*Oleh Akbar
OPINI, EDUNEWS.ID – Sebenarnya saya mau rehat sejenak menulis. Namun kondisi memaksa saya untuk menyampaikan hal yang tak kalah gentingnya. Setelah demonstrasi menyebar ke berbagai daerah, kabar tak sedap dan merugikan perjuangan kita mulai berhembus kencang. Kabar itu menyudutkan pergerakan rakyat. Bahwa rakyat yang berdemonstrasi selama ini tak kurang hanyalah perusuh negara.
Mendengar kabar ini, saya tak terima. Bagaimana mungkin, warga yang telah menderita ditengah kemewahan kehidupan pejabat, saat rakyat marah, turun ke jalan, mengekpresikan diri, merusak fasilitas umum, membakar dan menjarah rumah pejabat, dilebeli sebagai perusuh. Perusuh sama dengan musuh negara.
Oleh sebab kita, rakyat yang tertindas disebut sebagai perusuh, maka kini pemerintah menganggap kita sebagai lawan.
Baru-baru ini, Presiden yang kita pilih, yang dulunya datang mengemis suara rakyat, memanggil Kapolri dan Panglima TNI. Hasilnya, mereka akan menindak tegas kita, yang notabeneny membayar segala kebutuhan mereka melalui pajak. Kabar baiknya, kalau negara sudah mulai represif, maka perjuangan kita sudah mendekati titik revolusi yang didambagakan. Namun kita juga segera melihat wujud asli tangan besi pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Jika memang kondisi negara makin genting ke depan, maka peperangan antara rakyat dengan negara tak terhindarkan. Tetapi peperangan ini kenyataannya tak adil. Peperangan yang tak seimbang. Pemerintah melalui kaki tangannya menenteng senjata, sementara rakyat menenteng seadanya, bahkan kita tak layak disebut memakai senjata. Saya membayangkan, bagaimana jika situasi ini terjadi dengan keadaan yang berimbang. Polisi TNI pakai senjata, rakyat juga dipersenjatai. Ini baru pertarungan yang menyenangkan. Namun tak apalah, toh sejarah telah membuktikan, bahwa meskipun negara mempunyai senjata, tetapi suara dan gerakan rakyat lebih mematikan. Dan situasi ini memang mirip saat kita dijajah negara asing. Penjajah pakai senjata, kita pakai bambu runcing. Atau apakah memang kita sedang dijajah saat ini, oleh pemerintahan sendiri. Sepertinya iya.
Yang menyedihkan adalah, label perusuh tidak hanya datang dari kalangan pemerintah. Label perusuh turut diciptakan dan disebarkan oleh kalangan rakyat sendiri. Anggapannya adalah, bahwa kita yang berdemonstrasi, membakar gedung, merusak fasilitas, menjarah rumah anggota dewan, merupakan tindakan yang berlebihan. Lama kelamaan, rakyat yang sudah frustasi dengan kondisi negara ini disebut sebagai penjahat yang harus dilibas.
Saya mau bilang begini. Bung, bapak, mama, adik, kakek, dan seterusnya, bahwa kita yang turun ke jalan, sebenarnya memperjuangkan nasib kita semua. Kalau kalian mau turun bersama kami, kami bersyukur. Kekuatan melawan negara korup semakin besar dan kuat. Kalau kalian yang menilai kami sebagai perusuh enggan turun ke jalan membawa nyawa kalian, maka pastikan nyawa kalian mendukung gerakan kami, bukan membantu negara yang jahat ini, menilai kita negatif.
Jadi intinya, pembakaran dan penjarahan yang dilakukan rakyat yang marah adalah hal yang wajar saja. Kondisi negara kita yang mewajarkan hal itu. Apa yang rakyat lakukan sekarang ini wujud ketidakpuasan dan kemuakan atas perilaku negara dan pejabat kita. Salah kaprah soal perusuh ini kemudian melahirkan pertanyaan, apakah dengan cara damai, sistem yang kotor ini akan berubah. Mari berkaca pada peristiwa demo sebelumnya, yang juga menelan banyak korban tetapi rezim ini tetap sama dan keras kepala.
Bung, bapak, ibu, adik, kakek, dan semua yang membaca tulisan ini. Kita harus sadar pemerintah tidak hadir sepenuhnya untuk kepentingan kita semua. Lihatlah kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan lingkaran mereka saja. Lihatlah DPR yang hidup mewah ditengah kemiskinan merajalela. Apakah kebijakan pemerintah merubah nasib kita yang telah melarat. Apa yang telah diberikan anggota dewan terhadap perubahan kehidupan kita. Semua pertanyaan diatas jawabannya tetap NOL. Yang selama ini rakyat rasakan hanya dua, mendengarkan janji dan angin surga negara. Ringkasnya, kita yang dianggap perusuh hari ini adalah wujud nyata ketidakbecusan negara menjamin kehidupan kita semua.
Setelah mendengar anggapan rakyat sebagai perusuh, mari coba kita balik, bahwa perusuh sebenarnya adalah pejabat negara, mereka yang kita pilih bukan karena rekam jejak, tapi karena amplop dan serangan fajar 200 ribu. Kenapa pejabat negara layak disebut perusuh, sebab kerusakan yang dia timbulkan memang tidak terlihat langsung, tetapi dampaknya sungguh luar biasa dan membinasakan. Lihatlah negara memberikan izin orang orang kaya merusak hutan, menghancurkan laut dan menjual kebijakan negara.
Satu fakta yang harus kita pahami, sudah pasti kerusakan yang dilakukan pejabat jauh lebih berbahaya dibanding rakyat. Ketika rakyat dikatakan merusak fasilitas umum, pejabat lebih mengerikan, selain mengkorupsi fasilitas, juga merusak fasilitas tuhan (sumber daya alam).
Jika anda membaca tulisan ini menilai saya melegalkalkan pengrusakan dari rakyat tertindas, maka itu anggapan sangat tepat. Mari jaga gejolak penumpasan ketidakadilan ini. Jaga ritme perjuangan dan momentum krusial demi kemakmuran kita semua.
LAWAN!!
