Oleh Syafinuddin Al-Mandari*
OPINI, EDUNEWS.ID – Sangat menarik cacatan Kakanda Idham Hayat, untuk selanjutnya akan ditulis; Kak Idham.
Beliau adalah Ketua Umum HMI Cabang Ujungpandang Periode 1988-1989. Tak mudah mendapatkan perhatian dari beliau yang sudah amat jauh jarak masa aktifnya dengan para aktivis yang kini tengah berkongres.
Ketika membaca tulisan beliau lewat sebuah media maya, ada semacam perasaan yang menyatakan betapa pentingnya tulisan beliau itu.
Setahu saya, Kak Idham amat irit menyampaikan pendapat dalam kaitannya dengan keadaan terbaru di Himpunan yang pernah dibelanya ini. Mencoba meraba alasan iritnya itu, ada sejumlah kemungkinan.
Pertama, beliau sudah amat nyaman menyaksikan buah pendidikan kader yang dahulu ditanam benihnya oleh beliau dan kawan-kawan di HMI Cabang Ujungpandang.
Kedua, semua dinamika yang disaksikannya memang seyogyanya adalah domain kerja kader saat ini. Beliau mungkin sangat yakin bahwa kader-kader telah memiliki kearifan masing-masing untuk menyelesaikannya di dalam forum resmi dan terhormat.
Ketiga, selama ini tidak ada perkara yang terlalu genting sampai pada tingkat merendahkan kehormatan forum tertinggi organisasi Islam ini. Memang sudah sampai waktunya untuk sedikit beristirahat.
Namun dengan munculnya pendapat Kak Idham tersebut, tampaknya telah terjadi sesuatu dalam kongres itu. Ini perlu dilihat sebagai suatu keadaan yang cukup penting.
Ada apa dengan kongres yang di dalamnya dirayakan dan dirasakan suasana milad atau dies natalis HMI itu? Beberapa pemberitaan, termasuk tulisan Kak Idham telah memberikan informasi tentang keadaan sebelum dan ketika kongres dihelat.
Kongres yang sedang berlangsung ini adalah Kongres XXXIII HMI. Rencananya akan berlangsung pada 30 Januari sampai 5 Februari 2023 menurut informasi Panitia Pelaksana Kongres dan pengumuman yang disampaikan oleh PB HMI MPO.
Publik HMI MPO menaruh harapan. Ada juga ekspresi suka cita menyambut kongres yang tuan rumahnya adalah HMI Cabang Jakarta Selatan.
Namun publik tadi layak menjadi kecewa lantaran HMI MPO menyelenggarakan dua kongres. Terpecah pada hari dan jam yang sama.
Inilah kali kedua HMI MPO tertarik mengikuti jejak saudara kembarnya, HMI Dipo, yang pernah terbelah.
Entah, dapatkah HMI MPO juga mengikuti cara HMI Dipo menemukan kesamaan baru untuk kemudian menyatu kembali, setelah adanya klaim HMI MPO dari Ahmad Latupono, Calon Ketua Umum PB HMI MPO yang kalah dalam Kongres XXXII HMI di Kendari? Ini yang dapat dicermati di kemudian hari.
Sebelum kongres dilangsungkan itu sudah ada suasana yang amat hangat dan eskalasinya terus meluas. Semuanya bermula dari molornya kongres. Juga tertundanya kongres berkali-kali dengan dalih yang tak memadai di mata berbagai cabang.
Seyogyanya, tak jauh dari Maret 2022, yakni dua tahun sesudah dilantiknya Ketua Umum atau Formatur PB HMI MPO sebagai Mandataris Kongres XXXII.
Kondisi diperparah dengan berbagai data yang diperoleh terkait sepak terjang Ketua Umum PB HMI MPO (selanjutnya akan disebut HMI saja) saat itu, HMI Cabang Makkassar menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara (skorsing) Affandi Ismail selama setahun menyusul tiadanya ‘official response’ yang bersangkutan terhadap surat-surat mosi tidak percaya yang dilayangkan sejumlah cabang. HMI Cabang Makassar adalah cabang asal sang ketua umum.
Demi menyelamatkan kongres, maka PB HMI MPO menggelar forum pengambilan kebijakan untuk mengangkat seorang Pejabat Ketua Umum PB. Meski di satu pihak Affandi Ismail yang baru saja kehilangan sementara status keanggotaannya juga tetap bersikeras menyelenggarakan kongres.
*Harga Mahal
Guna menyederhanakan uraian ini akan disebut Kongres Bidakara-Bekasi dan Kongres TMII.
Kongres pertama diselenggarakan oleh panitia dari HMI Cabang Jakarta Selatan. Kongres ini dibuka di Gedung Bidakara Jakarta Selatan namun sidang-sidangnya dilaksanakan di Islamic Centre Bekasi.
Sedangkan kongres yang kedua dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah, baik pembukaan maupun pelaksanaan sidang-sidangnya.
Dua Kongres dibuka dan dilangsungkan dengan sebuah beban berat: tiadanya dokumen pertanggungjawaban, yakni naskah Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang disiapkan oleh PB HMI.
Dapat dipastikan sesuai faktanya bahwa kedua Kongres Bidakara-Bekasi maupun TMII tak tersedia dokumen naskah LPJ PB HMI.
Dapat dipastikan pula, bahwa tatkala dicapai kesepakatan untuk menghelat kongres bersama kemudian di Asrama Haji Bekasi, tidak ada naskah LPJ PB HMI.
Presidium pun menerima usulan dan pendapat peserta kongres ada Sidang Pleno I yang mengagendakan Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum PB HMI. Usulan dan pendapat tersebut adalah menolak LPJ Ketua Umum PB HMI.
Sangat mahalnya harga yang harus dibayar. Ini karena adanya proses perkaderan yang tak tuntas, atau setidaknya memadai untuk keperluan memperjuangkan kalansungan cita lembaga ini.
Apa yang mahal itu? Lambat termanifestasinya daya kritis kader secara tegas tatkala menyaksikan gejala buruk jauh sebelum kongres seharusnya digelar.
Berlarut-larutnya dan tertundanya respon cabang-cabang ibarat tertimbun menjadi masalah yang rumit diurai di kemudian hari.
Ini juga diperparah oleh ketidaksiapan PB HMI menjalankan proses-proses keorganisasian secara konsekuen, misalnya; penatakelolaan administrasi dan keuangan.
Demikianlah, kontrol organisasi terhadap pemangku otoritas yang dimandatkan oleh kongres tak berlangsung secara sungguh-sungguh dan ketat.
Kelemahan kualitas perkaderan dapat dilihat sebagai salah satu kemungkinan penyebab bertumpuknya problem ini.
Beberapa diwujud wajah perkaderan yang lemah itu di antaranya;
Pertama, sejak beberapa periode lalu, proses ekspansi cabang-cabang ke berbagai daerah tidak diikuti perencanaan strategi secara matang.
Ekspansi berupa pembentukan cabang-cabang tak disertai dengan skema pembinaan kader secara baik. Akibatnya, cabang menjadi seperti menerabas sendiri orientasi lembaganya, atau boleh jadi justru kehilangan orientasi yang sesuai spirit organisasi.
Ekspansi tersebut juga tampaknya tak menggambarkan motif perkaderan yang jelas. Justru ada petunjuk-petunjuk bahwa cabang-cabang baru atau baru dibina kembali ternyata terkooptasi kepentingan elit tertentu di PB HMI yang ingin tampil menjadi ketua umum bahkan sekretaris jenderal pada periode berikutnya.
Kegiatan perkaderan, misalnya rekrutmen dan pembinaan kader berhenti. Sedihnya lagi, kejadian ini ternyata bukan hanya ada pada cabang-cabang baru yang tak memiliki lembaga kepengaderan. Sebagian cabang-cabang lama tak memiliki jumlah pengader aktif yang dapat diandalkan dalam pengelolaan latihan kader.
Efek jangka panjang yang wajar terjadi adalah rendahnya mutu pengurus, dan akhirnya cabangnya menjadi mati. Cabang yang mati itu di antaranya adalah Purwokerto, Semarang, Wonosobo, dan banyak cabang lainnya.
Banyak yang muncul stempel dan utusannya di kongres namun proses pembinaannya tak berlangsung usai kongres hingga kongres berikutnya. Ini dapat dipastikan berefek pada rendahnya pemahaman dan pendalaman anggota dan/atau kader terhadap konsep-konsep HMI terutama konstitusi dan pedoman-pedoman penjelas konstitusi yang ada.
Kedua, materi-materi Basic Training/Latihan Kader I (LK I) yang dipangkas atau tidak disajikan lagi menyusul pengurangan jumlah hari training juga turut menentukan.
Semenjak LK I diubah dari tujuh hari menjadi lima hari bahkan dalam sepuluh atau dua belas tahun terakhir sudah menjadi tiga hari di cabang-cabang tertentu telah berpengaruh pada miskinnya anggota dalam banyak wawasan pokok dan aspek keorganisasian lainnya.
Meski akhirnya HMI harus berdamai dengan tuntutan masa kuliah di perguruan tinggi namun para pengurus baik di tingkat komisariat maupun cabang, bil khushush Korps Pengader Cabang (KPC) luput menutupi atau menggenapinya dengan proses ‘follow up’ secara intensif.
Ketiga, tarikan politik praktis turut berpengaruh dalam suasana penyelenggaraan organisasi. Sedang pada sisi lain, banyak kader yang lebih ‘concern’ pada dimensi pemikiran daripada teknis-teknis keorganisasian.
Tampilnya para kader yang memahami mekanisme kerja dengan segenap kewajiban konstitusional dan kepatutan kultural HMI tak banyak lagi diproduksi oleh mesin perkaderan HMI, bahkan nyaris habis.
Tidak heranlah kemudian jika ada gejala tawar-menawar bernuansa money politic dalam perhelatan kongres. Mungkin ada yang vulgar maupun hanya tersamar.
Ambil contoh kecil, tawaran pihak tertentu untuk mengubah sikap dan keputusan yang telah diambil oleh pengurus dengan janji uang atau fasilitas, mulai biaya kuliah hingga tiket pulang pergi.
Terbiasanya kader yang lemah dalam wawasan mekanisme konstitusional dan kepatutan kultural itu sangat rawan mengalami pelemahan daya kritis.
Dalam banyak kasus sangat nyata tergambar betapa kader-kader yang sering mendapat ‘bantuan’, tidak lagi perlu kritis ketika saatnya harus kritis.
Itu adalah sebagian masalah yang bisa dijelaskan di sini. Semua ini berdampak pada lemahnya manajemen kelembagaan, wawasan kader, dan daya juangnya.
Namun, hilangnya atau lemahnya daya kritis adalah harga yang paling mahal di antara sekian risiko keadaan HMI ini.
Meluasnya sikap seperti ini akan menampilkan organisasi yang dapat dikendalikan oleh elit PB HMI secara mikro di kongres, dan oleh elit politik secara makro.
Fenomena Affandi Ismail adalah salah satu akibat dari deretan masalah di atas. Fenomena ini hanyalah satu di antara sekian banyak masalah mendasar yang sudah terjadi pada beberapa kongres sebelumnya.
Munculnya Affandi di jajaran PB HMI secara sekonyong-konyong pada Periode 2015-2017 tanpa peduli jejak kepengurusannya pada jenjang struktur pimpinan yang lebih rendah, hingga lolosnya menjadi Calon Ketum PB HMI di Kongres XXXI di Sorong adalah rangkaian yang turut menentukan kejadian pada kongres saat ini. Lonceng peringatan keras sekaligus duka pada HMI di Milad ke-76.
Wallahu a’lam.
Syafinuddin Al-Mandari, Ketua Umum Cabang Ujungpandang Periode 1998-1999
