MAROS, EDUNEWS.ID – Sebagai bagian dari komitmen mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk mengabdi pada masyarakat, Almutmainna mahasiswi jurusan Sastra Arab, menghadirkan sebuah program kerja mandiri bertajuk Ngaji Budaya menyajikan Kajian Integritas Lokal bersama Majelis Taklim.
Kegiatan ini dilaksanakan di Dusun Ujung Bulu, Desa Botolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.
Program ini lahir dari kepekaan Almutmainna terhadap potensi budaya Desa Botolempangan. Desa ini dikenal memiliki Istana Karst Bontolempangan, situs yang menyimpan sejarah, legenda, dan nilai-nilai kearifan lokal yang jarang diangkat secara serius dalam ruang kajian keagamaan.
“Sebagai mahasiswa Sastra Arab, saya belajar bahwa budaya dan agama memiliki hubungan erat dalam membentuk peradaban. Dari sinilah ide Ngaji Budaya lahir—untuk memperkenalkan sejarah dan budaya lokal melalui kacamata Islam, agar masyarakat lebih mencintai identitasnya sendiri,” jelas Almutmainna.
Selama survei awal KKN Kebangsaan, Almutmainna melihat bahwa sebagian masyarakat, khususnya generasi muda, belum banyak mengetahui kisah-kisah lokal yang menyimpan pesan moral. Ia juga mengamati bahwa kegiatan Majelis Taklim di desa ini masih berfokus pada kajian rutin keagamaan tanpa banyak mengaitkannya dengan nilai-nilai budaya.
“Padahal, kearifan lokal bisa menjadi sarana dakwah yang indah jika dikemas dengan baik. Budaya itu bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga media untuk mengajarkan nilai etika, kejujuran, dan kepedulian lingkungan. Dari pemikiran itu, saya merancang ‘Ngaji Budaya’ sebagai program kerja mandiri,” tuturnya.
Acara Ngaji Budayaberlangsung di salah satu masjid di Dusun Ujung Bulu pada Ahad (20/07). Sejak pukul 14.00 WITA, ibu-ibu Majelis Taklim sudah memenuhi area masjid dengan penuh antusias. Suasana kekeluargaan terasa hangat, ditandai dengan senyum dan sapaan ramah warga kepada mahasiswa.
Kegiatan dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pengantar oleh Almutmainna yang memperkenalkan tujuan program ini. Dalam sesi materi, ia memaparkan keterkaitan antara nilai-nilai keislaman dengan pelestarian budaya. Ia mengaitkan kisah Istana Karst Bontolempangan dengan pesan moral tentang amanah menjaga alam, persatuan, dan keteguhan iman.
Interaksi antara mahasiswa dan warga terlihat akrab. Beberapa ibu Majelis Taklim bahkan menyampaikan kisah legenda lokal yang diwariskan dari generasi sebelumnya.
Hj.Pa’ja salah satu peserta, mengatakan, “Saya senang sekali dengan program ini. Kita jadi tahu bahwa sejarah dan budaya di desa ini punya nilai dakwah. Kegiatan ini membuka mata kami bahwa menjaga budaya adalah bagian dari menjaga amanah Allah.”
Tidak hanya diskusi, kegiatan ini juga diisi dengan tanya jawab yang menggali pengetahuan warga tentang adat istiadat setempat. Setiap cerita yang muncul dicatat oleh Almutmainna sebagai bahan dokumentasi untuk mendukung potensi pengembangan wisata budaya di desa.
Adapun program mandiri ini mendapat sambutan positif dari aparat Desa Botolempangan.
Bapak Muhammad Warif, perwakilan pemerintah desa, mengapresiasi inisiatif Almutmainna.
“Mahasiswa KKN seperti ini membawa angin segar. ‘Ngaji Budaya’ adalah program yang unik karena mengangkat sejarah lokal dengan pendekatan agama. Ini bisa jadi cikal bakal untuk mempromosikan wisata budaya Botolempangan, terutama dengan adanya situs Istana Karst yang luar biasa,” ujarnya.
Tokoh agama setempat juga mendukung penuh program ini. Menurut mereka, pendekatan yang menghubungkan budaya dan agama adalah cara efektif untuk memperkuat identitas masyarakat sekaligus menjaga nilai-nilai keislaman di era modern.
Bagi Almutmainna, Ngaji Budaya tidak hanya dirancang untuk masa KKN, tetapi juga sebagai upaya jangka panjang membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pelestarian budaya. Ia berharap hasil dokumentasi dari kegiatan ini dapat menjadi “arsip budaya” yang bermanfaat bagi warga maupun pihak desa.
“Ke depan, saya berharap ‘Ngaji Budaya’ bisa dikembangkan menjadi kegiatan rutin Majelis Taklim. Dengan begitu, masyarakat akan terus belajar tentang sejarah desa mereka sendiri, sekaligus menjadikan budaya lokal sebagai daya tarik wisata yang bernilai edukatif dan religius,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa Desa Botolempangan memiliki potensi untuk menjadi destinasi wisata berbasis budaya dan religi. Dengan pengelolaan yang tepat, situs Istana Karst Bontolempangan dapat dipadukan dengan kegiatan kajian budaya seperti ini, sehingga pengunjung tidak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga mendapatkan wawasan sejarah dan spiritualitas.
“Botolempangan punya semua yang dibutuhkan: alam yang indah, sejarah yang kaya, dan masyarakat yang ramah. Tinggal bagaimana kita bersama-sama merawat dan mempromosikannya. Saya berharap program ini bisa menjadi inspirasi,” tutup Almutmainna dengan penuh semangat.
