Oleh : Mohamad Sukarno, S.IP
OPINI, EDUNEWS.ID-Pemerintah Indonesia resmi menutup laju ekspor Crude Palm Oil (CPO) melalui Permendag No 22 Tahun 2022 (Kompas 2022). Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh kelangkaan dan antrian panjang di berbagai wilayah. Hal tersebut sebenarnya menjadi sebuah ironi karena melihat Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan pasokan CPO yang tinggi. Pemerintah kemudian merespons peristiwa tersebut dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 untuk kemasan minyak bermerk, Rp 13.500 untuk kemasan sederhana, dan Rp 11.500 khusus untuk kemasan minyak goreng curah (Kompas, 2022). Selain itu juga pelaku industri juga diwajibkan untuk wajib pasok untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tujuan utamanya adalah untuk mencukupi bahan pasokan ketersediaan dalam negeri.
Setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai larangan ekspor CPO, kemudian muncul permasalahan baru khususnya para pelaku industri kelapa sawit. Data dari CNBC (2022) menyebutkan bahwa larangan ekspor menyebabkan anjloknya pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit sampai dengan 60%. Kisaran penurunan harga pembelian TBS tersebut diperkiraan turun sebesar Rp 300-1.400 per kg. Sehingga, hal tersebut tentunya akan berpotensi adanyan konflik antar petani maupun para pelaku industri kelapa sawit sendiri. Kemudian keresahan masyarakat mengenai penurunan harga TBS sebenarnya telah berpotensi melanggar dari ketentuan harga dari penetapan harga TBS menurut Peraturan Menteri Pertanaian (Permentan) No 1 Tahun 2018 mengenai Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Selain menyebabkan gejolak di dalam negeri, larangan ekspor tersebut juga berdampal pada lonjakan harga minyak goreng di dunia. Bursa Malaysia Derivatives Exchange melaporkan bahwa dunia mengalami lonjakan munyak sawit sebesar 6%. Hal tersebut juga berpotensi pada tekanan inflasi pangan dunia. Dua implikasi tersebut sebenarnya menimbulkan efek yang dasar baik bagi para petani dan pelaku industri kelapa sawit maupun adanyan gunjangan kenaikan minyak goreng di dunia. Kebijakan tersebut akan lebih bijak apabila pemerintah dapat mengantisipasi kejadian kenaikan minyak goreng dalam negeri sebelum marak dan makin parah. Kemudian para pelaku usaha juga harus memiliki regulasi tersendiri dalam mentapkan harga TBS maupun ekspor, sehingga perlu adanya komunikasi dan manajemen dalam memenuhi stok pasokan minyak dalam negeri maupun kebutuhan ekspor luar negeri.
Setelah pemerintah menganggap pasokan kebutuhan (Domestic Market Obligation/ DMO) terpenuhi, maka terbit kebijakan pembukaan kembali ekspor kelapa sawit (CPO) pada 23 Mei 2022. Pemerintah menilai bahwa ketersediaan DMO terhadap bahan baku minyak goreng sudah terjaga yang terdiri atas 10 juta ton (CNBC, 2022). Selain itu pemerintah juga berupaya bahwa para produsen minyak kelapa sawit diharuskan untuk memprioritaskann ketersediaan DMO dalam negeri dan pemerintah akan menindak tegas terhadap hal itu. Kementrian Perdanganan juga akan memonitor teknis mengenai penetapan harga TBS kelapa sawit secara berkala sehingga dikhawatirkan tidak menimbulkan kekacauan harga.
Oleh karenanya setelah melihat pasokan minyak goreng yang cukup serta melihat adanya kritik dari sejumlah pihak pemerintah membuka kembali ekspor CPO. Dengan adanya pembukaan ekspor CPO kembali hal ini dimaksudkan untuk dapat memenuhi stok pangan dunia karena secara cata Indonesia merupakan produsen CPO terbesar. Selain itu juga penetapan TBS diharapkan akan lebih dapat stabil kembali sekaligus menambah pendapatan devisa negara dari aktivitas ekspor CPO.
Mohamad Sukarno, S.IP, mohamadsukarno5@gmail.com
