Oleh : Ahmad Sahide, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi salah satu figur yang banyak disorot media beberapa bulan terakhir terkait dengan dakwaan korupsi ketika menjadi Menteri Perdagangan 2015-2016 di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Jaksa menilai Tom Lembong bersalah atas kebijakan impor gula yang diambilnya saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Kompas.id., 4/07/2025). Walakin, Hakim mengakui bahwa Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi yang didakwakan padanya. Hal ini diakui oleh anggota Majelis Hakim. Alfis Setyawan, “Karena faktanya, terdakwa tidak memperoleh harta benda dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa” (Tempo.co., 18/07/2025).
Salah satu alasan dari hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada Tom Lembong adalah karena kebijakannya dinilai lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi Pancasila berdasarkan UUD 1945 yang mengedepankan kesejahteraan umum dan keadilan sosial (Tempo.co., 18/07/2025). Padahal Tom Lembong sudah menyampaikan bahwa kebijkannya mengimpor gula pada saat itu berdasarkan instruksi Presiden Jokowi sendiri.
Sepertinya Pak Hakim lupa bahwa ekonomi Indonesia sudah lama bercorak kapitalis. Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani Indrawati pernah menjadi Direktur Bank Dunia di mana lembaga ini adalah lembaga yang menganut pandangan ekonomi liberal (Heywood, 2017). Saat ini, liberalisme dan kapitalisme menjadi rezim ekonomi global. Oleh karena itu, jika kebijakan bercorak kapitalis menjadi alasan untuk menjatuhkan vonis kepada Tom Lembong, maka seharusnya bu Sri Mulyani juga bisa divonis dengan pasal yang sama. Pivatisasi dan keterbukaan pada investor asing merupakan salah satu ciri dan prinsip dari ekonomi yang bercorak kapitalis. Pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan investasi asing adalah wujud nyata dari kebijakan ekonomi yang bercorak kapitalis. Mengapa Jokowi dan Sri Mulyani tidak divonis korupsi dengan alasan kebijakan yang bercorak kapitalis?
Dari salah satu pasal yang dijatuhkan kepada Tom Lembong ini kita bisa melihat, tanpa harus melakukan penelitian mendalam, bahwa vonis yang dijatuhkan kepadanya sangat dipaksakan dan juga berbau politis. Ini juga yang semakin memperjelas wajah penegakan hukum di Indonesia yang jauh dari semangat keadilan sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Dan janji dari pemimpin yang terpilih bahwa dia akan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya hanyalah ‘omon-omon’ belaka. Ketidakadilan itu makin nyata dipertontonkan di hadapan publik. Jangankan kaum terdidik cendekia, masyarakat awam saja paham bahwa hukum sedang dipermainkan oleh elite. Pemimpin berdiri tegak di atas hukum sehingga ia dan koleganya tidak tersentuh oleh hukum. Sebaliknya, lawan politik harus dihukum meski alasannya terkesan dicari-cari dan dipaksakan. Contohnya adalah vonis terhadap Tom Lembong.
Tom Lembong pada 2015-2016 memang menjadi bagian dari kabinet Joko Widodo. Dia juga disebut-sebut sebagai penulis naskah pidato Jokowi pada saat itu. Tetapi pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 lalu, Tom Lembong memilih jalan politik yang berbeda haluan dengan Jokowi. Inilah kesalahan Lembong, yang tidak tertulis dan terucapkan, di hadapan hakim yang menjatuhkan vonis padanya. Lembong bukanlah satu-satunya tokoh yang dipenjarakan atau diancam untuk dipenjarakan karena berbeda haluan politik. Khofifah Indar Parawansa, misalnya, sempat disebut-sebut namanya sebagai salah satu figur yang potensial menjadi calon wakil presiden dari Anies Baswedan pada 2024 lalu. Akan tetapi obsesi Gubernur Jawa Timur (Jatim) tersebut surut ketika kasus korupsi dijadikan sebagai senjata untuk ‘melumpuhkannya’. Kita tahu bahwa pada 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di kantor gubernur Jatim. Isu ini kembali mencuat di permukaan menjelang penetapan calon presiden dan calon wakil presiden pada 2023.
Khofifah, supaya aman, memilih untuk ikut berlayar bersama Jokowi dengan mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (anak Jokowi) pada pilpres 2024 lalu. Maka nasib Khofifah berbeda dengan Tom Lembong. Andaikan Khofifah memilih berlayar bersama Anies Baswedan, bisa saja penggeledahan KPK pada 2022 lalu akan dilanjutkan.
Tokoh lain yang sudah masuk buih karena pilihan politik yang berbeda dengan Jokowi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 lalu adalah Syahrul Yasin Limpo. Syahrul Yasin Limpo adalah Menteri Pertanian 2019-2023 di bawah kepemimpinan Jokowi. Limpo menteri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Nasdem adalah partai yang pertama kali mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden pada 2023. Di mana kita ketahui bersama bahwa Anies adalah figur yang nampaknya paling tidak disenangi oleh Jokowi. Karena Nasdem adalah partai terdepan di balik pengusungan Anies sebagai calon presiden, maka kader partai pimpinan Surya Paloh ini kemudian ‘dihabisi’. Syahrul saat ini pun sudah hidup di balik jeruji besi. Dari hasil penyelidikan, Syahrul memang terbukti melakukan korupsi sehingga tidak sulit untuk menjatuhkan hukuman padanya. Berbeda dengan Tom Lembong yang terkesan dicari-cari alasan untuk menjatuhkan vonis padanya.
Penyelidikan terkait dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh Syahrul dari KPK tidak terlepas dari pilihan politik partainya yang berani berseberangan dengan Jokowi pada pilpres 2024 lalu. Ini adalah pesanan. Tokoh-tokoh lain yang juga terindikasi punya banyak masalah hukum bebas karena ‘kesetiaannya’ pada Jokowi. Sebut saja Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Perekonomian pada era Jokowi dan masih menduduki posisi yang sama sampai saat ini, pada era Prabowo Subianto. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Airlangga dipaksa mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar pada 10 Agustus 2024 (Kompas, 11/08/2024). Sebelum mengundurkan diri, Airlangga disebut menerima surat panggilan dari Kejaksaan Agung atau Sprindik terkait penyelidikan kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya di Kementerian Perdagangan untuk periode 2021-2022 (Tempo.co. 13/08/2024).
Kasus airlangga ini akan diproses karena bereda kabar bahwa Airlangga tidak mengikuti kemauan Jokowi untuk mempercepat Musyawarah Nasional partai Beringin tersebut. Jokowi sebelum berakhir masa kepemimpinannya pada Oktober 2024 nampak sibuk untuk mengamankan posisinya setelah tidak lagi menjadi orang nomor satu di republik ini. Ia disebut-sebut ingin mejadi Ketua Dewan Pembina partai warisan Orde Baru tersebut. Dengan mendapatkan posisi sebagai Ketua Dewan Pembina, maka Jokowi akan mempunyai nilai tawar politik yang tinggi. Tidak menjadi powerless. Walakin, kehendak politik Jokowi terhalang dengan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga partai tersebut. Dan kabarnya Airlangga intens bertemu dan berdialog dengan kader-kader senior dari partai tersebut untuk melakukan perlawanan terhadap Jokowi. Tetapi yang terjadi kemudian adalah Airlangga diancam akan diproses kasusnya jika tidak mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Airlangga untuk mundur supaya penyelidikn tidak dilanjutkan. Dan memang penyelidikan tidak dilanjutkan. Bahkan, Airlangga masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian saat ini.
Dari beberapa kasus ini jelas terlihat bahwa pejabat atau mantan pejabat akan menjadi target penyelidikan tergantung dengan afiliasi politiknya. Pro dengan rezim yang sedang berkuasa atau tidak. Tom Lembong, karena berseberangan dengan Jokowi pada pilpres 2024 lalu, kemudian dijadikan target hukum. Akhirnya, pada 18 Juli 2025, hakim menjatuhkan hukuman kepada Tom Lembong selama 4 tahun 6 bulan penjara dan juga denda sebesar 750 juta (Kompas.id. 18/07/2025).
Abolisi dari Prabowo
Setelah mendekam di penjara lebih dari sepuluh hari, Tom Lembong akhirnya bisa kembali menghirup udara bebas setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepadanya pada 1 Agustus 2025. Abolisi adalah penghentian terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Tokoh publik lain yang bebas dari proses hukum karena campur tangan presiden adalah Hasto Kristiyanto, Sekretaris Genderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P). Proses hukum kepada Hasto juga sarat dengan nuansa politik, tanpa bermaksud mengatakan bahwa Hasto bersih. Akan tetapi proses penetapan tersangka kepada tokoh-tokoh tertentu sangat tergantung dengan pilihan politiknya atau partainya.
Oleh karena itu, Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan juga Calon Wakil Presiden 2024 lalu, merespons abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti untuk Hasto dengan mengatakan bahwa ”Jeritan hati masyarakat dan opini publik, serta public common sense ternyata benar bahwa kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto memang sangat kental nuansa politiknya dan itu tidak boleh diulangi lagi” (Kompas.id. 1/08/2025).
Pada sisi yang lain, Abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti untuk Hasto juga mendapatkan tafsiran politik sebagai bentuk perlawanan Prabowo Subianto terhadap Jokowi. Tidak bisa dinafikan bahwa proses hukum yang dijalani Tom Lembong karena berbeda haluan politik dengan Jokowi pada 2024 lalu. Tom Lembong menjadi tim sukses Anies Baswedan. Maka dari itu, vonis korupsi yang janggal kepada Tom Lembong ditafsirkan sebagai ‘titipan’ Jokowi ketika masih menjabat sebagai orang nomor satu di republik ini. Dan proses itu berlanjut ketika Jokowi kembali ke Solo hingga akhirnya Tom Lembong mendekam di penjara sejak 18 Juli 2025 lalu. Akan tetapi, Prabowo, sebagai presiden saat ini, mengambil langkah berbeda dengan Jokowi. Prabowo justru membebaskan Tom Lembong melalui surat saktinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 30 Juli 2025.
Akhirnya kita harus mengucapkan selamat kepada Tom Lembong dan Hasto yang kembali bisa menghirup udara bebas. Namun demikian, meskipun kedua tokoh ini bebas, wajah berhukum kita terekam dengan jelas dari proses ini yang semakin jauh semangat dan prinsip berkeadilan. 17 Agustus tahun ini, kita akan merayakan 80 tahun kemerdekaan kita. Tetapi kita belum berhasil menata republik ini dengan tatanan hukum yang sesuai dengan prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hukum yang berlaku saat ini nampak seperti ‘hukum rimba’, siapa yang kuat dialah yang akan keluar sebagai pemenangnya. Hukum tidak berbicara benar dan salah, melainkan siapa yang kuat dan siapa yang lemah!
Yogyakarta, 9 Agustus 2025
