YOGYAKARTA, EDUNEWS.ID-
Program Studi Hubungan Internasional Program Magister (HIPM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyelenggarakan HIPM Lecturer Series secara luring yang bertempat di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana Lantai 1 Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (1/10/2022).
Kegiatan kali ini menghadirkan pembicara, pengamat politik sekaligus Komisioner KPI Pusat, Dr Aswar Hasan yang memaparkan materi mengenai Demokrasi, Media Baru dan Digitalisasi Penyiaran.
Kegiatan ini diikuti oleh sekira 40 partisipan yang berasal dari mahasiwa pascasarjana UMY dan beberapa mahasiswa dari kampus yang ada di Yogyakarta.
Ketua Program Studi Hubungan Internasional Program Magister (HIPM) UMY, Dr Ahmad Sahide dalam sambutannya menyampaikan bahwa pada saat ini demokrasi erat kaitannya dengan sosial media dengan berbagai variannya.
Sehingga, kata dia, HIPM menghadirkan tema yang relevan dengan pembicara yang punya kapasitas dan kapabel untuk menyampaikan gagasan dan pandangannya.
“Alhamdulillah, kali ini kita berkesempatan mendengarkan langsung dari pakarnya, sekaligus yang berkompeten berbicara soal demokrasi dan media baru di era digital saat ini, yakni Komisioner KPI Pusat, bapak Aswar Hasan,” ucap Ahmad Sahide.
Sementara itu, Aswar Hasan dalam paparannya banyak menyinggung persoalan demokrasi saat ini, jika dikaitkan dengan kehadiran media baik media konvensional terutama kehadiran media baru seperti media sosial, youtube dan lainnya yang kini secara tidak langsung juga mendinamisasi alam demokrasi di RI.
Aswar Hasan mengungkapkan, demokrasi sangat penting. Pada akhir 2021, Prof Haedar Nashir melakukan pidato yang membuat para hadirin terkesan dan melakukan refleksi dalam kehidupan berbangsa, dalam pidato tersebut Haedar mengungkapkan jika betul setelah reformasi, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan terutama dalam kebebasan pers. Tetapi kebebasan itu baru sampai tahap procedural. Seiring berjalannya reformasi, tahap prosedural tidak berjalan beriringan dengan substansial.
Aswar Hasan kemudian mengungkapkan beberapa alasan mengapa demokrasi prosedural tidak berjalan linier dalam substansial.
“Pertama, elit politik terlambat mendewasakan dirinya dalam demokrasi,” kata Aswar.
Kedua, lanjut Dosen Komunikasi Universitas Hasanuddin Makassar ini, demokrasi Indonesia tidak berlangsung secara baik dan benar karena konsolidasinya terhambat.
“Konsolidasi demokrasi yang berhubungan dengan rakyat tidak berjalan semestinya karena pengaruh oligarki,” ungkap Aswar Hasan.
Ketiga, kata Aswar, praktek demokrasi Indonesia masih terhalang institusi dan kepentingan kekuasaan.
“Institusi yang menjadi pilar demokrasi itu sendiri justru menghambat proses demokrasi. Hakikat demokrasi, kembali kepada rakyat,” ungkap Aswar.
Keempat, papar Aswar, praktek demokrasi di Indonesia dimainkan oleh influencer yang kemudian perannya sebagai buzzer yang mencemarkan kebenaran yang seharusnya menjadi prinsip bernegara.
“Sehingga, wajar jika kualitas demokrasi Indonesia menurun karena adanya peran influencer yang berperan sebagai buzzer di media sosial,” papar Aswar.
Aswar juga menyebut, UU penyiaran saat ini belum bisa menjangkau para influencer yang melakukan kesalahan.
“Karena tidak masuk dalam definisi penyiaran,” ujar Aswar.
