Literasi

Makassar Tanpa Rem: Jalan Buntu Mobilitas Urban

*Oleh: Mortaza A. Syafinuddin Hammada (Dosen Universitas Nasinal dan Anggota Indoneisan Environmental Scientists Asssociation (IESA)

EDUNEWS.ID – Ketika matahari menyentuh atap-atap rumah di Makassar, jalan-jalan kota sudah sesak oleh kendaraan yang saling berebut ruang. Mobil pribadi, sepeda motor, dan angkot bergerak pelan dalam kebisuan polusi. Di titik inilah, Makassar seolah menjadi kota tanpa napas—tenggelam dalam irama kemacetan yang semakin mencekik. Masalah ini bukan sekadar tentang waktu yang terbuang di jalan, tetapi tentang kota yang kehilangan efisiensinya sebagai ruang hidup.

Masalah kemacetan adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: tata kota yang tidak terintegrasi, kebijakan transportasi yang terfragmentasi, dan budaya mobilitas yang terjebak pada kendaraan pribadi. Seiring pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang pesat, kota ini seperti berlari tanpa rencana, dan kita semua tertinggal dalam asap knalpotnya.

Menggali Akar

Masalahnya tidak tunggal. Sejak dua dekade terakhir, pertumbuhan jumlah kendaraan di Makassar nyaris tidak terkejar oleh kapasitas jalan. Menurut Newman dan Kenworthy (1999), ketergantungan pada kendaraan pribadi adalah akar dari kemacetan di banyak kota besar dunia. Mereka menambahkan bahwa kota dengan tata guna lahan padat, terintegrasi dengan sistem transportasi publik, justru mampu mengurangi tekanan lalu lintas.

Sayangnya, Makassar seperti belum selesai memilih arahnya. Di satu sisi, ia ingin menjadi kota modern dengan wajah metropolitan; di sisi lain, masih terjebak dalam logika pembangunan yang mengutamakan infrastruktur keras tanpa memperhatikan perilaku dan pola ruang warganya.

Ilmu yang Merangkul

Ilmu lingkungan menawarkan sesuatu yang berbeda. Sebagai ilmu yang memadukan ekologi, sosiologi, teknologi, dan perencanaan, pendekatan ini tidak hanya melihat jalan sebagai jalur aspal, tetapi sebagai bagian dari ekosistem sosial dan ekologis kota (Glasson, Therivel, & Chadwick, 2013). Pendekatan interdisipliner ini penting, karena kemacetan bukan sekadar soal teknik, tetapi soal cara kita hidup, berpindah, dan bermimpi di dalam kota.

Banister (2008) menyebutnya sebagai paradigma mobilitas berkelanjutan. Ia mengajak kita berpikir ulang tentang kebutuhan perjalanan, aksesibilitas, dan pilihan moda transportasi yang lebih ramah lingkungan. Dalam pandangan ini, solusi tidak datang dari pelebaran jalan semata, tetapi dari perubahan pola pikir: dari pemilik mobil menjadi warga kota yang setara.

Solusi yang Menyentuh Tanah

Transit-Oriented Development (TOD) adalah salah satu pendekatan yang banyak diadopsi kota-kota dunia untuk merestorasi mobilitas urban. Konsep ini mengintegrasikan transportasi publik dengan perumahan, tempat kerja, dan ruang publik. Cervero dkk. (2002) menyebut TOD sebagai titik temu antara efisiensi dan keberlanjutan. Di kota seperti Makassar, pendekatan ini sangat mungkin dikembangkan pada koridor-koridor potensial seperti jalur BRT atau kawasan perdagangan utama.

Tak kalah penting adalah menghidupkan kembali moda transportasi non-motorized: berjalan kaki dan bersepeda. Pucher dan Buehler (2010) membuktikan bahwa kota yang ramah bagi pejalan kaki dan pesepeda bukan hanya lebih sehat, tetapi juga lebih efisien secara ekonomi dan lingkungan.

Namun semua ini membutuhkan syarat: ruang kota yang mendukung, kebijakan yang menyatu, dan warga yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya sebagai pengguna kota. Sebab tanpa itu, TOD akan sekadar jargon, dan jalur sepeda akan menjadi lukisan di atas aspal yang dilupakan.

Tantangan yang Nyata

Memang tidak mudah. Tantangannya begitu nyata. Pertama, fragmentasi kebijakan antara sektor perhubungan, pekerjaan umum, dan perumahan membuat perencanaan menjadi tidak utuh. Kedua, ada dominasi kepentingan jangka pendek yang sering kali mengorbankan visi jangka panjang kota.

Ketiga, anggaran publik masih lebih banyak diarahkan untuk pembangunan jalan baru ketimbang revitalisasi transportasi publik. Keempat, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mobilitas berkelanjutan memperburuk situasi. Seperti kata Litman (2021), keberhasilan transformasi mobilitas urban tergantung pada keadilan distribusi akses dan partisipasi publik yang bermakna.

Makassar yang Kita Inginkan

Kita perlu membayangkan ulang Makassar. Kota yang jalannya tidak didesain untuk kendaraan, tetapi untuk manusia. Kota yang memungkinkan orang berjalan tanpa takut, bersepeda tanpa polusi, dan berpindah dengan transportasi umum yang nyaman. Sebab kota yang sehat adalah kota yang memberi ruang bagi semua warganya, bukan hanya mereka yang memiliki mesin bermotor.

Kemacetan Makassar adalah panggilan untuk berpikir ulang. Apakah kita ingin kota ini menjadi ladang aspal dan beton, atau ruang hidup yang berdenyut dan bernapas?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top