*Oleh Yuliana
(Penggerak GUSDURian Makassar)
OPINI, EDUNEWS.ID – Peringatan Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret menjadi simbol sejarah perjuangan perempuan, baik sebagai ibu, saudara, istri, pekerja dan teman, sejak 1908 saat 15.000 perempuan melakukan aksi demonstran di New York, Amerika Serikat, terkait peningkatan upah dan pemangkasan jam kerja.
Hal ini menjadi perjalanan dalam merayakan prestasi Perempuan di masa lalu dan melihat potensi-potensi yang bisa dikembangkan untuk generasi selanjutnya.
Jika ditilik perjalanan sejarah, Peringatan Perempuan Internasional tentu menjadi suatu gerakan yang berkelanjutan dalam memperjuangkan hak-hak Perempuan, baik di ranah sosial, ekonomi maupun politik di seluruh dunia.
Tepat 8 Maret 2025, yang berarti sudah se-abad lebih peringatan hari perempuan sedunia dijadikan tonggak sejarah perjuangan Perempuan. Marak di media sosial yang mengkampanyekan mengenai hari peringatan Perempuan internasional, yang tentu menjadi refleksi untuk melihat konteks saat ini, apakah masih relevan memperjuangkan hak-hak Perempuan atau cukup mengingatnya sebagai tonggak gerakan Perempuan di masa lalu?
Dalam banyak peradaban, Perempuan tidak pernah menjadi manusia yang utuh, independen, dan otonom. Bisa dilihat dalam maraknya diskriminasi terhadap Perempuan, mulai dari pelecehan atau kekerasan dari berbagai aspek kehidupan yang secara tidak langsung telah tersistemik.
Hemat Simone de Beauvior “Perempuan tidak pernah lahir sebagai Perempuan, melainkan untuk menjadi Perempuan.” Pernyataan ini menjadi bentuk perlawanan terhadap akar penindasan Perempuan, yang menjadi bukti bahwa kehidupan Perempuan telah dikonstruksi oleh ekspektasi sosial yang telah mengakar, baik secara sosial budaya ataupun dalam konsep bernegara.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap Perempuan, seperti KDRT, Pemerkosaan, dan pelecehan yang menyerang secara psikis, hingga diskriminasi terhadap Perempuan adat. Hal ini menjadi potret bahwa minimnya ruang aman bagi Perempuan.
Secara hak dalam pendidikan dan karir sudah diberikan, tetapi tak ada jaminan untuk keamanan Perempuan itu sendiri, sehingga peluang berdaya bagi Perempuan lagi-lagi tertinggal selangkah.
Bahkan menjadi Perempuan adat sekalipun, yang hidup berdampingan dengan alam juga terpinggirkan dari sumber kehidupannya sendiri.
Selain itu, objektifikasi Perempuan tidak hanya terjadi di dunia nyata, melainkan di dunia maya, seperti pada iklan atau film yang menjadikan tubuh Perempuan sebagai objek erotis. Objektifikasi tersebut tidak hanya mempertontonkan tubuh Perempuan, tetapi menciptakan ekspektasi baru bagi Perempuan lainnya, dengan menciptakan konsep cantik baru, yang akhirnya juga melahirkan komersialisasi terhadap tubuh Perempuan untuk memenuhi ekspektasi maya tersebut.
Masih banyak problematik Perempuan yang harusnya menjadi perhatian utama, sehingga dengan mengingat Hari Perempuan Internasional saja tidak cukup, tetapi menjadikannya sebagai refleksi perjalanan ataupun gerakan Perempuan dari masa ke masa.
Sistem patriarki masih menjadi penyebab mendasar terjadinya diskriminasi terhadap Perempuan yang dianggap rentan. Menjadi Perempuan tidak semudah memilih menjadi Ibu Rumah Tangga atau Perempuan karir, melainkan apapun pekerjaan dan dimanapun ia berada, Perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, dengan terciptanya ruang inklusi dan ramah gender. Baik sebagai ibu, saudara, istri, pekerja dan teman.
