MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Pencegahan perkawinan anak masih menjadi fokus berkelanjutan Pemerintah Kota Makassar.
Melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), Pemkot Makassar kembali melangsungkan Workshop Pencegahan Perkawinan Usia Anak untuk masyarakat.
Kegiatan dilangsungkan di Hotel Golden Tulip Essential Makassar, Rabu (23/4/2025).
Plt. Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak DPPPA Makassar, Zanty Susilawaty Zainuddin, mengutarakan bahwa pernikahan atau perkawinan seharusnya mengarah ke hal-hal yang baik. Para orang tua juga menikahkan anak-anaknya untuk kehidupan yang lebih baik.
Namun, ketika akan melakukan perkawinan, banyak faktor yang mesti diperhatikan, salah satunya adalah usia.
“Jadi untuk memasuki perkawinan sekarang ada standar umurnya. 19 tahun untuk perempuan, 19 tahun untuk laki laki,” jelas Zanty.
Di sisi lain, Zanty mengungkapkan masih banyaknya kejadian perkawinan anak (di bawah umur).
“Dari data yang ada pada kami sudah banyak yang dikeluarkan rekomendasi nikah 2025. Ada 12 kalau tidak salah, yaitu pernikahan usia dini yang tentu kita tidak inginkan bersama karena banyak risiko,” ungkapnya.
Ketua TRC UPTD PPA Kota Makassar, Makmur, membenarkan banyaknya permintaan rekomendasi nikah (untuk calon suami istri di bawah umur).
“Sekarang yang saya terima (untuk dibuatkan rekomendasi) sudah 12. Baru bulan 4. Tapi yang saya tolak tidak tahu berapa banyak,” bebernya.
Penolakan rekomendasi, kata Makmur terjadi karena banyaknya orang tua yang sekedar memaksa menjodohkan anaknya, meskipun si anak belum cukup umur.
Padahal, rekomendasi nikah biasanya dikeluarkan hanya jika terjadi kondisi darurat atau ‘kecelakaan’ (married by accident), itupun disertai dengan pertimbangan dan prosedur yang sangat ketat.
“Kecelakaan pun tidak langsung kita kasih. Ada assesment dulu, dikonseling dulu juga sama orang tuanya,” ujar Makmur.
Selain itu, lanjut Makmur, masih banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak, seperti faktor ekonomi (kemiskinan), budaya masyarakat, untuk menjaga harta warisan keluarga, menebus hutang keluarga, dan tawaran mahar yang tinggi.
“Pemerintah memberi batas umur yang cukup karena anak itu seharusnya belajar menuntut ilmu, bukan anak menggendong anak. Risikonya berat,” tandasnya.
Ia menyambung, perkawinan anak meningkatkan berbagai risiko seperti penyakit seksual, kekerasan seksual, masalah psikologi, sosial, dan ekonomi.
Perkawinan anak juga melanggar sejumlah hak asasi manusia yg dijamin Konvensi Hak Anak, yaitu hak atas pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, serta hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua.
Lebih lanjut, Warida Syafie dari Institute of Community Justice Makassar menekankan pencegahan perkawinan anak termasuk dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (nomor 5 tentang kesetaraan gender).
“Dalam poin 5.3 itu isinya menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan,” paparnya.
Warida lalu menyebutkan 5 strategi daerah yang bisa dilakukan, yaitu optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
Warida juga menambahkan peran penting dan fungsi keluarga, mencakup fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan.
“Tidak mungkin ada perkawinan anak kalau fungsi keluarga ini berjalan,” tukasnya.
