Oleh : Saddam Husain Tamrin , S.Sos., M.A.P*
OPINI, EDUNEWS.ID – Momentum Idulfitri bukan hanya sebatas hari raya umat Islam. Namun juga, momentum untuk memulihkan ekonomi akibat pandemi. Hal ini dapat dilakukan jika pemerintah mampu menghadirkan manajemen dan program khusus dalam mengoptimalkan peluang perputaran ekonomi. Tentunya, perputaran ekonomi ini sangat besar karena arus mudik yang sangat tinggi.
Libur dan cuti bersama Idulfitri 2022 merupakan pertama kalinya pemerintah mengizinkan mudik sejak 2019 lalu. Tentunya, arus gelombang mudik yang bergerak dari kota ke daerah menjadi besar, begitu pun arus mudik antar pulau. Sehingga boleh dikatakan, kondisi new normal sudah berjalan di Indonesia. Kita tentu mensyukuri hal ini, sebab mudik bukan sekadar merayakan hari besar umat Islam dan menikmati libur. Tapi lebih pada mengobati kerinduan akan orang tua maupun keluarga serta kampung halaman.
Momentum ini disambut pemerintah pusat dengan menerbitkan Keputusan Presiden nomor 4 tahun 2022 tentang Aturan Cuti Bersama Pegawai Aparatur Sipil Negara Tahun 2022. Cuti lebaran yang ditetapkan yakni mulai tanggal 29 April dan berlanjut tanggal 4, 5 dan 6 Mei 2022. Idulfitri yang jatuh pada tanggal 2 Mei bertepatan dengan hari Pendidikan nasinal yang juga merupakan hari libur. Otomatis, cuti bersama tahun ini memiliki durasi yang panjang.
Begitu pun swasta, umumnya mengikuti jadwal cuti bersama ini. Tentu dengan lebih dari sepekan, ini merupakan cuti terpanjang dalam beberapa tahun terakhir. Pertimbangan pemerintah ini patut diapresiasi dengan memberi ruang masyarakat untuk berlama lama di kampung halamannya. Tentu terdapat maksud lain dibalik hal tersebut, cuti panjang ini diharapkan pemerintah mampu mendorong geliat ekonomi di semua daerah di Indonesia. Dengan pergerakan massa yang tinggi, tentunya akan membuat peredaran uang pun meningkat.
Hitungan pemerintah sangat jitu soal cuti panjang ini. Sebab, perputaran uang diprediksi sangat tinggi. Apalagi mudik menjadikan meningkatnya konsumerisme warga. Dimana beberapa ritual lebaran merupakan belanja langsung, sebut saja tunjangan hari raya (THR), berkirim parsel, hidangan untuk tamu pasca lebaran, berkunjung ke tempat wisata hingga ole ole untuk keluarga di kampung halaman maupun saat kembali .
Belum lagi, banyaknya orang kota yang cenderung konsumtif di daerah, dapat menggeliatkan transaksi jual beli di kampung halaman yang dituju. Selain umumnya yang mudik adalah kelas menengah, juga tentu gengsi untuk tampil sukses menjadikannya harus lebih konsumtif dengan berbelanja berbagai kebutuhannya di daerah tersebut.
Lantas, apakah pemerintah daerah mengoptimalkan peluang ini?
Kebijakan cuti bersama lebaran dengan durasi panjang dan pertama kali pasca pandemi ini sepertinya hanya disambut biasa saja. Seperti tradisi tahun tahun sebelumnya, menyiapkan posko mudik, menyiapkan jalur alternatif untuk mengurai kemacetan, hingga menyiapkan penukaran uang kecil bagi perbankan.
Secara spesifik di daerah pun demikian. Di sepanjang jalan baik sehari sebelum, maupun pasca lebaran kita menemukan umumnya banyak toko yang tutup. Sehingga walaupun pemudik ingin berbelanja, mereka kesulitan mendapatkan toko yang buka. Hal ini tentunya membuat geliat ekonomi tidak berjalan optimal.
Begitu pun ketersediaan kuliner khas daerah, umumnya sulit dijumpai. Padahal ini menjadi incaran para pemudik. Begitu pun cinderamata khas daerah. Intinya, pemerintah, khususnya pemerintah daerah belum menyiapkan strategi khusus untuk mengoptimalkan potensi menggeliatnya ekonomi publik sebagai jembatan mempercepat pemulihan ekonomi.
Bagaimana harusnya pemerintah daerah?
Respon pemerintah daerah tentu sangat ditentukan oleh kepala daerahnya. Jika kepala daerahnya tidak visioner, maka hanya akan fokus pada program yang telah ditetapkan sebelumnya serta mengejar realisasi janji politiknya. Di sisi lain, ada pula kepala daerah yang takut bertindak karena tidak ingin mengambil resiko.
Hal ini sejalan dengan Katharina Balazs (1999) dalam Transforming the Mind-set of the Organization yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin akan ‘diam’ di tengah krisis dan berlaku defensive terhadap masa lalu, serta ragu untuk menentukan strategi ke depan. Pemimpin terjebak dalam ketakutan untuk menjanjikan sesuatu yang tidak ia ketahui. Ditambah lagi jika dalam kepemimpinan daerah itu hanya bertumpu pada bupati/walikotanya saja.
Pemimpin harusnya mampu mengoptimalkan peluang yang ada. Untuk itu, kepala daerah harus mengadopsi konsep kepeimpinan adaptif. Kepemimpinan seperti ini akan berhasil jika memperoleh dukungan dari berbagai stakeholder guna menyukseskan kepemimpinan adaptif dalam tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, paradigma adaptive governance dapat diterapkan untuk mendukung adaptive leadership.
Kepemimpinan daerah harus memahami model adaptive governance yang merupakan konsep yang menopang kepemimpinan adaptif. Janssen dan Van der Voort (2016) dalam “Adaptive Governance: Towards a Stable, Accountable and Responsive Government” mengartikan adaptive governance sebagai tata telola pemerintahan yang mendahulukan kepentingan publik melalui respons cepat terhadap perubahan lingkungan. Sementara itu, Brunner dan Lynch (2005) mendefinisikan konsep adaptive governance yakni mendorong output kebijakan yang berdasarkan integrasi birokrasi dan kebijakan lintas sektor, serta pengambilan keputusan berbasis ilmu pengetahuan.
Kedua konsep yang dikemukakan tentang adaptive governance ini harusnya diterapkan pemerintah daerah dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi. Tentunya, jika dilakukan dengan kajian ilmiah dalam merumuskan strateginya, momentum lebaran dan cuti panjang ini telah dipersiapkan sebelumnya untuk dioptimalkan. Di sisi lain, kemampuan adaptasi yang baik, memungkinkan pemerintah daerah melakukan respon cepat atas adanya kebijakan cuti tersebut. Respon cepat dapat lebih optimal dengan melibatkan lintas sektoral baik itu perbankan, jasa transpartasi, agen wisata hingga kuliner. Ini dapat dioptimalkan dengan menerapkan konsep adaptive governance itu sendiri.
Dengan demikian, peluang geliat ekonomi ini harus dioptimalkan pemerintah daerah dengan segera mengkoordinasikan lintas sektoral untuk menyediakan berbagai instrumen ekonomi daerah. Misalnya menyiapkan pelayanan yang baik di lokasi wisata, mengkoordinasikan pemerintah kecamatan dan desa untuk mengoptimalkan toko dan pasar agar tetap buka, serta menghadirkan informasi akurat tentang kuliner dan cinderamata khas daerah seperti kuliner Mandar dan Mamuju.
Kedepan, kita berharap pemerintah daerah harus menyiapkan diri untuk menyiapkan setiap instrumen dalam mengkontruksi pemerintahan yang adaptif. Agar berbagai potensi dan momentum dapat dioptimalkan dalam memajukan daerah.
*) penulis adalah Dosen Universitas Terbuka (UT) Majene
