JAKARTA, EDUNEWS.ID – Isu liar mengenai pemberian ‘kewenangan super’ kepada Polri melalui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru dibantah tegas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Salah satu isu paling kontroversial adalah kewenangan polisi untuk menyadap, memblokir tabungan, hingga menyita perangkat elektronik tanpa izin pengadilan.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dengan lantang menyatakan bahwa semua informasi tersebut adalah “hoaks alias tidak benar sama sekali.” Menurutnya, KUHAP yang baru justru memperkuat kontrol yudisial, bukan melemahkan.
Bukan Kewenangan Polri
Menanggapi isu penyadapan, Habiburokhman menjelaskan bahwa Pasal 136 ayat 2 KUHAP baru mengatur bahwa penyadapan akan diatur secara terpisah dalam Undang-Undang Penyadapan yang baru.
“Pendapat sebagian besar fraksi di DPR adalah penyadapan harus dilakukan sangat hati-hati dan dengan izin pengadilan. Ketentuan tersebut justru yang akan menjadi fondasi pengaturan penyadapan di UU Penyadapan nantinya,” bebernya.
Wajib Izin Hakim
DPR merilis klarifikasi detail mengenai kewenangan Polri yang dituding berlebihan. Faktanya, segala tindakan yang menyentuh hak privasi warga negara wajib mendapat izin dari otoritas pengadilan.
-
Pemblokiran Tabungan & Jejak Online : Menurut Pasal 140 ayat 2, semua bentuk pemblokiran, termasuk tabungan dan jejak online, harus mendapatkan izin hakim.
-
Penyitaan Perangkat : Semua bentuk penyitaan (telepon genggam, laptop, dll.) diatur dalam Pasal 44 dan harus dilakukan dengan izin ketua pengadilan negeri.
-
Penangkapan dan Penahanan : Tindakan penangkapan (Pasal 94) harus dilakukan setelah ada penetapan tersangka yang dibuktikan dengan setidaknya dua alat bukti. Sementara penahanan (Pasal 99) memiliki syarat yang jauh lebih ketat dan lebih objektif dibanding KUHAP lama, seperti upaya melarikan diri atau menghambat proses pemeriksaan.
Kesimpulannya, DPR menegaskan bahwa KUHAP baru sengaja dibuat untuk menempatkan kontrol yudisial yang lebih kuat terhadap proses penegakan hukum, memastikan akuntabilitas dan perlindungan hak-hak masyarakat. (*)


