MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Setiap pernikahan antara laki laki dan perempuan umumnya ditujukan untuk senantiasa sakinah, mawaddah wa rahmah.
Namun terkadang, terdapat masalah masalah dalam pernikahan yang tidak sedikit berujung pada perceraian.
Perceraian itu lantas menimbulkan berbagai masalah baru, salah satunya yakni jatuhnya kualitas hidup perempuan dan anak sebagai kelompok rentan.
Hal ini sering terjadi karena perekonomian rumah tangga yang banyak bergantung pada pihak suami atau laki laki.
Di Makassar sendiri, angka perceraian terbilang tinggi.
Ketua Posbakum Pengadilan Agama Makassar, Husnah Husain, menyebut jumlah perkara perceraian di tahun 2023 mencapai 2.141 perkara, cerai gugat 1.673 perkara, cerai talak 463 perkara, dan cerai akumulasi 92 perkara.
Hal ini diungkapkannya pada Diskusi Perlindungan Hak Perempuan Pasca Perceraian yang difasilitasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Makassar di Hotel Karebosi Premier. Kamis (29/2/2024).
Husnah mengingatkan, setiap laki laki yang bercerai dengan istrinya harus tetap memberi nafkah.
“Masih banyak perempuan yang tidak meminta nafkahnya, mungkin karena tidak ketahuannya, kedua karena ada yang ingin segera menyelesaikan perceraian (biasanya dalam kasus KDRT, dll), ada juga yang tidak minta karena menganggap dirinya juga bekerja (mencari uang),” paparnya.
Nafkah yang dimaksud berupa nafkah madhiyah, nafkah iddah, dan nafkah mut’ah. Hal ini telah dijamin oleh undang-undang.
Pertama, nafkah madhiyah (nafkah masa lampau) adalah nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh mantan suami ke mantan istri sewaktu keduanya masih terikat perkawinan yang sah.
Kedua, nafkah iddah (masa tunggu) adalah nafkah yang harus diberikan dari suami ke istri dalam 3 bulan pasca perceraian.
“Karena istri yang diceraikan suaminya tidak boleh menerima pinangan selama 3 bulan,” jelasnya.
Nafkah mut’ah (penghibur) adalah pemberian dari mantan suami ke mantan istri yang dijatuhi talak baik berupa uang maupun benda lainnya.
“Kalau suami bilang tidak ada uangnya, itu disesuaikan dengan kemampuan atau kebiasaannya pada saat hidup harmonis dengan istrinya,” tuturnya.
Husnah menambahkan, meskipun istri yang melakukan gugatan cerai, dirinya masih bisa meminta hak nafkahnya.
“Meskipun perempuan yang menggugat, sudah boleh (minta nafkah) dengan menggabungkan gugatan cerai, gugatan nafkah anak, gugatan pemeliharaan harta anak, kecuali gugatan harta bersama itu belum boleh” terangnya.
Untuk hak anak, ia menekankan, biaya pemeliharaannya tetap ditanggung oleh ayahnya.
Narasumber lainnya dalam diskusi tersebut, yakni Riyadh (Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Maros), berpesan tentang pentingnya kehatian-hatian sebelum melangsungkan pernikahan.
Riyadh memberi contoh, bahwa biasanya keluarga hanya memperhatikan terkait uang panai‘, undangan, dan segala hal teknis resepsi perkawinan lainnya.
Di sisi lain, ada hal yang luput diperhatikan seperti status calon mempelai, serta syarat dan rukun perkawinan.
Masalah yang umum terjadi, apabila perkawinan tidak tercatat dalam administrasi negara sehingga tidak mempunyai bukti buku nikah.
“Risikonya banyak, misalnya anak (hasil perkawinan) tidak punya akte kelahiran. Sedangkan itu nanti anak ta‘ mau sekolah, mau kuliah, mau kerja. Atau kalau ada Bansos juga itu mungkin ada kaitannya,” imbuhnya.
Untuk itu, lanjut Riyadh, melibatkan pemerintah dan mencatatkan perkawinan tidak lagi bisa ditawar tawar.
“Besok lusa ada yang melamar anak ta, lalu dia mengajak menikah sirih, jangan laloki‘ terimai. Saya berani mengatakan, laki laki yang seperti itu diduga punya niat yang tidak baik,” imbaunya.
Ia berharap agar masyarakat tidak memandang enteng catatan sah perkawinan.
“Jangan dipandang enteng. Di situlah kita berangkat mencari hak hak ta sebagai istri, mencari hak hak anak ta’,” tandasnya.
“Kalau ada yang mau datang melamar, periksa dulu statusnya, bukan isi dompetnya,” pesannya lagi.
Sementara itu, sesi diskusi berlangsung interaktif. Peserta berupa perwakilan warga dari berbagai kelurahan Kota Makassar antusias membagikan pengalaman pernikahannya.
Banyak di antara mereka mengaku telah bercerai dan atau tidak lagi tinggal bersama dengan pasangannya, sementara nafkah suami/mantan suami ikut terputus.
Ditambah lagi keadaan anak pasca perceraian banyak yang mengalami kekerasan oleh orang tuanya, hingga putus sekolah karena tidak ada yang mengurus dan membiayai.
Menanggapi berbagai pernyataan warga, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DPPPA Makassar, Hapidah Djalante, yang turut hadir sepanjang diskusi, berjanji akan terus berkoordinasi dengan unit pelayanan yang ada.
Ia meminta kepada pengurus Shelter Warga untuk segera berkoordinasi dengan para warga yang bersangkutan.
Hapidah juga akan turut melakukan cross check terhadap laporan laporan di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar.
