MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja resmi disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Firmansyah Demma, salah satu mahasiswa Universitas Hasanuddin menganggap Puan Maharani salah satu aktor yang berperan penting dalam pengesahan tersebut.
Sejak 2020 lalu, Perpu Cipta Kerja atau Omnibus Law sudah menuai kontroversi.
Berbagai kalangan menolak, mulai dari para pekerja/buruh, mahasiswa, pengamat, pakar, hingga akademisi.
“Pada 2020 silam, Perpu Cipta Kerja ramai-ramai kita tolak. Bukan hanya ditolak oleh mahasiswa, tapi juga ditolak oleh kalangan lainnya seperti buruh, pekerja, maupun akademisi lantaran merugikan berbagai pihak terutama para pekerja/buruh,” ucap Firmansyah.
Lebih lanjut, mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin itu mengungkap bahwa 2 bulan setelah disahkannya pada 20 Oktober 2022 aturan itu diteken oleh Presiden.
“Dalam rentetannya, tepat pada 2 November 2022 UU Cipta Kerja ditanda tangani oleh Presiden Jokowi sebagai bentuk legitimasi terhadap aturan tersebut. Tertanggal itu juga, UU Cipta Kerja itu mulai berlaku,” ungkapnya.
Namun walaupun telah ditandatangani Presiden Jokowi, UU Cipta Kerja masih saja dibanjiri kritikan dan penolakan.
“Bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang keras. Kalau kita bilang salah ya salah. Begitulah sikap kita terhadap UU Omnibus Law, bahwa sekalipun sudah disahkan dan diteken oleh Presiden, kita tetap tidak berterima. Bahkan, Undang-Undang tersebut semakin terbukti keanehannya saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat,” terangnya.
Namun setelah MK menyatakan hal tersebut, pemerintah bukannya membatalkan UU Cipta Kerja itu. Malah mengubah UU yang inkonstitusional itu menjadi Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan pada 23 Maret 2023 lalu resmi ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI.
“Ini fenomena kenegaraan yang sangat memiriskan hati. Betapa tidak, kalau kita lihat rentetannya produk hukum ini terkesan begitu sangat dipaksakan. Semacam produk hukum yang dibuat dengan kongkalikong antar elit. Jadi gedung DPR RI itu tidak lagi menjadi tempat suci, melainkan tempat para Dewan Pemuas Birahi (DPR),” tegasnya.
Putra kelahiran Takalar Sulsel itu, menekankan agar rakyat Indonesia sadar, bahwa produk haram itu tidak akan lahir kalau tidak ada aktornya.
“Lahirnya produk haram ini bukanlah gerakan yang biasa, ini tersistematis dan punya aktor. Kalau kita mau pikir, tentu Puan Maharani selaku Ketua DPR RI berperan penting di sini. Bahkan dalam pengesahan Perpu UU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Puan Maharani lah yang sangat getol memperjuangkannya di hadapan peserta Rapat Paripurna. Dapat dikatakan bahwa Puan Maharani lah yang menjadi aktor utamanya,” jelasnya.
Dia pun kembali menegaskan penolakannya terhadap Perpu Ciptaker tersebut.
“Kita mesti menolak produk ini. Bukan karena semata-mata dipaksakan, tetapi memang substansinya banyak merugikan rakyat. Seperti, tidak mengatur batas waktu kontrak kerja, batasan maksimal jam lembur menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu, adanya penghapusan upah minimum, pemutusan hubungan kerja sewaktu-waktu, mempermudah perekrutan tenaga kerja asing, dan masih banyak hal lainnya. Jadi, kalau kita sesali dan tolak, wajar saja. Namanya juga anak haram,” tuturnya.
“MK bilang Perpu Ciptaker itu inkonstitusional bersyarat, harus direvisi dalam jangka waktu 2 tahun. Pernyataan itu dikeluarkan pada tahun 2021. Belum genap dua tahun, Perpu Cipta Kerja malah sudah disahkan jadi Undang-Undang. Bahkan, kita tidak tahu apa saja yang direvisi, jadi wajar saja kalau banyak orang tetap menolak,” pungkasnya.
