“Semua tirani berkuasa melalui penipuan dan kekuatan, tetapi begitu penipuan terungkap mereka harus bergantung secara eksklusif pada kekuatan,” George Orwell.
*Oleh Muhamad Iqbal
OPINI, EDUNEWS.ID – Menjelang akhir kepemimpinan Jokowi, rasanya kita perlu refleksi sejenak untuk kembali memutar ingatan kita mengenai perjalanan bangsa selama berada dalam kepemimpinannya. Walaupun sejatinya kita tidak pernah lupa mengingatkan dengan selalu merayakan refleksi kepemimpinannya setiap tahun.
Namun pada kenyataannya, periode kedua kepemimpinannya Jokowi semakin menunjukan watak fasisnya dalam memimpin bangsa ini. Tanda-tanda tersebut sudah bisa kita prediksi semenjak dia menarik partai-partai oposisi untuk masuk dalam kabinetnya. Fakta tersebut jelas mengagetkan publik, bahkan banyak pengamat yang menilai apa yang dilakukan Jokowi akan mengancam jalannya demokrasi.
Skema politik akomodatif ala Jokowi jelas membuat publik bertanya-tanya, mengapa Jokowi rela berbagi roti dengan partai-partai yang selama ini menjadi lawannya, termasuk dengan Prabowo yang menjadi rival politiknya di Pilpres 2014 dan 2019.
Jika hanya mengandalkan alasan “stabilitas politik”, kok rasanya terlalu cemen untuk sekelas Jokowi yang didukung oleh partai-partai besar di 2019. Namun dibalik semua itu, setelah berbagai penipuan terungkap, hari ini kita bisa menyaksikan bersama betapa buruknya kekuasaan ketika legitimasi negara hanya diisi oleh pendukung bayarannya.
Matinya Oposisi
Demokrasi gotong royong ala Jokowi sangat jelas mematikan jalannya demokrasi. Dampaknya sangat nyata, pola relasi antara legislatif dan eksekutif menjadi kontra produktif. DPR tidak berfungsi, berbagai kebijakan diketok tanpa adanya interupsi, padahal secara formil dan substansi terdapat banyak kecacatan konstitusional (Maulana et al., 2020).
Kondisi tersebut bahkan menyeret hingga kekuasaan yudikatif, Mahkamah Konstitusi turut menjadi korban konflik kepentingannya Jokowi.
Setidaknya ada dua peristiwa besar yang harus kita ingat, pertama keputusan MK yang menolak permohonan gugatan uji formil UU Omnibus Law yang sudah nyata diputuskan sebagai UU inkonstitusional bersyarat.
Kedua, baru saja kita dihebohkan oleh skenario pelolosan Gibran menjadi wakil presiden melalui gugatan batas minimal usia capres dan cawapres. Hal tersebut jelas menunjukan super powernya Jokowi akan kekuasaan tiraninya.
Sebenarnya bukan tanpa oposisi, masih ada partai diluar kekuasaan seperti PKS dan Demokrat, namun kekuatannya tak berimbang. Terlebih hilangnya simbol oposisi yang dipegang oleh Prabowo yang menjadi rivalnya pada saat Pilpres.
Padahal hadirnya oposisi adalah bagian dari estetika bernegara, hakikat dari sebuah demokrasi dalam tujuan bernegara adalah menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Hal tersebut harus kita terjemahkan secara substansial sesuai nilai yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri, yaitu penegakan kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan partisipasi publik.
Kedaulatan rakyat dalam pandangan demokrasi tidak terlepas dari sejarah panjang perjalanannya yang memperlihatkan bahwa dalam perjalanan kekuasaan selalu terjadi berbagai penyimpangan, seperti demokrasi gotong royong ala Jokowi hari ini.
Letak keindahan dalam demokrasi ada dalam dialektikanya, oposisi sebagai kekuatan diluar pemerintahan harus berperan aktif dalam mengawal kekuasaan agar selalu ada dalam jalur kepentingan rakyat.
Dengan hadirnya oposisi, eksistensi demokrasi semakin terasa, kekuatan kekuasaan yang hanya mewakili satu pandangan ada yang mampu mengimbangi dalam mengkritisi berbagai kebijakan, sehingga demokrasi menjadi arena pertarungan adu gagasan yang sejati.
Kita membayangkan keindahan dalam proses bernegara, dimana tradisi oposisi dalam demokrasi Indonesia mampu diperankan dengan baik seperti yang dicontohkan oleh Sarekat Islam (SI).
Melalui budaya politik kritisnya, SI sebagai organisasi politik mampu mewakili kepentingan orang-orang kecil. Manuver politiknya mampu mengejutkan para penguasa kolonial dengan mempelopori gerakan pemogokan petani di Surakarta.
Dalam waktu singkat SI sukses mendapatkan perhatian publik hingga mengalami lonjakan jumlah anggota sampai 80.000 orang, dan membuat penguasa khawatir akan adanya pemberontakan (Dr. Kuntowijoyo, 2018).
Itulah yang kita harapkan dari adanya tradisi oposisi, ruang dialektika menjadi hidup, para aktor politik saling berlomba mencari simpati rakyat melalui pertarungan pikiran kebangsaan, bukan sekadar rebutan kekuasaan semata seperti yang telah disampaikan oleh prof kunto, bahwa demokrasi bukan hanya sebuah mekanisme politik, tetapi juga sebuah sistem yang didalamnya terkandung nilai-nilai.
Jokowi telah merenggut estetika dalam bernegara, ruang dialektika hilang dalam kultur politik Indonesia. Pertarungan politik yang dipertontonkan hari ini sungguh tidak mengedukasi publik, rakyat hanya disuguhkan dengan berbagai intrik dan gimmick politik yang membodohkan.
Rakyat tak pernah menjadi bahan perhatian, karena untuk mendapatkan legitimasi baginya cukup dengan mengobral negara untuk memberi makan para pendukungnya.
Dengan begitu kekuasaan akan tetap aman berada dalam genggamannya, walaupun moralitasnya hancur sekalipun. Mungkin yang terbenam dalam benaknya, setidaknya dia terbebas dari catatan sejarah pemakzulan bangsa ini.
Daftar Pustaka Dr. Kuntowijoyo. (2018). Demokrasi dan Budaya Birokrasi (Mustofa W. Hasyim, Ed.). IRCiSoD. Maulana, A., Simamora, N. N., Tiara, A. E., Komara, A., Sirait, Y. S. S., Anwar, K., & Dkk. (2020). Demokrasi di Tengah Oligarki & Pandemi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2020/12/catahu-2020.pdf
Muhamad Iqbal, Kabid PAO HMI Cabang Yogyakarta
