JAKARTA, EDUNEWS.ID – Kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terkait program pelatihan deep learning dan akal imitasi (AI) menuai kritik tajam.
Pengamat pendidikan, Ina Liem, menyoroti beberapa kejanggalan, terutama terkait sumber dana dan transparansi program.
Dalam video yang diunggah di akun Instagram pribadinya pada Senin, 25 Agustus 2025, Ina Liem mengungkapkan bahwa program ini mewajibkan sekolah membayar biaya pelatihan dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kinerja. Padahal, seharusnya dana tersebut menjadi insentif atau “bonus” bagi sekolah-sekolah yang berprestasi.
“Jadi sekolah sudah kerja bagus, dapat bonus, eh bonusnya lari ke vendor,” kata Ina.
Ia menyebut, biaya yang dikenakan cukup tinggi, yakni Rp 2 juta untuk guru dan Rp 3 juta untuk kepala sekolah.
Ina juga membandingkan sistem pelatihan kali ini dengan program sebelumnya. Jika dulu sekolah dapat memilih materi dan narasumber sesuai kebutuhan, kini Kemendikdasmen telah menunjuk penyelenggara tertentu. Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai adanya potensi konflik kepentingan.
Kritik lain yang dilontarkan Ina adalah adanya aturan yang melarang peserta untuk menyebarluaskan materi pelatihan. Menurutnya, kebijakan ini justru kontraproduktif dengan semangat pemerataan kualitas guru.
“Bukannya makin cepat tersebar, makin cepat pula guru se-Indonesia bisa mengajar sesuai program yang dicanangkan? Kok saya jadi ingat launching smartphone baru ya, eksklusif,” ujarnya.
Ina menegaskan bahwa program yang dibiayai oleh negara harusnya bersifat transparan. Ia mempertanyakan mengapa materi pelatihan yang dibiayai publik harus diperlakukan seperti produk komersial.
“Konten yang dibiayai publik, pelatihan yang dibiayai publik, tapi hanya bisa diakses kalau sekolah bayar lagi. Ini pendidikan nasional atau bisnis pelatihan terselubung?” tegasnya.
Menurutnya, publik berhak menuntut transparansi dari para pejabat negara yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut. “Bukannya kita masyarakat bayar gaji pejabat dan wakil rakyat? Jadi kita yang bosnya. Harusnya kita berhak menuntut kinerja,” pungkas Ina Liem. (**)
