MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Bidang Lingkungan Hidup, Maritim, dan Agraria Pikom IMM FEB Unismuh Makassar sukses menggelar Dialog Maritim dan Agraria sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Pembukaan Pendidikan Trilogi Jilid X.
Kegiatan ini menjadi ruang dialektika yang membahas secara kritis dinamika konflik maritim dan agraria di Sulawesi Selatan, serta strategi pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan sosial dan ekologis.
Mengusung tema “Dinamika Konflik Maritim dan Agraria di Sulawesi Selatan: Tantangan dan Strategi Pembangunan Berkelanjutan,” dialog ini menghadirkan tiga narasumber dengan perspektif yang tajam dan kaya pengalaman di lapangan.
Materi pertama disampaikan oleh Kakanda Arfiandi Anas dari WALHI Sulawesi Selatan. Ia membedah secara rinci akar konflik baik di sektor maritim maupun agraria.
Salah satu sorotannya adalah aktivitas penambangan pasir laut di kawasan Makassar–Takalar yang telah memberi dampak serius bagi ekosistem laut maupun kehidupan nelayan lokal.
Menurutnya, abrasi, pendangkalan, serta rusaknya wilayah tangkapan ikan hanyalah sebagian kecil dari dampak ekologis. Sementara dari sisi sosial, nelayan semakin kesulitan melaut karena harus memutar arah, menghindari zona pertambangan.
“Ini bukan cuma soal pasir, ini soal kehidupan orang banyak yang hilang pelan-pelan. Dan sayangnya, regulasi pemerintah masih terlalu longgar untuk menghentikan kerusakan ini,” tegasnya.
Dalam konteks agraria, ia mengangkat konflik di Luwu Raya yang melibatkan dua perusahaan besar: PT Vale di sektor pertambangan dan PTPN di sektor perkebunan.
Masyarakat lokal, terutama yang dianggap sebagai transmigran, seringkali disingkirkan dari lahan-lahan produktif dengan dalih formalitas hukum yang timpang.
Ia menilai, klaim “ramah lingkungan” dari perusahaan justru kontras dengan praktik eksploitasi yang merusak alam secara sistemik.
Dilanjutkan oleh Kakanda Asratillah S., Direktur Profetik Institute, yang membedah dinamika hubungan antara komunitas lokal, korporasi, dan negara dalam pengelolaan sumber daya.
Ia menekankan bahwa akar konflik seringkali bukan pada masyarakat, melainkan pada dilema negara sendiri.
“Negara dihadapkan pada dua pilihan: menyelamatkan alam atau mengejar pemasukan. Dan seringkali, pilihan jatuh pada yang kedua,” ujarnya.
Ia mengkritik tajam proses penyusunan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang kerap dijadikan formalitas semata. Padahal, seharusnya AMDAL melibatkan studi mendalam dan konsultasi publik yang jujur—termasuk dengan masyarakat adat dan kelompok rentan.
Namun, proses ini kerap dicederai oleh praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha akibat hutang politik yang mengaburkan integritas birokrasi.
Dialog ditutup dengan pemaparan Kakanda IMMawan Nasruddin, S.Ak, Ketua PC IMM Kota Makassar, yang menegaskan peran strategis kader IMM dalam isu-isu maritim dan agraria.
Ia menyampaikan bahwa gerakan IMM harus selalu merujuk pada trilogi IMM: Keislaman, Kemahasiswaan, dan Kemasyarakatan.
Menurutnya, meski IMM tidak terlibat langsung dalam pemerintahan, bukan berarti tidak bisa ikut serta dalam advokasi dan pendidikan publik.
“Kita ini penyambung lidah rakyat. Kalau kita diam, siapa lagi yang akan mengawal suara mereka ke pemerintah?” ujarnya.
Ia mengajak seluruh kader IMM untuk lebih responsif dan tidak takut bersuara dalam menyikapi berbagai persoalan rakyat, utamanya yang menyangkut keadilan ekologis dan pengelolaan sumber daya alam.
