Suara Pembaca

Politik SARA dan Dampaknya pada Keharmonisan Sosial di Indonesia

Muh Abdilla Akbar Alauddin

*Oleh Muh Abdilla Akbar Alauddin

OPINI, EDUNEWS.ID – Heterogenitas Indonesia merupakan keunikan tersendiri dalam dinamika kebangsaan yang berkembang.

Keragaman yang sangat mencolok; Mulai dari Suku, Agama, Ras dan golongan kenyataan yang menginsipirasi dan menjembatani kelahiran gagasan politik yang pluralis, inklusif dan merangkum segala perbedaan dibawah kerangka kebangsaan yang satu.

Gagasan “Bhinneka Tunggal Ika“ merupakan cerminan dari ekspresi politik keberagaman tersebut, yang mendasarkan kesatuan dengan melampaui identitas sempit chauvinisme dibawah perjuangan menentang penindasan, penjajahan dan menjunjung kemanusiaan sebagai nilai universal.

Soekarno, sebagai founding father telah menyatakan bahwa konsepsi pendirian bangsa Indonesia di ilhami oleh keyakinan sosio-nasionalis yang bersendi pada nilai umum manusia.

Hal ini diterjemahkan pada spirit kebudayaan, sejarah dan lokalitas yang melandasi konsep kebangsaan yang secara gamblang dan filosofis dituangkan secara sistematis melalui ide Pancasila.

Ide Pancasila yang merupakan jati diri Indonesia, diakui telah menjadi warisan sistem pemikiran dan filsafat kebangsaan yang monumental dan progresif dalam mengkompromikan perbedaan dan mengkonsolidasikan persatuan. Menjadi pemandu dan “ruh“ dalam semangat dinamika kehidupan berbangsa, sekaligus nilai dalam cita – cita agung politik Indonesia. Nilai pancasila melibas primordialitas, batas – batas identitas, dan pertentangan yang dangkal hanya karena perbedaan latar belakang. Apa yang ditawarkan oleh Pancasila adalah gagasan pemersatu yang inklusif, menghargai nilai tertinggi kemanusiaan dan pergaulan bangsa negara yang majemuk.

Sejak berdiri sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah mengelola keberagaman ini dalam narasi – narasi persatuan yang hidup. Dengan latar belakang identitas yang berbeda, masyarakat indonesia bersatu pada rasa yang sama dan identitas kolektif kultural sehingga membentuk elemen masyarakat yang kokoh dan harmonis.

Tetapi, meskipun demikian pengalaman hidup dengan multikultural-identitas ini sering kali menghadapi jalan terjal dan tantangan tersendiri.

Beberapa peristiwa tragis yang mengiringi perkembangan Indonesia; ketegangan antar suku, ras, agama bahkan golongan masih kerap bergulir dan menjadi memori kolektif untuk mengingatkan kita agar terus sadar akan pengukuhan kesatuan.

Lebih dari itu, peristiwa – peristiwa yang ada bisa menjadi pembelajaran untuk menghargai perbedaan dan toleransi yang mengalihkan konsentrasi sosial pada narasi yang lebih substansial secara universal.

Setelah menghelat pilkada serentak semua elemen diharapkan dapat meningkatkan sensitifitas pada narasi – narasi yang berbau SARA ini agar tidak mengudara.

Momentum politik sebagaimana yang kita ketahui kerapkali menjadi pintu masuk perpecahan yang pada awalnya dimulai dengan polarisasi umum; beda pilihan.

Kendati demikian, tanpa perhatian serius hal ini dapat berkembang dan lebih meruncing menuju aspek SARA tatkala dibiarkan liar dan berjalan tanpa arah. Apalagi menilik karakter politik indonesia yang sangat rentan dalam dinamika upaya mobilisasi massa untuk mendulang suara sebanyak – banyaknya.

Budaya politik yang masih rentan merupakan celah untuk isu SARA selalu mencuat. Aktor politik terkadang menggunakan segala cara tanpa mempertimbangkan imbas nyata hanya untuk sekedar mendapat dukungan dan menunjukkan kedekatan dengan konstituen politik.

SARA dalam konteks politik indonesia dipahami sering kali menjadi bahan bakar poltik elektoral. Keragaman sosio-kultural ini menjadi sasaran untuk menjadi sumber utama “daya politik“ dalam memenangkan pertarungan yang memicu perpecahan dan keretakan struktur sosial yang sebelumnya berjalan harmonis.

Hal ini ditengarai dengan beberapa cara, seperti melalui narasi, propaganda media, bahasa kampanye hingga pada bagaimana politisi didaerah membangun citra dan identitas yang hanya merepresentasikan sebagian kelompok belaka.

Walaupun, secara politik hal tersebut konstitusional ataupun tidak menyalahi proses pemilu, akan tetapi mendayagunakan SARA dalam proses politik menunjukkan kenyataan politik yang tidak substansial bahkan lebih jauh justru akan memicu perpecahan dan menebalkan perbedaan, alih – alih memperkenalkan gagasan, Politisi kerap kali memanipulasi melalui narasi – narasi berbau ini bersamaan dengan skema money politik yang sama sekali tidak mencerdaskan rakyat.

SARA dan Politik Indonesia

Istilah SARA atau yang biasa disebut sebagai Akronim (Suku, Agama, Ras dan antar golongan) yang menunjukkan cara pandang seseorang atau kelompok dalam memandang dirinya sendiri.

Pengistilahan tentang rumpun identitas tersebut merupakan cerminan dari lata belakang sosial indonesia yang beragam itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan tersebut yang dipahami kerap menyulut ketegangan sosial bahkan konflik dalam dinamika kebangsaan yang tengah berjalan.

Kerap kali, unsur – unsur identitas diatas kontras setiap momentum politik selama ini, dan tidak jarang konflik yang menimbulkan kerugian disebabkan oleh konflik politik yang awalnya melebar menjadi konflik etnis, ras serta basis – basis identitas lainnya.

Kekerasan yang kerap terjadi pun sering kali dipicu oleh cara pandang dan sentimen terhadap orang yang berbeda identitas latar belakang lainnya.

Dalam konteks politik, kita mengingat kekerasan horizontal antar masyarakat yang menjadi memori buruk untuk kita semua, tragedi sampit, konflik agama di poso dan ambon serta trajektori konflik lainnya diberbagai tempat semuanya berhubungan dengan kepentingan politik itu sendiri.

Dari berbagai rentetan konflik yang terjadi, beberapa temuan mengarahkan kita untuk melihat bagaiamana politik lokal bekerja dalam setiap tragedi.

Menjelang dan Pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto, letupan konflik di indonesia serentak dalam rentan waktu yang hampir bersamaan. Transisi pemerintahan yang berlangsung dramatis membawa kemelut politik ditingkat lokal.

Semangat utama reformasi pada tuntutan demokratisasi diterjemahkan dalam gagasan desentralisasi memantik ketegangan sekaligus kelonggaran politik yang selama ini terpendam dibawah sentralisasi era pemerintahan Orde Baru.

Penyerahan sebagian kewenangan pada pemerintah daerah, mendorong konsolidasi dan mobilisasi politik daerah semakin kencang. Munculnya elit – elit lokal disetiap daerah yang hadir sebagai representasi kepentingan majemuk yang tersumbat selama era Orba menyebabkan iklim kompetisi semakin menegangkan.

Persaingan elit yang sangat kuat dengan latar belakangi identitas yang beragam cenderung rentan untuk politisasi SARA. Aktor yang berjuang dalam kompetisi politik selalu memiliki cara untuk mendapat dukungan.

Penegasan akan identitas yang salah satu dari berbagai ragam cara, merupakan praktek politik yang kerap digunakan. Dalam hal ini, manipulasi perbedaan dan mengarus utamakan kepentingan kelompok tertentu sebagai langkah politik adalah pemicu utama dari lahirnya konflik kepentingan yang menyebar hingga tingkatan akar rumput.

Kelompok pendukung militan masing – masing elit kerap kali bergesekan dan membangun kategorisasi untuk membentuk dirinya berbeda dengan kelompok lain.

Secara tidak sadar, hal ini yang dijelaskan secara teoritis oleh Henry Tajfel (1982) tentang proses pemebentukan identitas sosial. Yang menjelaskan bagaiamana individu atau kelompok sosial berproses membagi dunianya menjadi “Kami” (ingroup) dan “Mereka” (outgroup) yang merupakan upayanya menegaskan dan mengkategorisasi diri diantara keragaman yang dipengaruhi oleh sesuatu yang kompleks.

Salah satunya, Faktor yang memungkinkan juga ketika pola pemanfataan identitas sosial dari pihak luar seperti politisi untuk menciptakan loyalitas di kalangan pendukung mereka yang sekaligus memobilisasi dukungan dengan memicu rasa ancaman dan prasangka dari kelompok lain.

Fenomena politik identitas yang masih sangat mencolok di indonesia pada setiap momentum politik adalah cerminan perihal kuatnya unsur pembedaan identitas yang menjadi cara pandang dominan.

Praktek manipulasi dengan eksploitasi identitas sosial untuk meraih dukungan, misalnya dengan memainkan narasi “kami vs mereka” untuk menonjolkan perbedaan antar kelompok pada akhirnya memperkuat bias ingroup dan prasangka terhadap outgroup, yang sering digunakan sebagai alat untuk memecah belah atau menekan kelompok lain.

Kenyataan ini biasanya ditengarai oleh beberapa aspek tentunya, namun beberapa literatur memperlihatkan bagaimana ketimpangan sosial selalu menjadi basis yang menjembatani tuduhan atau pengkambing hitaman yang berdasarkan Suku, Agama, Ras atau Golongan lainnya.

Pengalaman yang tidak menguntungkan atau menjadi korban ketimpangan oleh masyarakat tertentu terkadang terkonsolidasi dan menghimpun aspirasi ini melalui kesadaran identitas pada jenis kategorisasi menyangkut SARA. Seperti yang dikemukakan misalnya Van Klinken tentang konflik poso dalam “Politik lokal di indonesia“ (2007) bagaimana persaingan elit yang berimbas ke akar rumput, kemudian konflik dayak vs madura yang dijelaskan Pujo Semedi dalam “Hidup bersama raksasa“ (2022) dalam konteks ketimpangan aksesibilatas dan kesejahteran, memperlihatkan bahwa, pertentangan identitas atau proses pembedaan “kami vs mereka” kerapkali berangkat dari ketimpangan dan penderitaan yang diakibatkan oleh pengalaman krisis yang tidak menguntungkan atau dirugikan secara politik oleh bagian yang bukan dirinya serta eksploitasi yang dilakukan oleh mesin – mesin politik di tingkatan lokal untuk kepentingan tertentu.

Apa yang ingin disampaikan disini adalah, bahwa konflik identitas yang berbau SARA yang telah terjadi di Indonesia selama ini tidak sesederhana argumen salah kaprah — kebencian yang dibangun atas doktrin nilai kebudayaan lokal– tetapi berangkat dari basis material atau kenyataan yang tidak menguntungkan dan merugikan secara politik sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa, ketegangan ini akan potensial dan sensitif tatkala tindak – tanduk politik tidak dijalankan secara adil dan sebagaimana mestinya.

Aspirasi yang terhimpun dan alasan kelompok masyarakat tertentu untuk membenci satu – sama lain diproses oleh ketidakadilan yang subur dan diskriminasi mayoritas terhadap hal – hal yang harus dijalankan secara universal.

Namun, Jauh api dari panggang, naasnya, kerap kali situasi seperti ini dijadikan batu loncatan bagi para politisi untuk semakin mengorganisir konflik dan kebencian untuk mendapatkan dukungan dan basis suara sebagai skema untuk meningkatkan elektabilitas.

Komodifikasi konflik dan kebencian antar Suku, Agama, Ras dan golongan kerap di daya-gunakan dalam politik yang minim gagasan dan populis sembrono yang hanya berkepentingan ambisi semata. Sehingga situasi sosial-kultural setelah pemilu kerap kali mewariskan kondisi retak, tegang dan berderai yang berdampak buruk pada persatuan dan harmonitas di tengah masyarakat.

Menghadapi Politik SARA

Kuatnya unsur SARA dalam agenda politik adalah alarm yang memperingatkan tentang bahaya dan dampak – dampak yang akan terjadi. Kewaspadaan kita terhadap politisasi SARA dalam aspek politik tentunya di dasari oleh imbas yang akan diakibatkan yang merugikan satu sama lain.

Dalam hal ini, konflik yang terjadi secara horizontal selalu menjadi peristiwa atau tragedi yang lebih tragis dan menyisakan keretakan yang signifikan dalam upaya persatuan.

Dunia telah memperlihatkan bagaimana konflik yang didasari oleh perbedaan yang menyangkut SARA memiliki dampak besar bahkan radikal.

Sejarah peristiwa Balkanisasi yang berlangsung di Eropa Barat merupakan contoh dari kejamnya konflik politik-perbedaan yang menyisakan puing – puing reruntuhan benteng persatuan kebangsaan yang hancur dan bercerai.

Hal ini bisa menjadi pembelajaran untuk politik di indonesia agar bagaimana selalu berusaha menjunjung kesatuan sebagai payung kolektif dalam proses pengukuhan utuh kita sebagai bangsa yang berlatar belakang majemuk.

Keberagamaan yang telah menjadi jati diri Indonesia semenjak berdiri menjadi sebuah bangsa adalah cerminan tentang bagaiamana kita menjadi bangsa yang besar, bangsa menjunjung pluralitas dan toleransi yang tinggi.

Berbagai perbedaan yang telah disatukan merupakan modal untuk politik di indonesia untuk berbicara tentang nilai universalitas tentang kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan yang justru dapat menjauhkan kita dari perpecahan yang berdasarkan perbedaan tertentu.

Dalam politik, penggunanaan unsur – unsur yang mengedepankan perbedadaan identitas akan menghantarkan pada situasi polarisasi, ketegangan antar etnis, dan segregasi yang tajam yang kemudian melahirkan konflik – konflik fisik yang akan meruntuhkan kohesi sosial. Sangat tidak bisa dibayangkan seketika politik di yang tengah dijalani hari ini berjalan dengan nilai – nilai kebencian, diskriminasi, sentimen rasial yang hanya akan meruntuhkan komitmen kebhinekaan dan persatuan sosial indonesia.

Disisi lain juga, dampak negatif yang akan menjadi imbas nyata adalah kemunduran atau erosi demokrasi politik yang selama ini telah diperjuangkan. Artinya, gerakan populis yang menggunakan narasi – narasi dangkal seperti itu mencerminkan kapasitas politik yang tidak kredibel dan pengelolaan kelembagaan politik tanpa kompetensi yang kemudian berpengaruh terhadap produk – produk politik nantinya.

Hal ini dapat terjadi ketika euforia politik dibangun atas narasi – narasi dangkal akan melahirkan sosok pemimpin dangkal juga, Pemimpin yang tidak selayaknya menjadi seorang pemimpin sebagaimana kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa. Ini merupakan harga yang mesti dibayar mahal dalam proses politik dan pergaulan sosial yang akhirnya ternodai oleh sentimen berbau SARA sebagai wacana arus-utama.

Tentunya, gambaran atau situasi tersebut akan mencederai nilai – nilai luhur kebangsaan seperti toleransi, gotong – royong, dan dan keadilan sosial yang seharusnya menjiwai spirit kemerdekaan kita.

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah yang mengintai terbebut diperlukan langkah – langkah penting untuk memperhatikan situasi politik.

Langkah nyata yang ditempuh pertama kali dapat dimulai dari kesadaran tentang bahaya lingkaran setan SARA yang mengancam masa depan bangsa.

Perlu sekiranya untuk setiap elemen agar menumbuhkan kesadara kritis untuk menjadi pengawas dalam dinamika politik yang dangkal tersebut.

Disisi lain, peran – peran kelembagaan atau suprastruktur Politik seperti partai politik, penyelenggara pilkada serta stakeholders terkait untuk mengambil posisi tegas dalam menindak dan mengarahkan poltik lokal untuk terhindar oleh narasi – narasi yang tidak substansial khususnya yang berbau SARA.

Lebih jauh, fungsi pendidikan politik yang lebih substansial dan memberikan kesadaran politik yang rasional, konstitusional dan kritis terhadap praktek politik yang tidak diindahkan.

Dengan semangat kebangsaan merupakan agenda yang seharusnya dijalankan sebagai tanggung jawab politik lembaga seperti partai.

Disisi lain peran – peran media dan agen negarawan seperti tokoh agama dan budayawan untuk menyebarkan nilai – nilai fundamental politik kebangsaan sangat diperlukan untuk mempertaruhkan masa depan bangsa yang lebih maju secara politik dan dewasa secara sosial-kultural sebagai modal untuk menjadi bangsa yang maju, adil, inklusif dan menghargai perbedaan yang merupakan keniscayaan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top