Artikel

Menengok Kembali Keynesianisme : Dari Krisis ke Krisis, Masih Relevankah?

Keynesian

EDUNEWS.ID – Dalam dunia ekonomi modern, nama John Maynard Keynes sering disebut-sebut sebagai penyelamat di kala krisis. Pemikirannya, yang lahir dari kegelapan Depresi Besar, menawarkan solusi terbaik dengan menempatkan peran pemerintah sebagai aktor utama dalam menstabilkan perekonomian. Namun, seiring berjalannya waktu, seberapa relevankah pemikiran Keynesian, terutama dalam konteks pengangguran saat ini yang sagat kompleks?  tulisan ini akan menyoroti relevansi, kekuatan, dan sekaligus kelemahan mendasar dari teori Keynesian.

Gagasan utama Keynesianisme berpendapat  bahwa pengangguran massal adalah akibat dari kurangnya permintaan agregat. Ketika konsumen dan investor enggan membelanjakan uang mereka, ekonomi mengalami kelesuan, pabrik-pabrik menghentikan produksi, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Solusi yang ditawarkan Keynes sederhana namun sangat ‘radikal’, jika sektor swasta tidak mau atau tidak mampu membelanjakan uang, maka pemerintah harus mengambil alih.

Pemerintah, mesti mengambil langkah melalui kebijakan fiskal ekspansif seperti membangun infrastruktur, menaikkan belanja sosial, atau memotong pajak yang harapannya  pemerintah bisa menyuntikkan dana ke dalam ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengembalikan siklus pertumbuhan.

Pendekatan ini terbukti berhasil pada masanya. Intervensi pemerintah yang masif di Amerika Serikat melalui program New Deal dan upaya rekonstruksi pasca-Perang Dunia II di Eropa menjadi bukti nyata keberhasilan teori ini .

Kelemahan Teori Keynesian

Salah satu fokus utama  dari teori Keynesian adalah terletak  pada realitas praktis. Berbeda dengan ekonom klasik yang berteori bahwa pasar akan selalu kembali ke keseimbangan alaminya, Keynes mengakui bahwa dalam dunia nyata, upah dan harga tidaklah fleksibel. Upah yang kaku (karena serikat pekerja atau kontrak kerja) bisa mencegah penyesuaian pasar, membuat pengangguran bertahan lama. Ini adalah kebenaran yang tidak bisa diabaikan.

Namun, di sinilah letak kritiknya. Para ekonom dari mazhab lain, seperti monetaris dan ekonom neoklasik, menuding bahwa solusi Keynesian bisa menimbulkan masalah baru. Stimulus fiskal yang besar sering kali dibiayai dengan utang, yang bisa membebani generasi mendatang dan memicu inflasi. Efek crowding-out juga menjadi perhatian serius. Ketika pemerintah meminjam uang besar-besaran, suku bunga bisa naik, yang pada gilirannya bisa menekan investasi swasta. Alhasil, niat baik pemerintah untuk menstimulus ekonomi justru bisa ‘mematikan’ ruang gerak sektor swasta.

Selain itu, Keynesianisme cenderung mengabaikan berbagai jenis pengangguran. Teori ini sangat efektif dalam menjelaskan pengangguran siklus  (akibat resesi), tetapi gagal  dalam mengatasi pengangguran struktural. Ketika sebuah industri bangkrut karena disrupsi teknologi misalnya, pekerja pabrik beralih menjadi pekerja lepas, sehingga, meningkatkan belanja pemerintah tidak akan membuat pabrik itu bangkit kembali. Solusi untuk pengangguran struktural membutuhkan investasi pada pendidikan dan pelatihan ulang, bukan sekadar stimulus fiskal.

Pengangguran di Era Digital

Di era modern, ekonomi digital dan otomatisasi berkembang pesat, tantangan pengangguran menjadi jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan Keynes. Pengangguran struktural kini menjadi ancaman nyata. Seiring robot dan kecerdasan buatan mengambil alih pekerjaan manual dan bahkan kognitif, pekerja harus terus-menerus beradaptasi atau menghadapi risiko pengangguran jangka panjang. Dalam konteks ini, kebijakan Keynesian yang hanya berfokus pada sisi permintaan menjadi kurang relevan.

Selain itu, globalisasi dan rantai pasok global membuat ekonomi suatu negara tidak lagi sepenuhnya mandiri. Stimulus fiskal yang dilakukan oleh satu negara mungkin tidak efektif jika permintaan barang dan jasa lari ke negara lain. Ini menunjukkan bahwa solusi makroekonomi tidak bisa lagi hanya dilihat dari sudut pandang domestik.

Kolaborasi Pemikiran

Apakah ini berarti pemikiran Keynesian sudah usang? Menurut penulis tidak, ia hanya butuh penguatan konsep pemikiran ekonomi lainnya. Konsep bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam menstabilkan ekonomi tetap valid, terutama di masa krisis finansial yang parah. Namun, di era saat ini, kita tidak bisa lagi mengandalkan Keynesianisme sebagai satu-satunya solusi.

Pendekatan yang lebih komprehensif, yang menggabungkan pandangan Keynesian dengan pemikiran lain, menjadi sangat penting. Stimulus fiskal bisa digunakan untuk mengatasi resesi jangka pendek, tetapi harus dibarengi dengan investasi jangka panjang dalam kapabilitas manusia, seperti yang diusulkan oleh Amartya Sen. Peningkatan kualitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan jaring pengaman sosial bukan hanya meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga membuat angkatan kerja lebih adaptif terhadap perubahan.

Pada akhirnya, Keynesianisme adalah alat yang kuat, tetapi seperti semua alat, ia memiliki keterbatasan. Di tangan yang tepat, ia bisa menjadi penyelamat, tetapi di tangan yang salah, ia bisa menciptakan masalah baru. Diperlukan kemampuan dan kesadaran untuk mengetahui kapan harus menggunakan alat itu dan kapan harus menyimpannya. Untuk mengatasi pengangguran di abad ke-21, kita perlu melampaui logika Keynes dan mengintegrasikan berbagai perspektif untuk menciptakan strategi yang lebih holistik dan berkelanjutan.

Najamuddin Arfah, Alumni S2 Ekonomi Pembangunan Unhas 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top