Oleh : Abdul Malik Raharusun*
Sepekan jelang Imlek 2022 beberapa Ketua RW dan Ketua RT mengirimkan Kue Keranjang. Kepada Ibu Aching, perempuan Tionghoa campuran Cianjur, Jawa Barat yang menjabat Ketua RT.013/RW.001 saya katakan “tidak enak menerima pemberian nanti dicap menerima upah atau gratifikasi” tapi kata Ibu Aching, “jangan begitu Pak Lurah ini Nian Gao atau Kue Keranjang tradisi kami warga Tionghoa menyambut Imlek, ini penolak keburukun dan mendatangkan keuntungan untuk saya dan Pak Lurah”.
Singkat cerita saya terima dua buah Kue Keranjang dari Ibu Aching, juga dari Ketua RW.001 Ibu The Khek King, Ketua RW.03 Pak Asiong, dan Ketua RT.004/RW.04, Ibu Lolita. Harganya tidak seberapa di Pecinan Glodok per satu buah Kue Keranjang dihargai dari harga Rp.30.000 sampai Rp.40.000 per buah. Kata Ibu Aching, Kue Keranjang yang diberikan special langganan keluarganya setiap tahunnya dari Cianjur.
Kue Keranjang berbahan dasar tepung ketan, tepung sagu, tepung beras dan gula merah yang diolah menyerupai dodol. Kue Keranjang klasik berwarna merah dan disajikan dengan cara di goreng tepung dan ada juga yang dikukus kelapa. Dalam perkembangan cita rasa kuliner, Kue Keranjang yang hadir tidak hanya berwarna merah tua tetapi juga merah muda, warna pink dan lainnya. Penyajiannya juga terdapat beberapa varian rasa seperti Kue Keranjang Wijen, Kue Keranjang Santan, Lumpian Goreng Kue Keranjang dan sebagainya.
Sebagai tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun –beberapa kronik menyebutkan Kue Keranjang telah ada sejak zaman Dinasti Liao (907-1125 M)- di masyarakat. Menurut sejarawan Jongkie Tio, Kue Keranjang masuk ke Indonesia sekitar tahun 400an bersamaan dengan masuknya orang-orang China yang membangung Klenteng. Saat itu Kue Keranjang menjadi hantaran wajib ke Klenteng.
Kue Keranjang dalam penyebutannya di masyarakat hadir dalam beberapa nama. Menariknya setiap namanya memiliki latar sosial dan sejarahnya. Pertama, nama Kue Keranjang, disebut Kue Keranjang sebab dulunya anyaman rotan berbentuk keranjang bolong kecil menjadi cetakan Kue Keranjang. Nama Kue Keranjang populer pada masyarakat Surabaya, Malaysia dan Singapura. Kedua nama Nian Gao. Nama Nian Gao erat dengan cerita mitos yang hidup ditengah masayarakat Tionghoa. Jongkie Tio menyebutkan kisah tentang raksasa jahat dan pemuda di sebuah desa di dataran Tiongkok.
Diceritakan, raksasa jahat bernama Nian tersebut kerap mengganggu manusia dan segala mahluk yang tinggal di Tiongkok. Tak hanya mengganggu, raksasa jahat ini pun memangsa manusia. Suatu waktu, pemuda baik hati bernama Gao datang ke desa tersebut. Mendengar perbuatan jahat sang raksasa, Gao memiliki ide untuk mengusir raksasa tersebut. Dia meminta warga desa untuk membuat kue manis yang lengket untuk ditempelkan di depan pintu. Jadi, saat sang raksasa datang ke rumah untuk memangsa warga akan terkecoh dan teralihkan dengan manis dan lengketnya kue tersebut. Nama Nian Gao popular dikalangan Tionghoa.
Ketiga nama Dodol Chine. Nama Dodol Chine menyiratkan akulturasi kebudayaan China dan Melayu-Nusantara. Kue Dodol sangat familiyar pada kalangan masyarakat Nusantara, berbahan dasar Tepung Beras yang di ola sampai mengental kehitaman bersama Gula Merah. Karena asalnya dari China disebut dengan dialek Melayu-Betawi jadinya Dodol Chine atau Dodol Cina. Nama ini dikenal masayarakat Jakarta, Tangerang dan Jawa Barat.
Dan, Keempat, Kue Tahunan, nama Kue Tahunan karena ini Kue yang secara tradisi juga ritual kepercayaan berkaitan dengan perayaan tahunan Imlek. Kue Keranjang hanya dibuat setahun sekali dalam rangka peringatan Imlek. Karena berlangsung dalam waktu yang panjang rasanya Imlek dan kehadiran Kue Keranjang ibarat dua sisi mata uang.
Berbagi Kue Keranjang jelang Imlek seperti magnet untuk merekatkan kohesi sosial antara sesama warga Tionghoa juga dengan etnis lain yang hidup bertetangga. Peda jelang perayaan Imlek beberapa warga Tionghoa di Kelurahan Taman Sari, seperti Ibu Aching membagikan Kue Keranjang kepada tetangga, sahabat dilingkungan Kelurahan. Tradisi membagikan Kue Keranjang juga dipercaya sebagai ikhtiar saling mendoakan dijauhkan dari keburukan dan mendatangkan keberuntungan serta kemakmuran.
Hal yang sama juga terjadi jelang Idul Fitri misalnya yang Muslim akan membagikan Ketupat dan Opor Lebaran, suasana keharmonisan membagikan makanan jelang perayaan keagamaan ini menjadi tradisi baik di Taman Sari yang berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Ketika Jakarta, Batavia dan Sunda Kelapa menjadi epicenterum pertemuan lintas etnis dan agama, kawasan Taman Sari interaksi antara Arab, China dan Melayu menjadi kohesi kekuatan sosial yang tetap terjag sampai saat ini.
Kawasan Taman Sari, seperti di kawasan Pecinan Glodok menjadi sentrum Indonesia dalam perayaan tahunan Imlek. Terdapat Vihara tua Dharma Bakti dibangun pada tahun 1650 oleh Luitnant Tionghoa Kwee Hoen. Pada awal berdirinya Vihara ini dinamakan Koen Im Teng (Paviliun Koan Im). Selain itu terdapat Petak Sembilan, China Town dan sepanjang Jl. Pancoran yang menjual Kue Keranjang dan aksesoris Imlek lainnya. Akhir Januari sampai pekan kedua Februari kawasan Pecinan Glodok selalu ramai kunjungan warga menikmati warna merah perayaan Imlek. Jadi kamu kapan ke Pecinan Glodok ?
Abdul Malik Raharusun. Lurah Kelurahan Taman Sari
