EDUNEWS.ID – Ide-ide John Maynard Keynes, yang lahir dari kekacauan Depresi Besar, telah lama menjadi pondasi utama kebijakan ekonomi modern. Ia berhasil meyakinkan dunia bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam menstabilkan ekonomi, terutama di saat krisis. Namun, seiring berjalannya waktu, seberapa relevan pemikiran Keynesian khususnya terkait pengangguran saat ini?.
Gagasan sentral Keynesianisme adalah bahwa pengangguran massal adalah akibat dari kurangnya permintaan agregat. Berbeda dengan ekonom klasik yang percaya bahwa pasar akan selalu kembali ke keseimbangan alami, Keynes (1936) dalam karyanya The General Theory of Employment, Interest and Money, berargumen bahwa upah dan harga tidaklah fleksibel. Upah yang kaku, misalnya, bisa mencegah penyesuaian pasar, membuat pengangguran bertahan lama. Solusi yang ditawarkan Keynes sederhana: jika sektor swasta tidak mau atau tidak mampu membelanjakan uang, maka pemerintah harus mengambil alih. Melalui kebijakan fiskal ekspansif—seperti membangun infrastruktur atau menaikkan belanja sosial—pemerintah bisa menyuntikkan dana ke dalam ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengembalikan siklus pertumbuhan.
Pendekatan ini terbukti berhasil. Intervensi pemerintah yang masif di Amerika Serikat melalui program New Deal dan rekonstruksi pasca-Perang Dunia II menjadi bukti nyata efektivitasnya. Teori Keynesian menjadi dominan selama beberapa dekade, seolah menjadi formula ajaib untuk menghindari resesi dan menciptakan lapangan kerja penuh (Mankiw, 2012).
Kekuatan dan Keterbatasan Teori Keynesian
Meskipun sukses di masa lalu, kritikus dari mazhab lain, seperti monetaris dan ekonom neoklasik, menuding bahwa solusi Keynesian bisa menimbulkan masalah baru. Stimulus fiskal yang besar sering kali dibiayai dengan utang, yang bisa membebani generasi mendatang dan memicu inflasi. Efek crowding-out juga menjadi perhatian serius: ketika pemerintah meminjam uang besar-besaran, suku bunga bisa naik, yang pada gilirannya bisa menekan investasi swasta. Alhasil, niat baik pemerintah untuk menstimulus ekonomi justru bisa “mencuri” ruang gerak sektor swasta (Begg, Fischer, & Dornbusch, 2011).
Selain itu, Keynesianisme cenderung mengabaikan berbagai jenis pengangguran. Teori ini sangat efektif dalam menjelaskan pengangguran siklikal (akibat resesi), tetapi gagal total dalam mengatasi pengangguran struktural, di mana pekerja menganggur karena keterampilan mereka tidak lagi relevan. Di era modern, di mana ekonomi digital dan otomatisasi berkembang pesat, tantangan pengangguran menjadi jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan Keynes (Piketty, 2014).
Mengintegrasikan Perspektif
Apakah ini berarti pemikiran Keynesian sudah usang? Tentu tidak. Konsep bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam menstabilkan ekonomi tetap valid. Namun, di era ini, kita tidak bisa lagi mengandalkan Keynesianisme sebagai satu-satunya solusi.
Pendekatan yang lebih komprehensif, yang menggabungkan pandangan Keynesian dengan pemikiran lain, menjadi krusial. Stimulus fiskal dapat digunakan untuk mengatasi resesi jangka pendek, tetapi harus dibarengi dengan investasi jangka panjang dalam kapabilitas manusia, seperti yang diusulkan oleh Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom. Peningkatan kualitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan jaring pengaman sosial tidak hanya meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga membuat angkatan kerja lebih adaptif terhadap perubahan. Untuk mengatasi pengangguran di abad ke-21, kita perlu melampaui logika Keynes dan mengintegrasikan berbagai perspektif untuk menciptakan strategi yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Referensi:
- Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. Macmillan.
- Mankiw, N. G. (2012). Macroeconomics. Worth Publishers.
- Begg, D., Fischer, S., & Dornbusch, R. (2011). Economics. McGraw-Hill.
- Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Belknap Press.
- Sen, A. (1999). Development as Freedom. Alfred A. Knopf.
