Opini

2 Kabar buruk untuk Tana Luwu di 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Ibriansyah Irawan, S.Pd., M.M

OPINI, EDUNEWS.ID- Bagi banyak daerah di Indonesia, peringatan 80 tahun kemerdekaan adalah ajang menengok ke belakang untuk mensyukuri kemajuan sekaligus menyusun langkah baru. Namun, bagi Tana Luwu, Agustus tahun ini membawa rasa murung yang sulit diabaikan.

Bukan karena kurang bersyukur, tapi karena berita kebijakan yang muncul di tengah perayaan ini seolah menegaskan satu hal. Tana Luwu memberi banyak, tapi wilayah ini kerap diperlakukan tidak adil dan seakan tak punya posisi strategis dalam pengambilan keputusan.

Dua kabar yang datang hampir bersamaan menjadi bukti nyata. Pertama, hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Vale Indonesia Tbk yang kembali tidak menempatkan satu pun putra atau putri Tana Luwu di jajaran Direksi maupun Komisaris.

Kedua, pengumuman Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bahwa dalam anggaran proyek jalan provinsi tahun 2025 senilai Rp2,45 triliun, tidak ada satu pun paket yang dialokasikan untuk Tana Luwu (Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur)

Kabar Pertama: PT Vale dan Kursi Strategis yang Tak Pernah Diberikan

Sejak akhir 1960-an, ketika PT Inco (kini PT Vale) mulai beroperasi di Sorowako, Luwu Timur, Tana Luwu telah menjadi salah satu pusat industri tambang nikel Indonesia. Sumber daya alam yang diambil dari tanah ini mengalir ke pasar internasional, memberi pemasukan signifikan bagi negara dan keuntungan besar bagi perusahaan.

Selama lebih dari lima dekade, aktivitas ini telah membentuk lanskap sosial dan juga ekonomi setempat, dari pembangunan fasilitas, terbukanya lapangan kerja, hingga masuknya teknologi industri. Sebuah fakta umum yang menjadi kewajiban perusahaan untuk wilayah ramah investasi seperti Luwu Timur.

Namun di balik itu, ada satu fakta yang sulit dibantah, selama 50 tahun lebih, tidak pernah ada satu pun putra atau putri Tana Luwu yang diberi kesempatan menduduki kursi Direksi atau Komisaris di PT Vale. Hasil RUPSLB pada 28 Juli 2025 hanya mengulang pola lama. Nama-nama baru yang masuk adalah profesional dari luar daerah.

Dari sudut pandang korporasi, ini mungkin dianggap sebagai prinsip mencari yang “terbaik”. Tapi dari sudut pandang lain yang patut dipertimbangkan, ini terasa seperti pesan tersirat: kekayaannya boleh diambil hasilnya, tetapi anak-anaknya belum cukup dipercaya memegang kemudi.

Pertanyaan yang muncul pun sederhana, apakah benar tidak ada orang Tana Luwu yang kompeten? Jika memang kompetensi menjadi alasan, mestinya perusahaan yang selama puluhan tahun memanfaatkan kekayaan daerah ini memiliki kewajiban moral dan sosial untuk membangun kompetensi tersebut.

Misalnya memoersiapkan “anak anak daerah” ke program pelatihan internasional, memberi kesempatan magang di level manajemen, atau menyiapkan jalur kaderisasi khusus, itu semua bisa dilakukan jika perusahaan punya kemauan.

Penempatan “anak daerah” harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kualitas SDM lokal. Perusahaan tidak hanya memenuhi tuntutan representasi (perwakilan lokal), tetapi juga membangun kapasitas kepemimpinan yang mumpuni. Ini adalah strategi yang baik jika didalami secara normatif, perusahaan mendapat pemimpin yang memahami daerah operasi, pemahaman budaya, kearifan lokal, dan kemampuan merespon isu sosial secara tepat.

Semua ini dapat memperkuat legitimasi perusahaan di mata masyarakat sekaligus mengurangi potensi gesekan sosial. Ini juga dapat meyakinkan masyarakat melihat bukti nyata bahwa kekayaan alam yang diambil berbanding lurus dengan peluang yang diberikan.

Kabar Kedua: Tana Luwu Tidak Kebagian Anggaran Pembangunan Jalan

Setelah kabar dari Sorowako Luwu Timur, kabar buruk ke dua datang saat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merilis daftar proyek jalan provinsi tahun anggaran 2025 dengan total nilai Rp2,45 triliun.

Angka ini besar, cukup untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur strategis di berbagai wilayah. Namun, dari daftar yang ada, Tana Luwu yang meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, dan Kota Palopo, tidak mendapatkan satu pun alokasi.

Ini bukan sekadar angka dalam dokumen APBD. Tapi Ini soal akses, mobilitas, dan masa depan ekonomi daerah. Banyak ruas jalan di Tana Luwu sudah lama berada dalam kondisi memprihatinkan. Jalur Walenrang yang berlubang, beberapa jalan menuju daerah terpencil di Luwu Utara hingga Luwu Timur yang rusak dan butuh segera diperbaiki melalui sumber anggaran APBD Provinsi.

Semua ini menghambat distribusi hasil pertanian, memperlambat arus multilogistik, dan menambah biaya transportasi yang pada akhirnya dibebankan kepada masyarakat.

Yang membuat kebijakan ini semakin sulit dipahami adalah fakta kontribusi ekonomi daerah. Berdasarkan data realisasi investasi 2023, Luwu Timur berada di posisi kedua terbesar setelah Makassar dengan nilai Rp2,9 triliun, sedangkan Kabupaten Luwu berada di posisi ketiga dengan Rp1,2 triliun.

Artinya, dua dari tiga penyumbang investasi terbesar di Sulawesi Selatan justru berasal dari Tana Luwu. Secara logika, wilayah dengan kontribusi sebesar ini layak menjadi prioritas pembangunan, terutama di sektor infrastruktur yang menjadi penopang aktivitas ekonomi.

Namun kenyataannya, justru daerah dengan kontribusi investasi jauh lebih kecil yang mendapatkan porsi pembangunan lebih besar. Ini menimbulkan pertanyaan: apa sebenarnya yang menjadi ukuran prioritas pembangunan di provinsi ini? Apakah kontribusi ekonomi tidak lagi menjadi salah satu indikator penting, ataukah ada faktor lain yang lebih menentukan?

Pola ini bukan terjadi sekali. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Tana Luwu sudah berkali-kali menghadapi kenyataan serupa: ketika ada pembagian manfaat pembangunan, nama daerah ini sering tertinggal, tetapi ketika provinsi membutuhkan penerimaan dan investasi, Tana Luwu selalu berada di daftar teratas penyumbang.

Ada kesan “Tidak direkeng

Situasi ini menggarisbawahi lemahnya posisi tawar Tana Luwu dalam perencanaan pembangunan provinsi. Kontribusi besar yang tidak diimbangi dengan kebijakan yang adil menunjukkan adanya ketidakseimbangan struktural. Jika kondisi ini dibiarkan, potensi Tana Luwu akan terus dimanfaatkan tanpa jaminan bahwa hasilnya kembali untuk kemajuan daerah.

Kebijakan yang adil bukan hanya soal membagi anggaran, tetapi memastikan setiap daerah mendapat manfaat proporsional dan mempertimbangakn kontribusinya. Untuk Tana Luwu, ini berarti infrastruktur memadai, akses yang lancar, dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Tanpa itu, perayaan kemerdekaan hanya menjadi seremoni, sementara substansinya keadilan bagi seluruh daerah tetap jauh dari kenyataan

Jika dua peristiwa ini dipandang bersama, terlihat pola yang konsisten. Tana Luwu dianggap cukup penting untuk menjadi pemasok sumber daya dan penyumbang investasi besar, tetapi tidak cukup dianggap penting untuk ikut menentukan kebijakan di perusahaan yang beroperasi di wilayahnya, atau untuk menjadi prioritas pembangunan infrastruktur provinsi. Relasi semacam ini ibarat pabrik yang bahan bakarnya diambil dari satu sumber, tapi tenaganya digunakan untuk menggerakkan mesin di tempat lain.

Ketiadaan perwakilan di jajaran PT Vale dan nihilnya proyek jalan bukan sekadar dua insiden terpisah. Keduanya adalah gejala dari satu masalah besar; lemahnya posisi tawar Tana Luwu dalam relasi dengan pihak eksternal baik itu korporasi besar maupun pemerintah provinsi.

Dengan kekayaan ini, Tana Luwu seharusnya memiliki peran yang setara dalam menentukan arah pembangunan dan kebijakan. Tetapi sejarah panjang itu tidak akan berarti jika tidak diikuti kesadaran kolektif untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak daerah.

“Saatnya Memperkuat Posisi Tawar”

Keadilan pembangunan dan keterwakilan bukanlah hadiah yang datang sendiri. Hal ini mesti lahir dari upaya konsisten, konsolidasi kekuatan, dan kemampuan membangun komunikasi elit. Masyarakat Tana Luwu perlu bersatu, tidak hanya pada saat kecewa, tetapi juga dalam merancang strategi jangka panjang untuk memastikan kepentingannya tidak diabaikan.

Di tingkat korporasi, perlu ada tekanan atau tuntutan keterlibatan putra daerah dalam manajemen strategis, program pengembangan SDM lokal, dan investasi sosial yang nyata dari pemerintah setempat (Bupati/Walikota) yang dilakukan secara kolektif.

Di tingkat pemerintahan, DPRD Dapil XI perlu memperkuat lobi politik, memanfaatkan data kontribusi ekonomi sebagai argumen, dan memastikan alokasi anggaran yang proporsional dengan sumbangsih daerah.

Peringatan 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momen di mana semua daerah merasakan arti kemerdekaan secara setara. Namun bagi Tana Luwu, tahun ini adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Dua kabar buruk tidak adanya putra-putri di pucuk pimpinan PT Vale dan nihilnya anggaran jalan adalah tanda bahwa kemerdekaan politik dan ekonomi masih belum merata.

Jika kondisi ini dibiarkan, generasi berikutnya akan mewarisi ketimpangan yang sama. Tetapi jika dijadikan pemicu persatuan dan strategi, Tana Luwu bisa memulihkan posisinya, bukan hanya sebagai penyumbang sumber daya, tetapi juga sebagai pengendali arah masa depannya sendiri.

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 80 Tahun. Hiduplah Bangsa Luwu “Wanua mappatuo na ewai alena

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top