JAKARTA, EDUNEWS.ID — Di tengah euforia peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, ribuan dosen di seluruh Indonesia justru merasa belum sepenuhnya merdeka.
Mereka adalah para peserta Program Doktor untuk Dosen Indonesia (PDDI) 2025 yang menuntut kejelasan atas janji kuota tambahan beasiswa dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek). Perjuangan mereka kini disuarakan melalui sebuah petisi yang difasilitasi oleh Forum Komunikasi Dosen Seluruh Indonesia (FKDSI).
Ketua FKDSI, A Herenal Daeng Toto mengungkapkan, lebih dari 1.000 dosen dinyatakan gagal lolos tes wawancara beasiswa PDDI 2025, padahal mereka telah melakukan persiapan matang.
“Kesiapan administrasi lengkap. Proposal disertasi rampung. Promotor sudah siap, bahkan konsultasi awal sudah berjalan. Registrasi akademik di kampus tujuan beres. Kampus asal sudah memberi dukungan penuh. Namun setelah pengumuman seleksi, semua perjuangan itu hilang tanpa diketahui penyebabnya,” tutur A. Herenal Daeng Toto, dala keterangannya, Jumat (15/8/2025).
Menurutnya, kenyataan ini terasa ironis karena 75 persen dari lebih 300 ribu dosen di Indonesia belum bergelar doktor. Keinginan untuk melanjutkan studi sangat besar, tetapi sering terhalang oleh biaya kuliah yang tinggi dan peluang beasiswa yang terbatas.
Proses Seleksi yang Tak Transparan
Beasiswa PDDI 2025 yang diluncurkan pada 2 Juni 2025 seharusnya menjadi harapan baru dengan target 5.000 doktor baru. Sambutan para dosen luar biasa, terlihat dari 6.768 pendaftar, di mana 4.993 di antaranya lolos administrasi. Namun, optimisme itu berubah menjadi kekecewaan mendalam.
“Proses seleksi dianggap tidak transparan, kriteria penilaian tidak jelas, dan tidak sejalan dengan kebijakan akademik di kampus tujuan,” tegas Herenal.
Ia menambahkan, lebih dari seribu dosen yang sudah registrasi ulang di kampus tujuan kini terancam mundur karena pendanaan beasiswa ternyata tidak memadai untuk meloloskan mereka.
“Mereka bukan hanya kehilangan kesempatan studi, tetapi juga terjebak dalam kerugian finansial, beban psikologis, dan krisis kepercayaan terhadap sistem,” tambahnya.
Herenal menambahkan, banyak dosen yang terancam di-blacklist oleh kampus tujuan karena sudah registrasi ulang namun tidak mampu melanjutkan studi mengingat biaya S3 yang sangat tinggi.Dampak Lebih Luas dan Seruan Kemerdekaan Pendidikan
Menurut Herenal, masalah ini jauh melampaui kepentingan individu dan akan berdampak luas pada ekosistem pendidikan tinggi. “Kampus di daerah kehilangan peluang memiliki dosen bergelar doktor, mahasiswa kehilangan akses belajar dari dosen dengan kapasitas riset internasional, dan pengembangan riset nasional tersendat,” katanya.
Menjelang Hari Kemerdekaan, Herenal menyampaikan seruan yang menyentuh. “Kami para dosen hanya bisa menatap bendera merah putih berkibar. Sejatinya kita sudah harus merdeka dari segala bentuk penjajahan, termasuk belenggu keterbatasan untuk mengembangkan ilmu,” ujarnya.
“Jika dosen masih terhalang meraih pendidikan tertinggi, maka kemerdekaan pendidikan kita belum utuh. ‘Pendidikan Tinggi Berdampak dengan Kualitas Unggul’ hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Sudah waktunya semua pihak—pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat—bersatu memastikan kemerdekaan itu nyata bagi para pendidik bangsa,” pungkasnya (**)
