat 64. Dan terakhir indeks kinerja HAM-nya juga kian memburuk.

Mengenai korupsi, ada baiknya kita belajar dari Yunani, negeri yang dulunya masyhur karena ketinggian ilmu, kebijaksanaan hidup dan keadaban-keadabannya. Kini hanya menjadi seonggok negara (hampir) gagal, yang dikepung oleh problem kemiskinan dan pengangguran. Kenapa begitu? Disinyalir karena sumber daya dan lahan pekerjaan diisi atau dikuasai oleh anak, keponakan, sepupu atau saudara dari seorang pejabat atau orang penting di pemerintahan. Begitu juga dengan Bangladesh, juga ambruk karena dimabuk oleh hasrat dan kehendak kuasa yang berlebihan, di sana area public dan privat menjadi kabur, apa saja dikorupsi.

Mari belajar dari pengalaman itu. Barangkali perlu ada upaya serius dan komprehensif untuk menyelesaikannya. Memang disadari itu bukan pekerjaan mudah, tapi saya kira juga bukan hal mustahil. Sekalipun barangkali bagi beberapa orang ini sudah cukup terlambat. Usia 76 tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Itu usia yang cukup matang dan dewasa untuk sebuah negara. Harusnya kita sudah selesai dengan urusan pengentasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi.

Apa yang harus dilakukan ?

Oleh karena korupsi adalah problem sistemik (regulasi, aparatur, penegakan hukum dls.) dan kultural (mental, kebiasaan, kesadaran) maka penyelesaiannya juga mesti melalui pintu yang sama. Pada lapis kultural keberadaan institusi pendidikan dan keteladanan (terutama) para tokoh memainkan peranan penting. Pendidikan (dalam arti luas) dan keteladanan mesti menjadi garda terdepan dalam membimbing kita tentang hal-hal fundamental, seperti etika publik, good and smart citizenship, good and clean governance, dll.

Sementara pada lapis sistem, diperlukan upaya serius untuk mendesain dan menata ulang pencegahan dan pemberantasan agar lebih fungsional, terintegrasi dan partisipatif dari hulu ke hilir. Diantaranya, perbaikan di sektor regulasi dan penegakan, misalnya dengan memberikan vonis pidana maksimal, mengembalikan seluruh kerugian negara, tak ada remisi, pencabutan hak politik (aktif) secara permanen atau diasingkan dari jabatan public dalam waktu yang lama. Hal yang lainnya ialah perbaikan di sektor rekruitmen pejabat publik, baik yang dipilih langsung oleh rakyat, atau pun tidak, mesti benar-benar berlandaskan pada prinsip efisensi, transparansi, murah, dan merit system.

Barangkali ada upaya solutif yang lain, tetapi setidak-tidaknya usul di atas menurut hemat saya akan cukup memberi dampak pada perbaikan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera negara kita.

Selamat hari anti korupsi. Satu kata untuk korupsi, LAWAN !

 

M Yunasri Ridhoh. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UPI dan Pengurus MASIKA ICMI Kota Makassar)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top