Oleh: Muh. Ali
EDUNEWS.ID-Kontroversi perayaan maulid sang revolusioner sejati Nabi Muhammad saw terjadi setiap tahunnya ditengah-tengah masyarakat khususnya di Negara Republik Indonesia. Kontroversi tersebut dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya, terutama perbedaan pendapat dalam memaknai arti Maulid, juga karena perbedaan prespektif (cara pandang) masyarakat khusunya Umat Islam, ada yang menganggap bahwa maulid adalah ritual ibadah ada juga yang memandang bawah maulid adalah wasilah (sarana) untuk lebih mendekatkan diri atau mencintai Nabi Muhammad saw.
Arti maulid itu sendiri dalam bahasa Arab adalah hari kelahiran, jika Nabi Muhammad saw. disandingkan dengan kata “maulid” maka menjadi satu kalimat “waktu kelahiran Nabi Muhammad saw”. Para ulama sepakat bahwa Nabi Muhammad Saw. dilahirkan pada hari Senin Rabiul Awwal, hal ini dibuktikan dalam Kitab Hadist Shohih Muslim No. [1162] tentang pertanyaan para sahabat mengenai kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Berpuasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab “Karena hari Senin adalah hari dimana saya dilahirkan”. Beliau mengevaluasi dirinya dengan berpuasa. Itulah sebab umat Islam disunnahkan untuk berpuasa pada hari senin. Bukan sekedar untuk menahan diri dari lapar dan haus akan tetapi memaknai puasa dengan arti sesungguhnya yakni, untuk meningkatkan kualitas ibadah (ketaqwaan).
Adapun asal usul dari perayaan hari kelahiran Nabi, itu mulai dipopulerkan pada tahun 546-640 Oleh salah satu panglima perang terhebat umat Islam sepeninggalan Nabi Muhammad dan para sahabat yaitu Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi.
Pada masa itu Muhammad Shalallahu Al Ayyubi melihat umat Islam jauh dari ketaatan, semangat beribadah mereka melemah, banyak yang sudah mulai melupakan perjuangan Nabi Muhammad Saw. Sehingga pada saat itu Muhamad Shalahuddin Al Ayyubi menyeruh seluruh masyarakat yang ada disekitar wilayahnya untuk kembali mengingat masa-masa perjuangan Nabi Muhammad Saw. Dengan cara menceritakan tentang sosok Nabi Muhammad dan perjuangannya dalam menyebarkan rahamatan lil’alamin.
Namun beberapa fenomena yang terjadi sekarang di tengah-tengah umat Islam dalam mengenang sosok Nabi Muhammad sungguh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Sehingga dari perbedaan tersebut beberapa pemuka agama Islam belum bersepakat akan kebolehan merayakan peringatan maulid Nabi.
Menurut Ustadz. Firanda Ardirja “Kita terlebih dahulu harus mengetahui apa sebenarnya itu acara maulid nabi, apakah itu sarana atau ritual ibadah.? Kita katakan itu adalah ritual, ketika itu ritual maka perayaan maulid nabi bisa dikatakan perbuatan bid’ah. Jika ingin mengikat nabi telah dijelaskan oleh beliau sendiri, seperti dengan mempelajari hadits-haditsnya ataupun membaca sirah perjalanan Nabi Muhammad Saw.
Menurutnya ada beberapa cara untuk mengingat kembali perjuangannya selain memperingati maulid Nabi Muhammad Saw. Dengan acara mempelajari atau mengerjakan buku-buku hadits, membaca atau menceritakan Sirah Nabawiyah, atau berpuasa pada hari-hari yang disunnahkan seperti hari Senin.
Menurut sebagian umat Islam, memperingati maulid Nabi itu suatu pembuktian rasa cinta kepada Nabi Muhammad, atas segala pengorbanannya terhadap umat Islam. Tapi ketika mengingat para Sahabat dan Tabi’in terdahulu mereka lebih cinta kepada Nabi Muhammad Saw, tapi mereka tidak pernah sekalipun merayakan hari Maulid Nabi Muhammad Saw, ketika dipikir secara baik-baik, pastilah mereka yang terlebih dahulu melakukan perayaan hari maulid Nabi Muhammad Saw.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu bukan Ibadah ritual tapi Ibdā’ atau kreativitas dalam mendakwahkan Nabi. Muhammad Elvandi dalam akun YouTubenya dia sampaikan bahwa “Maulid Nabi Muhammad itu bukanlah ritual ibadah akan tetapi kreativitas dalam mendakwahkan Nabi Muhammad”. Dalam berdakwah, seseorang harus lebih berkembang dan kreatif, dulu Nabi berdakwah di mimbar ataupun melalui surat, sekarang bisa menggunakan media sosial atau Universitas. Maulid Nabi Muhammad itu bukan ritual ibadah sehingga tidak bisa dikatakan Bid’ah. Seperti melakukan majelis-majelis ilmu, setidaknya sekali setahun, untuk mengingatkan umat siapa role model (panduannya).
Sampai disini umat dihadapkan dengan dua pendapat yang masing-masing memiliki alasan yang dianggap benar, karena keduanya memiliki landasan teori. Sebagai penulis saya ingin mengajak pembaca untuk saling menghargai setiap perbedaan yang ada, agar keharmonisan dalam bergama tetap dijunjung tinggi. Yang mengatakan bahwa Maulid Nabi itu adalah bid’ah, maka jangan memvonis seseorang yang mengadakan Maulid Nabi Muhammad itu adalah ahlu bid’ah, setidaknya ketika tidak melakukan hal tersebut maka sebisa mungkin untuk menghindari celaan kepada yang melakukan hal tersebut. Dan yang mengatakan bahwa Maulid Nabi Muhammad Saw itu dibolehkan maka jangan memvonis seseorang yang tidak mengadakan Maulid Nabi itu adalah Ahlu Wahabi.
Perdebatan mengenai masalah tersebut akan selalu ada setiap tahunnya, tugas kita sebagai Thullab Ilmi (Pelajar) adalah menyibukkan diri dengan hal-hal yang lebih positif, produktif, serta selalu meningkatkan skill dalam berbagai bidang keilmuan, bukan malah sibuk dengan perdebatan yang tidak berujung.
