Opini

Degradasi Intelektual Dosen

Dr. Rendra Anggoro/Penulis

*Oleh Dr. Rendra Anggoro 

OPINI, EDUNEWS.ID – Dewasa ini aktivitas dunia kampus di Indonesia sangat memprihatinkan, terutama aktivitas dosen sebagai ilmuwan yang memiliki tupoksi mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Tupoksi utama dosen yakni Tridharma (Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat), justru kini teralienasi dari karya ilmiahnya sendiri.

Hal itu dikarenakan hilangnya roh kebebasan akademik dalam menjalankan tugasnya. Alhasil aktivitas dosen hanya bersifat formalitas belaka dengan memprioritaskan pemenuhan kewajiban administratif bukan substantif. Dosen juga menjadi birokratis tak ubahnya budak kebijakan.

Sebetulnya, dosen sebagai profesi kependidikan hampir identik dengan profesi guru sebagai profesi di bidang pengajaran (teaching profession).

Di Amerika Serikat, sebagaimana dirilis National Education Association (NEA), dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi (1999), profesi pengajaran adalah suatu jabatan dengan sejumlah karakteristik. Namun perbedaan itu sangat nampak dari tupoksi utama profesi dosen yaitu Tridharma (Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat).

Namun fenomena belakangan ini sangat nampak degradasi intelektual pada diri dosen sebagai transfer of knowledge, di mana para dosen bekerja terus dan berpikir selama 24 jam tentang persiapan materi perkuliahan yang mengacu pada RPS, persiapan proposal penelitian, publikasi dan kegiatan-kegiatan sosial.

Dosen secara terus-menerus mengupgrade keilmuannya dengan beribu macam cara, baik dengan melanjutkan studi ke jenjang yang paling tinggi seperti studi doctoral, mengikuti pelatihan kepakaran, seminar, kuliah pakar dan lain sebagainya, kesemua itu dilakukan demi mewujudkan amanat UUD 1945 ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Profesi dosen bukan lagi menjadi profesi idaman kaum intelektual atau bagi orang-orang cerdas di bumi pertiwi ini. Fakta tersebut berpotensi besar menjadi malapetaka masa depan bangsa ini.

Dosen yang seharusnya sebagai ‘profesi merdeka’ tanpa tendensi dari pihak manapun, namun kenyataannya dosen hanya menjadi objek kebijakan pemerintah yang terus berganti dan merugikannya.

Padahal cita-cita pendiri bangsa seperti MR Soepomo, menginginkan kampus tidak tunduk kepada jawatan pemerintah, kini telah diingkari.

Tugas utama dosen hari ini adalah melakukan kegiatan administratif pemerintah, di mana dosen wajib melaporkan seluruh kegiatan Tridharma setiap semesternya bersama lampiran bukti-bukti dokumen.

Anehnya, dokumen tadi diminta diunggah ke dalam aplikasi yang disediakan pemerintah dan aplikasinya pun berganti-ganti layaknya transaksi bisnis yang justru membingungkan dan merepotkan para dosen. Sungguh pekerjaan yang berulang dan tidak substantif seperti perbudakan administratif sistemik.

Baru-baru ini Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang jabatan fungsional dan angka kredit, menambah beban kerja dosen supaya terintegrasi dengan organisasi.

Kebijakan ini memantik pertanyaan, apakah dosen selama ini tidak bekerja untuk organisasi. Jika tidak lalu untuk siapa dosen bekerja?

Tugas dosen yang birokratis tak ubahnya budak kebijakan pemerintah. Padahal, secara filosofi, universitas sebagai Lembaga khusus dikarenakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pabrik produksi ilmu pengetahuan, tidak bisa disamakan dengan Lembaga politik ataupun bisnis korporasi dan harus merdeka dari kepentingan penguasa dan uang.

Hal ini pula yang menyebabkan martabat profesi dosen semakin direndahkan. Begitu banyak kampus yang mewajibkan absen finger print bagi dosen selayaknya karyawan atau pegawai pemerintahan yang bekerja dengan waktu kerja yang telah ditetapkan dan beristirahat setelah balik ke rumah. Padahal dosen tugas utama bukan sebagai pekerja administratif melainkan konseptual.

Kampus adalah gerakan moral sekaligus wadah kaderisasi kepemimpinan masa depan bangsa ini. Dosen berkewajiban mengembangkan kebudayaan yang tak bisa dilepaskan dari ilmu dan pengetahuan karena kebudayaan bukan hanya berbicara tentang seni tetapi esensi dari seni juga adalah sistem berfikir dan berpengetahuan agar manusia bisa tetap bertahan.

Dosen juga berkewajiban memecahkan masalah masyarakat. Ketika seorang dosen bersuara mengkritik berbagai pihak yang diindikasikan merusak nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup maka sebenarnya dia tidak sedang berpolitik praktis melainkan melakukan kewajibannya.

Kebijakan pendidikan tinggi diperlakukan secara seragam di seluruh Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman secara geografis, ketimpangan sosial, dan ekonomi di setiap wilayah universitas berbeda-beda.

Seyogyanya setiap universitas lahir dan tumbuh dari sejarah, konteks geografis, serta struktur sosial budayanya masing-masing. Hematnya, demi penyeragaman dan memudahkan kontrol terhadap 4.500 universitas di seluruh wilayah nusantara maka diberlakukan kebijakan yang setara. Namun karena hal inilah mengakibatkan tidak lahirnya universitas sebagai centre of excellence pada bidang-bidang keilmuan yang khas dan kontekstual.

Kenapa tidak universitas di Indonesia timur seperti Papua dijadikan pusat pengembangan keilmuan bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan emas dan semacamnya, di Kalimantan menjadi pusat pengembangan keilmuan bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan migas, ataukah di Maluku sebagai pusat pengembangan keilmuan bidang kelautan dan perikanan.

Konsep inilah yang kemudian menjadi salah satu alternatif solusi bagi Pendidikan Berkarakter di Indonesia, dimana kurikulum pendidikan disesuaikan dengan letak geografisnya guna menciptakan para ilmuwan atau pakar.

Hal ini sekaligus sebagai upaya mempromosikan local knowledge masing-masing pulau di Indonesia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top