*Oleh Ahmad Sahide
OPINI, EDUNEWS.ID – Dunia internasional menyaksikan konflik Israel-Palestina kembali membara. Semua berawal dari serangan yang dilancarkan oleh gerilyawan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Hamas di Palestina menyerang Israel dengan sedikitnya 5.000 roket hanya dalam waktu 20 menit. Hamas kemudian berhasil menguasai Jalur Gaza dan juga berhasil mengirimkan gerilyawannya menyusup ke sejumlah kota di Israel, baik melalui darat, laut, maupun udara.
Penyusupan dilakukan di beberapa lokasi berbeda. Pasukan Hamas diketahui menyusup ke Kota Sderot di dekat Gaza (Hardianto dan Santosa, 2023). Hamas juga berhasil menyandera warga Israel dalam serangan yang tidak terduga oleh Israel ini.
Sama seperti tragedi-tragedi sebelumnya, Israel kemudian membalas serangan ini dan mengatakan ini adalah bentuk perlawanan atau pertahanan diri. Oleh karena itu, Amerika Serikat dan sekutunya menanggapi konflik yang kembali membara ini dengan mengatakan bahwa Israel mempunyai hak untuk membalas serangan tersebut (Muhammad, 2023).
Menlu Jerman, Annalena Baerbock, menuding Hamas berkontribusi pada meningkatnya kekerasan dan membela Israel yang dikatakannya memiliki hak yang dijamin hukum internasional untuk mempertahankan diri dari terorisme (Aulia, 2023).
Jika kita membaca bara konflik ini hanya pada 7 Oktober sampai saat ini yang berawal dari serangan Hamas kepada Israel ada benarnya juga tanggapan negara-negara Barat yang cenderung menyalahkan Hamas.
Namun demikian, ini adalah konflik yang berkepanjangan yang dimulai sejak berdirinya Israel di tanah Palestina pada 1948. Dan berkaca pada pengalaman-pengalaman eskalasi konflik sebelumnya yang selalu diawali dengan provokasi yang dilakukan pihak Israel.
Misalnya insiden kebrutalan yang dilakukan oleh apparat Israel terhadap warga Palestina pada Mei 2021 lalu. Semua berawal ketika orang Yahudi melakukan provokasi di area masjid Al-Aqsa saat memperingati hari Al-Quds (Kompas, 11/05/2021).
Terkait dengan serangan yang dilancarkan oleh gerilyawan Hamas pada 7 Oktober 2023 ini juga tidak terlepas dari provokasi yang dilakukan oleh Israel.
Sebagaimana yang dikatakan oleh gerilyawan Hamas bahwa serangan tersebut dilakukan sebagai reaksi terhadap acara warga Yahudi di pelataran Masjid Al Aqsa, dan meningkatnya kekerasan yang dilakukan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di wilayah Palestina yang diduduki Israel (Hardiyanto dan Santosa, 2023).
Maka dari itu, konflik yang kembali membara ini dimana Hamas sebagai pemicunya tidak seharusnya menutup mata dan nurani pemimpin dunia internasional bahwa Israel telah melakukan pendudukan, penjajahan, dan pelanggaran hak asasi manusia di tanah Palestina sejak 1948.
Israel juga merespons serangan dari gerilyawan Hamas ini dengan melakukan serangan balik yang merenggut lebih dari 1500 nyawa warga Palestina dan melukai lebih dari 6.500 orang.
Selain itu, Israel juga memutus pasokan listrik dan memblokir masuknya makanan dan bahan bakar ke Jalur Gaza sebagai bagian dari strategi “pengepungan total.”
Serangan balik yang dilakukan oleh Israel ini jelas merupakan pelanggaran hukum internasional terkait dengan perang dan juga sudah pasti adalah pelanggaran HAM (Elkahlout, 2023).
Bahkan kolumnis dari Al jazeera, Andrew Mitrovica, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina di Gaza adalah genosida (Mitrovica, 2023).
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Stephanie Fox, Direktur Eksekutif Jewish Voice for Peace, dengan mengatakan bahwa Israel sedang melakukan pembersihan etnis. “Hilangnya nyawa orang Israel digunakan oleh pemerintah kita untuk membenarkan tindakan genosida, berlindung atas nama moralitas untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral, yang menginginkan lebih banyak senjata dan lebih banyak kematian” (Muhammad, 2023).
Serangan Israel yang melakukan pelangaran HAM dalam merespons serangan Hamas ini tidak digubris oleh Amerika dan sekutunya. Tidak ada pernyataan politik yang mendiskreditkan Israel.
Dari sinilah terlihat bahwa negara-negara Barat tidak adil dalam menyikapi konflik yang berkepanjangan antara Israel-Palestina, baik itu dalam menyikapi konflik yang bermula dari serangan gerilyawan Gaza pada 7 Oktober 2023 maupun dalam membaca konflik ini secara menyeluruh, aspek historis dan aktual nya.
Selagi Amerika Serikat, sebagai negara superpower, selalu memandang konflik ini dengan tidak adil, berpihak pada Israel, maka Israel akan terus mengulang tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut terhadap warga Palestina.
Dalih pembenaran dari Israel adalah demi membela diri atau demi pertahanan karena mendapat serangan dari gerilyawan Hamas maupun kelompok lainnya. Meski sebenarnya serangan yang dilancarkan oleh Hamas dan warga Palestina yang lainnya selalu diawali dengan provokasi dari pihak Israel. Yang kemudian diikuti dengan serangan balasan yang lebih brutal dan tidak berkemanusiaan.
Namun apa daya, dunia Islam, termasuk Organisasi Konferensi Islam (OKI), tidak bisa berbuat banyak dalam mengcounter narasi yang dibangun oleh Israel dan Barat. Apalagi memberikan tekanan politik, bukan?
Oleh karena itu, sepanjang negara-negara dunia Islam tergantung pada Amerika Serikat maka impian warga Palestina untuk merdeka dan mendapatkan hak-haknya sama dengan warga negara yang lainnya untuk hidup dalam kedamaian masih jauh dari kenyataan.
Maka dari itu, yang perlu dipikirkan dari pemimpin negara-negara dunia Islam kedepannya adalah bagaimana mengurangi tingkat ketergantungan pada Amerika Serikat.
Namun yang kita saksikan adalah negara-negara Arab justru beramai-ramai menormalisasi hubungannya dengan Israel sebelum serangan 7 Oktober 2023 ini oleh gerilyawan Hamas. Dan normalisasi hubungan ini tidak terlepas dari pengaruh Amerika Serikat yang mendikte negara-negara Arab tersebut.
Ahmad Sahide, Kaprodi HI Program Magister UMY dan Pegiat KBM Yogyakarta
