*Oleh Andi Tazkirah Tawakal (Ketua Bidang Immawati PK IMM Ushuluddin)
OPINI, EDUNEWS.ID – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) selama ini dikenal sebagai gerakan kader yang membawa semangat pembebasan dan pencerahan dalam bingkai Islam Berkemajuan.
Sejak awal kelahirannya, IMM tak hanya mendorong kadernya menjadi insan intelektual, tetapi juga menanamkan akhlak sebagai pondasi gerakan. Namun dibalik semangat progresif yang dikibarkan, realitas yang dihadapi kader IMMawati tak semulus idealismenya.
Dalam banyak ruang gerak organisasi, IMMawati masih dihadapkan pada tantangan struktural dan kultural yang membuat eksistensinya tak utuh. Ia sering terjebak dalam dua identitas yang saling bertabrakan: sebagai kader ideologis yang dituntut militan, dan sebagai perempuan dalam masyarakat yang masih sarat nilai patriarkal.
Di satu sisi, ia diminta vokal, aktif, dan berdaya. Tapi disisi lain, ia diharapkan tetap tunduk pada norma sosial yang membatasi peran baik dalam forum, pengambilan keputusan, maupun distribusi kepemimpinan.
Fenomena ini tidak terjadi di ruang kosong. Budaya patriarkal yang mengakar kuat dalam masyarakat juga menjalar ke dalam organisasi. Dalam banyak musyawarah, suara IMMawati kerap dipinggirkan dengan dalih kurang pengalaman, kapasitas yang belum mencukupi, atau pertimbangan karakteristik yang ‘kurang cocok’.
Di permukaan, keterwakilan perempuan memang terlihat, namanya tercantum dalam struktur, hadir di acara-acara seremonial, bahkan memegang posisi tertentu. Namun ketika sampai pada ruang-ruang strategis dan pengambilan keputusan penting, posisinya menjadi simbolik belaka.
Padahal, banyak IMMawati yang tampil dengan kapasitas luar biasa. Mereka menulis, mengorganisir, menjadi inisiator gerakan, hingga memimpin forum-forum ilmiah. Tapi sayangnya, kompetensi ini kerap tak cukup untuk melampaui sekat-sekat kultural yang masih menilai kepemimpinan dari kacamata maskulin.
Simone de Beauvoir pernah berkata “Perempuan tidak dilahirkan, tetapi dibentuk.” Pernyataan ini relevan untuk melihat bagaimana IMMawati dibentuk oleh norma-norma yang tak selalu adil. Gelar sebagai “Immawati” sering kali dibebani ekspektasi tertentu: harus lembut, sabar, tidak ambisius, dan menghindari konflik. Ketika IMMawati bersikap tegas, ia dianggap terlalu keras. Ketika ia vokal, ia dianggap tak tahu tempat. Ambiguitas ini membuatnya sulit bergerak, bahkan untuk sekadar menjadi dirinya sendiri.
Sudah saatnya kita menggeser cara pandang ini. Ruang-ruang organisasi seharusnya menjadi tempat tumbuh yang adil bagi semua kader, terlepas dari identitas gender.
Memberi ruang setara kepada kader perempuan bukan berarti mengambil ruang milik orang lain, tapi memperkaya gerakan dengan ragam perspektif dan pendekatan. Keadilan bukan sekadar prinsip abstrak, ia harus hadir dalam praksis kaderisasi dan kepemimpinan.
IMM harus berani bercermin, apakah selama ini proses kaderisasi betul-betul membentuk insan yang bebas dan merdeka, atau justru mengukuhkan ketimpangan yang bersumber dari stereotip gender? Apakah keputusan-keputusan organisasi sudah berpihak pada nilai keadilan, atau masih melanggengkan dominasi yang membungkam sebagian suara?
Jika IMM serius mengusung nilai keislaman dan kemanusiaan, maka perjuangan keadilan gender tidak bisa dikesampingkan. Ini bukan sekadar isu perempuan, melainkan agenda ideologis yang menyangkut nilai dasar keorganisasian.
Ruang setara bagi perempuan adalah syarat mutlak untuk memastikan IMM tetap relevan dengan zamannya, bukan hanya dalam narasi, tapi dalam tindakan nyata.
IMM juga harus belajar dari sejarahnya sendiri. Siti Walidah Dahlan, tokoh perempuan Muhammadiyah, bukan hanya pelengkap dalam perjuangan K.H. Ahmad Dahlan. Ia adalah pelopor pendidikan perempuan dan pembaruan sosial. Spirit itulah yang seharusnya diwarisi dan diteruskan oleh IMMawati hari ini, bukan dalam posisi subordinat, tetapi sebagai pemimpin yang setara dalam menggerakkan perubahan.
Ambiguitas eksistensi yang dialami IMMawati tidak boleh lagi dianggap sebagai hal lumrah. Ini adalah tanda bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam cara kita mengelola organisasi dan memaknai kepemimpinan. IMM harus menjadi ruang yang aman, adil, dan memberdayakan bagi semua kader, tanpa kecuali.
Jika kita sungguh ingin membangun peradaban berkemajuan, maka kita harus mulai dari rumah kita sendiri. Membenahi cara kita memimpin, membentuk kader, dan mendengarkan satu sama lain, terutama suara-suara yang selama ini diredam oleh budaya yang tidak setara. Karena perjuangan keadilan bukan hanya soal gagasan besar, tapi tentang keberanian mengubah kebiasaan lama.
