MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Kepergian ekonom dan negarawan Kwik Kian Gie pada 28 Juli 2025 lalu menyisakan ruang refleksi mendalam tentang arah pembangunan ekonomi Indonesia.
Sosok vokal yang tak pernah lelah menyuarakan prinsip-prinsipnya ini meninggalkan warisan pemikiran yang sangat relevan, terutama terkait ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial. Baginya, pertumbuhan ekonomi haruslah bermuara pada pemerataan kesejahteraan, sebuah gagasan yang kini kembali menjadi sorotan di tengah bayang-bayang ketimpangan.
Fokus Ekonomi Kerakyatan
Bagi Kwik Kian Gie, ekonomi kerakyatan bukanlah sekadar terminologi, melainkan fondasi filosofis dan kerangka kerja praktis untuk pembangunan. Ia kerap mengingatkan bahwa ekonomi tidak boleh hanya berorientasi pada angka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengkilap, melainkan harus diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang nyata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Ekonomi bukan sekadar angka,” tegasnya dalam berbagai kesempatan, “tapi tentang bagaimana kita menjaga martabat rakyat.”
Kesenjangan sosial dan ekonomi yang terus melebar di Indonesia menjadi keprihatinan utamanya. Kwik Kian Gie berargumen bahwa kekayaan negara, termasuk sumber daya alamnya, wajib dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama, bukan hanya untuk segelintir elite. Ia adalah pembela gigih Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), meyakini bahwa sektor ini adalah tulang punggung perekonomian yang sesungguhnya dan layak mendapat dukungan penuh dari pemerintah, baik melalui kebijakan berpihak, akses permodalan, maupun peningkatan kapasitas.
Keadilan Sosial
Konsep keadilan sosial menurut Kwik Kian Gie tak bisa dilepaskan dari peran sentral negara. Ia merupakan kritikus tajam terhadap liberalisme ekonomi dan neoliberalisme yang mendorong deregulasi dan privatisasi tanpa batas. Baginya, liberalisasi yang kebablasan justru dapat menjadi alat bagi “penghisapan bangsa lemah” dan melanggengkan ketidakadilan struktural.
Kritik pedasnya seringkali ditujukan pada ketergantungan pada utang luar negeri dari lembaga-lembaga internasional yang kerap datang dengan syarat-syarat merugikan kedaulatan ekonomi. Kwik tak segan menyebut utang besar sebagai “penipuan yang luar biasa” jika tidak dikelola secara produktif dan hanya berfungsi menutupi defisit anggaran.
Kewajiban negara, menurutnya, mencakup:
- Melindungi aset-aset strategis bangsa, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dari penjualan sembrono atau dominasi asing. Ia memandang BUMN sebagai “separuh ekonomi bangsa” yang vital.
- Mencegah oligarki ekonomi-politik, yaitu konsentrasi kekuasaan ekonomi di tangan segelintir pihak melalui lisensi atau fasilitas negara.
- Melakukan intervensi pasar yang tepat untuk mengoreksi kegagalan pasar, melindungi konsumen, dan menjamin akses publik terhadap kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.
Kwik Kian Gie selalu menegaskan bahwa keadilan tidak boleh dikorbankan demi efisiensi semata. Ia meyakini bahwa setiap keputusan fiskal memiliki dampak sosial, dan pertumbuhan yang “adil” adalah pertumbuhan yang secara sadar mengangkat mereka yang selama ini terpinggirkan.
Integritas dan Transparansi
Meskipun bukan ranah ekonomi murni, Kwik Kian Gie sangat meyakini bahwa integritas dan pemberantasan korupsi adalah prasyarat mutlak bagi terwujudnya ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial. Ia memahami bahwa kebocoran anggaran dan praktik koruptif akan menggerogoti setiap upaya pembangunan, menghambat pertumbuhan, dan memperparah ketimpangan.
Kwik Kian Gie adalah sosok yang menunjukkan prinsip ini secara langsung, salah satunya dengan keberaniannya menolak menandatangani Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) karena dianggap tidak adil dan merugikan negara. “Tidak ikut berdiri” saat melihat ketidakbenaran menjadi ciri khasnya, mencerminkan komitmennya pada kejujuran dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Pemikiran Kwik Kian Gie adalah sebuah pengingat abadi akan pentingnya kemandirian ekonomi nasionalyang berlandaskan pada keadilan sosial dan ekonomi kerakyatan. Di tengah kompleksitas tantangan ekonomi global saat ini, gagasan-gagasannya tetap relevan, menantang kita untuk bertanya: apakah pembangunan yang kita kejar sudah benar-benar berpihak pada rakyat? (**)
