Aspirasi

Ngeri-ngeri sedap: Aksi Trio Berbie di Gorontalo

Trio berbie yang merupakan gabungan dari 3 orang waria, telah dilaporkan ke pihak kepolisian, karena melakukan aksi yang dinilai tidak pantas, ditampilkan di ruang publik. Tentu, hal ini adalah peristiwa yang wajar, dilakukan oleh masyarakat di negara demokrasi. Sebuah upaya untuk mengatasi keresahannya.

Menanggapi aksi ketiga biduan dalam mengisi pangguh hiburan ini, muncul berbagai pro dan kontra di masyarakat. Banyak yang membela, dan banyak pula yang memberikan kritik tajam, hinaan bahkan bisa berujung pada perundungan. Tanggapan juga muncul dari para tokoh masyarakat, dan akademisi dengan gelar yang berderet. Tentu, tulisan ini bukan untuk mengimbangi, apalagi menandingi wacana yang coba dibangun oleh mereka. Rasanya, saya tak cuku pede untuk melakukan itu. Namun, sebagai seorang yang (pernah) fokus meneliti aktivitas hiburan yang dilakukan oleh kalangan waria, beberapa argumentasi perlu saya uraikan dengan baik dan lunak, sebagai pengantar yang (semoga) mudah untuk dipahami, dalam melihat fenomena trio berbie. Mungkin juga ini juga bisa menjadi bukti, bahwa karya ilmiah yang saya susun untuk memperoleh gelar sarjana, benar-benar berguna bagi pencerdasan kehidupan masyarakat.

Saya juga tidak pada posisi menggangu keyakinan, atau bahkan proses hukum yang tengah berjalan di masyarakat dan kepolisian. Saya hanya ingin menguraikan beberapa cerita menarik (menurut saya), yang mungkin bisa menambah pengetahuan kita tentang waria sebagai penghibur pesta di Gorontalo. Karena sejatinya, pengetahuan yang bertambah, akan memunculkan pemahaman yang baik, sehingga empati bisa tumbuh, dan membuat kita toleran dalam melihat fenomena dalam masyarakat.

Melihat trio Berbie

Melihat fenomena trio berbie yang hadir sebagai penghibur di berbagai pesta, membuat saya teringat dengan buku “Irama orang menolak kalah” karya Irfan Drajat, yang menguraikan bagaimana besarnya dangdut yang dibawa oleh Rhoma Irama, berhasil digoncang oleh kehadiran dangdut bergenre koplo, yang dibawa oleh Inul Daratista. Dinamika musik tanah air semakin memanas, saat Inul menjadi biduan dangdut koplo dengan memamerkan gaya khasnya, yaitu goyang ngebor. Alhasil goyangan itu membuat popularitasnya terus meningkat, dan mengancam industri musi yang telah mapan sebelumnya.

Trio berbie, kurang lebih seperti itu. Selayaknya para penghibur pada umumnya yang memaksimalkan potensi diri, untuk menutupi kekurangan hiburannya. Ada penghibur yang kurang, menarik suarannya, namun bisa ia tutupi dengan beberapa goyangan, dan aksi menarik. Teknik inilah yang saya temukan, ketika melihat penampilan para waria di atas panggung. Mereka sering mengajak para penonton, untuk ikut bergoyang dengan berbagai gaya, untuk membuat suasana pesta semakin meriah, dipenuhi canda tawa. Tentu, para waria dan bahkan masyarakat yang mengundang mereka, memahami bahwa ini hanyalah merupakan hiburan, yang sering mereka lakukan ketika tampil di atas panggung. Terlebih, setiap masyarakat yang mengundang para biduan waria, sudah mengetahui dengan baik, siapa yang mereka undang, dan apa saja aksi menarik yang mereka miliki.

Selain aksinya yang unik dan menarik, para waria ini juga cenderung fleksibel dalam mengisi acara. Mereka tak memerlukan embel-embel menejer, aturan undangan dan beberapa ketentuan yang biasanya dimiliki oleh penyanyi populer. Padahal, mereka juga memiliki jam terbang yang cukup banyak. Dalam penelitian saya, rata-rata dalam sehari, seorang waria dapat mengisi panggung hiburan kurang lebih 2 sampai 5 kali. Para waria, juga kebanyakan memiliki berbagai keahlian sekaligus. Tak jarang, mereka bisa menjadi MC, stand up comedy, dan biduan dengan puluhan lagu sekaligus. Dan ini semua dibayar oleh masyarakat yang mengundang, dengan harga terjangaku (bisa diatur).

Kehadiran biduan waria, berhasil menggoncang kemapanan dunia musik modern yang ada di Gorontalo. Panggung hiburan yang kini sering dipatok harga, dengan penonton yang dibatasi, sangat berbeda dengan panggung hiburan masyarakat yang diisi oleh para biduan seperti ini. Pestanya lebih umum, terbuka dan bisa dinikmati oleh siapapun dari berbagai kalangan.

Kondisi inilah yang bikin penulis skeptis. Kalau memang mereka (waria) ini dibenci, kenapa undangan untuk menghibur sangat banyak? Dalam penelitian saya, mudahnya akses untung mengundang, harga yang cenderung terjangkau, skil yang unik dan dan jenaka, menjadi penyebab kenapa sampai waria seakan menjadi pilihan masyarakat, ditengah merebaknya para para penghibur yang berasal dari kalangan lelaki dan perempuan.

Candatawa yang hadir menghiasi berbagai aksi waria dalam mengisi panggung hiburan, juga bisa dibaca sebagai ekspresi bahagia masyarakat dalam melihat para waria melakukan hiburan. Sungguh, realitas seperti ini jauh dari kata “meresahkan” seperti yang banyak hadir dalam komentar media sosial.

Tentang Budaya

Seperti dalam berbagai pembelajaran budaya, bahwa dunia hiburan yang menjadi bagian penting dari proses globalisasi, juga masuk dan mencampuri kebudayaan masyarakat. Bukan hanya di Gorontalo, namun juga di seluruh dunia. Kondisi inilah yang seakan, membuat kebudayaan yang otentik dan khas dari sebuah wilayah, semakin-hari semakin tidak jelas, dan susah diidentifikasi. Bahkan untuk Negara Indonesia yang dalam administrasinya, benar-benar menjunjung tinggi kebudayaan, nyatanya dalam kebudayaan otentik sering dipertontonkan oleh kalangan elit, selalu banya menyebar di ruang-ruang ceremonial belaka. Padahal, kalangan elit sering dianggap sebagai patron dalam sebuah wilayah. Maka, semakin hari kebudayaan yang berdagam di suatu wialayah semakin kabur.

Penulis juga mendapatkan ketidakkonsistenan masyarakat kita, dalam menjalankan tradisi kebudayaannya. Apalagi saat berpapasan dengan dunia globalisasi, salah satunya musik. Warga yang minum minuman keras secara terbuka, tindakan asusila dan beberapa perilaku yang sering dianggap tidak senonoh lainnya, juga terlihat menghiasi panggung hiburan yang ada di Gorontalo. Salah satunya adalah panggung hiburan yang diisi kalangan waria seperti Trio Berbie. Saking seringnya, perilaku ini mungkin sudah dianggap wajar, sama seperti aksi “gila” waria, saat mengisi panggung hiburan. Namun, jika kita mau jujur dengan kebudayaan Gorontalo, yang menyatu dengan kitab keagamaan, tentu perilaku seperti ini bisa dibilang menyalahi norma yang hidup di masyarakat.

Viralnya aksi yang dianggap tidak senonoh dari Trio Berbie juga, merupakan imbas dari globalisasi, yang sering menimbulkan fenomena gunung es. Hanya satu kekeliruan yang dimunculkan, padahal dibalik itu ada ribuan kesalahan yang masih tersembunyi. Padahal, kita mengetahuinya secara bersama. Atau mungkin, dengan pengalaman penelitian penulis, masih tidak bisa memahami dengan baik bagaimana penerapan sistem kebudayaan di Gorontalo, sama seperti yang Romo Syamsi Pomalingo tulis, dalam tanggapannya tentang Trio Berbie, bahwa ada ketidakjelasan indikator kebudayaan Gorontalo, yang seharusnya mendorong agar tidak terjadi penilaian yang hitam-putih.

Bagaimana Menanggapinya

Tentu setiap orang tidak bisa memilih mereka dilahirkan seperti apa. Mereka hanya dipersilahkan untuk menerima takdir, sambil berusaha untuk tetap mempertahankan hidup dengan kemampuannya. Pekerjaan yang dilakukan oleh Trio Berbie, juga seperti pekerjaan kita pada umumnya. Wartawan, PNS, Pedagang, bahkan tukang ojek pun bisa melakukan kesalahan dalam pekerjaannya. Kesalahan yang dipicu oleh banyak hal. Bisa saja karena kesengajaan, ketidaktahuan atau bahkan karena effort yang berlebihan. Apalagi dalam dunia hiburan, tentu effort berlebihan merupakan hal yang sangat sering kita dapati, dan sepertinya memang layak dilakukan. Karena menikmati musik pop, tidak cukup hanya mendengarkan, namun juga membutuhkan keterlibatan tubuh dalam berekspresi dan bergoyang. Kira-kira itulah yang penulis bisa pahami, saat memperhatikan berbagai panggung hiburan yang diisi oleh kalangan waria.

Setiap pekerjaan membutuhkan evaluasi atas kekeliruan yang dilakukan. Aksi trio berbie dalam menghibur masyarakat, juga membutuhkan evaluasi, agar tidak terjadi hal yang tidak disukai oleh masyarakat. Dan saya kira, masyarakat sebagai pihak yang mengundang, juga telah memberikan tanggapan, baik atau buruk, dalam setiap penampilan waria. Itu adalah hal penting yang selalu dijaga oleh waria, agar mereka terus mendapatkan pekerjaan seperti ini.

Memahami setiap manusia, tentu harus kita lakukan, agar bisa selalu berempati. Apalagi kepada mereka, yang tidak seberuntung kita. Baik dalam menagkses hidup yang layak, atau hidup dalam perilaku yang sering dianggap tidak normal. Fenomena trio berbie ini, rasanya ngeri-ngeri sedap, untuk dilihat dan dipahami. Banyak yang menghujat, namun ketika di panggung hiburan sangat diminati oleh masyarakat, khususnya kelas menengah kebawah. Tentu pandangan ini berbeda dengan mereka yang hidup dalam kondisi cukup dan berlebihan, bahkan mapan dalam segala hal.

Sekali lagi, trio berbie harus ditegur dan dievaluasi, agar bisa mempertimbangkan berbagai aksi yang titampilkan. Khususnya sesuai dengan karakter acara, dan kalangan penonton yang hadir. Sama halnya dengan para pejabat yang melakukan nepotisme, Dosen yang culas, bahkan warga yang seenaknya menghina orang lain. Semuanya harus diperbaiki. Tentu berdasarkan kadar kesalahan, dan kemanusiaan yang memadai.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top