EDUNEWS.ID – Tidak ada sosok yang tidak lepas dari bayang-bayang Covid-19. Mereka dengan imunitas tubuh yang kuat juga tetap terancam Covid-19 meski dengan derajat gejala yang mungkin lebih ringan.
Sempat muncul klaim bahwa perokok berat justru diuntungkan saat berhadapan dengan Covid-19. Alasannya, nikotin pembakaran rokok menempel di paru-paru menghalangi virus Sars-Cov2 untuk menginfeksi Covid-19. Hingga saat ini belum ada penelitian pasti soal itu.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Prof Yayi Suryo Prabandari, membantah klaim jika merokok bisa mencegah Covid-19. Justru, ia menilai perokok lebih berisiko.
Ia menuturkan, menjadi perokok justru bisa menyebabkan seseorang mudah sakit. Tidak hanya rentan terinfeksi Covid-19, tapi penyakit-penyakit lain seperti kanker, jantung, tekanan darah tinggi dan diabetes.
“Klaim yang beredar sangat keliru karena kebiasaan merokok itu tidak sehat. Justru, merokok menjadikan seseorang menjadi lebih rentan terhadap serangan virus, bakteri dan penyakit lainnya,” ujar Yayi, Rabu (15/4/2020).
Dosen Departemen Perilaku, Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial FKKMK UGM ini menilai perokok memiliki risiko lebih besar dari yang tidak merokok. Risiko perokok ketika berhadapan dengan Covid-19 sama seperti lansia dan orang-orang dengan penyakit bawaan.
Yayi menjelaskan, bila perokok terinfeksi Covid-19, maka memperberat kondisi tubuh. Sebab, mereka miliki masalah paru-paru akibat zat kimia yang terhisap saat merokok dan saluran napas berkurang fungsi akibat kebiasaan merokok.
“Sebuah penelitian yang telah diterbitkan jurnal internasional menyebutkan pasien Covid-19 yang merokok dua kali lebih berisiko membutuhkan perawatan intensif ICU, butuh alat bantuan penafasan, alami kematian karena Covid-19,” tutur Yayi.
Yayi sempat pula memberikan penjelasan soal ini dalam Journal of Clinical Medicine (2020) berjudul Smoking Upregulates Angiotensin-Converting Enzyme-2 Receptor: A Potential Adhesion Site for Novel Coronavirus SARS-CoV-2 (Covid-19). Ia menyebutkan, di episentrum Covid-19 di China, jumlah perokok pria cukup tinggi sekitar 50 persen dan angka kematian yang dilaporkan banyak terjadi di pria usia tua. Kemungkinan perokok terwakili dalam kematian cukup tinggi.
Di China, Iran, Italia dan Korea Selatan jumlah perokok wanita lebih sedikit dibandingkan pria, dan lebih sedikit wanita tertular Covid-19. Jika analisis ini benar, maka Indonesia diprediksi akan ada peningkatan pasien Covid-19.
“Karena persentase perokok pria di atas 60 persen,” jelas Yayi.
Pakar promosi kesehatan ini menilai, perokok rentan terinfeksi virus karena aktivitas merokok itu sendiri. Sebab, merokok melibatkan kontak jari tangan dan bibir secara intens, membuka peluang virus pindah dari tangan ke mulut.
Merokok membuat produksi lendir berlebih dan menurunkan proses pembersihan di saluran napas. Lalu, memicu timbulnya peradangan, sehingga lebih rentan terhadap infeksi virus dan tidak cuma terjadi di perokok cara tradisional.
Perokok cara kekinian seperti memakai rokok elektrik atau vape juga memiliki risiko yang sama besar. Terlebih, pengguna vape sebagian besar dari kalangan milenial memiliki kebiasaan menggunakan produk rokok secara bersama-sama.
Kontak dari mulut-ke mulut ini meningkatkan kemungkinan penularan virus, termasuk Covid-19. Karenanya, Yayi meminta masyarakat, khususnya perokok segera berhenti merokok, sesuai imbauan WHO maupun CDC.
“Berhenti merokok secepatnya, bisa dengan mulai mengurangi rokok, atau kalau terpaksa merokok dilakukan di luar rumah, dan jangan bergantian menggunakan alat rokok,” kata Yayi.
Satu lagi kabar yang ramai terkait rokok dan penyebaran Covid-19. Katanya, penularan Covid-19 dapat terjadi melalui asap rokok yang diembuskan perokok yang positif virus corona.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan, belum ada penelitian secara spesifik yang membuktikan bahwa penularan Covid-19 dapat terjadi melalui perantara asap rokok yang diembuskan oleh orang terinfeksi virus tersebut. Virus corona diketahui menyebar melalui droplet.
“Lalu, apakah dengan asap rokok tadi bisa menularkan? Belum ada penelitian,” kata Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih.
Menurut Daeng, karena asap rokok tersebut masuk ke dalam saluran pernapasan atau tenggorokan, maka dikhawatirkan berpotensi menularkan kepada orang lain. Meskipun hingga kini belum ada penelitian membuktikan bahwa asap rokok yang diembuskan oleh penderita Covid-19 itu mengandung virus, tetapi hal tersebut sangat dikhawatirkan.
Oleh sebab itu, kata dia, masyarakat diminta lebih berhati-hati.
“Karena menghisap rokok itu sampai ke dalam tenggorokan, sangat dikhawatirkan asap yang dikeluarkan mengandung virus,” kata dia.
Jika penderita Covid-19 merokok lalu mengeluarkan droplet atau percikan air liur, bersin, dan batuk, menurut Daeng, maka hal itu bisa menularkan virus kepada orang sekitarnya.
“Kalau sudah sifatnya percikan maka itu bisa menulari,” ujarnya.
Daeng menegaskan kembali perokok aktif akan lebih rentan terserang Covid-19, sebab di dalam saluran pernapasan manusia terdapat mekanisme untuk menangkap dan mengeluarkan semua kotoran, termasuk mikroorganisme yang masuk. Ia mengatakan, perokok aktif mengakibatkan mekanisme di saluran pernapasan menjadi rusak sehingga lebih rentan terserang, sebab tidak bisa menyaring kotoran yang masuk, termasuk mikroorganisme.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pelambatan kasus baru Covid-19 selama lima hari terakhir yang menurun dari penambahan kasus tertingginya secara global pada 11 April 2020. Berdasarkan laporan situasi harian WHO terkait Covid-19 yang dikutip pada laman resminya di Jakarta, Kamis (16/4), jumlah penambahan kasus baru secara global sejak 11 April hingga 15 April adalah 89.657 kasus, 85.679 kasus, 76.498 kasus, 71.779 kasus, dan 70.082 kasus.
Jumlah penambahan kasus baru Covid-19 secara global paling tinggi terjadi pada 11 April dengan jumlah 89.657 kasus baru per harinya. Kasus baru Covid-19 secara global per harinya berada di atas 80 ribu kasus untuk pertama kalinya pada 5 April 2020 yaitu tepatnya 82.061 kasus. Angka tersebut fluktuatif antara 80 ribu dan 70 ribu hingga mencatatkan kasus terbanyaknya pada 11 April.
Sebelumnya pelambatan kasus baru Covid-19 ini juga pernah terjadi dua kali, yaitu pada 31 Maret di mana kasus baru secara global tertahan di sekitar 60 ribu kasus per hari dan pada tanggal 23 Maret kasus baru berada di kisaran 40 ribu per hari.
Jumlah penambahan kasus baru secara global sempat melambat dalam tiga hari sejak 29 Maret hingga 31 Maret yaitu 63.159 kasus, 58.411 kasus, dan 57.610 kasus. Namun pada 1 April kasus kembali melonjak menjadi 72.736 kasus.
Pelambatan kasus juga pernah terjadi pada 23 Maret sampai dengan 25 Maret yaitu 40.788 kasus, 39.825 kasus, dan 40.712 kasus. Namun pelambatan pertumbuhan jumlah kasus tersebut hanya bertahan selama tiga hari yang kemudian kasus baru kembali melonjak menjadi 49.219 kasus pada 26 Maret.
Hingga kini Amerika Serikat adalah negara dengan kasus Covid-19 terbanyak yaitu 578.268 kasus dengan 23.476 meninggal dunia. Kasus Covid-19 terbanyak selanjutnya adalah Spanyol 172.541 kasus, Italia 162.488 kasus, Jerman 127.584 kasus, Prancis 102.533 kasus, Inggris 93.877 kasus, dan China 83.745 kasus.
China yang merupakan sumber penularan pertama virus dan sempat menjadi negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia kini menjadi di urutan ketujuh dengan penambah 49 kasus per hari kemarin, dengan total 3.352 jiwa meninggal dunia dan penambahan 1 korban jiwa meninggal dunia dalam 24 jam terakhir. Bahkan China bisa menekan angka kematian hingga di bawah 4 jiwa per harinya dalam 10 hari terakhir dengan tiga hari di antaranya tidak mencatatkan penambahan angka kematian.
Sedangkan kasus Covid-19 di Indonesia per tanggal 15 April tercatat sebanyak 5.136 kasus atau bertambah 297 kasus. Sebanyak 446 pasien yang dirawat dinyatakan telah pulih, sementara 469 jiwa meninggal dunia.
rpl
