*Oleh Erwin
OPINI, EDUNEWS.ID – Generasi Z atau umumnya dikenal yaitu Gen Z merupakan generasi yang lahir kisaran tahun 1997-2012. Dalam artian Gen Z lahir dan berkembang pada masa yang serba dan kemajuan teknologi. Juga dikenal lahir pasca generasi millenial.
Maka jangan salah kalau masyarakat mengenal Gen Z sebagai generasi serba instan. Namun dibalik itu, Gen Z memiliki karakteristiknya sendiri.
Pertama adalah jiwa yang kreatif. Hal ini disebabkan keinginan Gen Z dalam memenuhi kebutuhannya secara cepat sekaligus mudah.
Dalam memandang sebuah masalah, Gen Z akan menaruh perhatian pada solusi atas permasalahan tersebut.
Gen Z memang anti ribet. Jika bisa lewat jalan yang lurus dan mulus. mengapa harus lewat jalan berkelok dan berbatu.
Meski begitu, perlu menggarisbawahi bahwa setiap Gen Z memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tergantung bagaimana mereka menyikapinya.
Kedua, Gen Z memiliki ambisi besar untuk meraih tujuannya.
Ambisi tersebut didorong oleh semakin banyaknya role model yang mereka idolakan. Yang perlu jadi catatan bagi Gen Z bahwa untuk mencapai sebuah titik kesuksesan, tentu ada jalan yang mesti ditempuh. Jalan yang tidak selalu lurus, mulus, sesuai dengan ekspektasi diri.
Olehnya itu, ambisi perlu dikontrol agar tetap berada pada jalan yang tepat. Dilain sisi, tidak bisa dinafikan dalam diri manusia terdapat potensi menyimpang. Sehingga Gen Z yang terlalu ambisius dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai impiannya.
Selain itu, Gen Z rentan mengalami depresi lantaran ambisi yang terlalu besar. Sering kali mereka kurang tepat dalam pengambilan keputusan yang berujung pada terganggunya kondisi kejiwaannya.
Ketika diperhadapkan kegagalan secara berulang, Gen Z sukar untuk menerima hal tersebut. Walaupun kita melihat dorongan ambisi mampu memberikan semangat dan pantang menyerah, namun dilain sisi ketika sudah berada pada titik kegagalan, maka Gen Z tidak mampu menerimanya dengan lapang dada.
Ketiga, Gen Z dikenal sebagai generasi yang menyukai kebebasan.
Mereka begitu mengedepankan rasionalitas, misalnya dalam memandang sebuah aturan. Perlu ada penjelasan secara logis kenapa hal ini harus dan tidak boleh dilakukan.
Salah satu faktornya adalah Gen Z lahir dan berkembang di zaman modern. Ketika rezim dan tirani tidak punya lagi otoritas untuk mengatur penduduknya secara sepihak.
Gen Z suka akan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berkreasi dan sebagainya. Gen Z cenderung lebih inklusif atau terbuka akan keberagaman, mulai dari agama, ras, suku budaya, hingga tataran pola pikir.
Kualitas toleransi yang melekat pada Gen Z akibat dari peran media sosial. Mereka dapat melihat dan mengenal berbagai karakteristik manusia seluruh penjuru dunia.
Lalu, bagaimana potensi Gen Z dalam membangun ekosistem kepemimpinan yang inklusif?
Kalau kita memandang secara positif, seluruh karakteristik Gen Z tadi merupakan potensi yang dapat menjadi modal dalam membangun ekosistem kepemimpinan yang inklusif.
Namun penting dipahami bersama bahwa kepemimpinan bukan tentang siapa yang jadi ketua, koordinator, kepala, presiden, gubernur, walikota, bupati dan seterusnya. Kepemimpinan adalah tentang siapa yang membawa ide dan gagasan, serta siapa yang mampu memberi dampak, sekecil apapun itu.
Sebenarnya setiap orang berpotensi untuk mencapai kepemimpinan paripurna. Kita semua punya ide dan gagasan.
Hanya saja, perlu memperkuat sikap keterbukaan dalam memahami dan menyikapi ide yang berbeda dengan isi kepala kita. Gen Z punya peran penting dalam membangun ekosistem kepemimpinan yang inklusif karena eksistensinya yang mendominsasi. Kondisi demikian dikenal dengan istilah Bonus Demografi.
Lebih jauh, Gen Z akan memegang peranan penting di berbagai sektor kehidupan. Memang butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai cita-cita kehidupan inklusif terbuka dan berkeadilan, itu pun tidak ada jaminan dapat terwujud.
Hemat penulis, gerakan-gerakan kecil bisa membangun ekosistem yang besar. Potensi daya kreatif dan keterbukaan yang dimiliki Gen Z merupakan sebuah modal dalam membangun ekosistem yang dicita-citakan.
Artinya pertukaran ide dan gagasan dalam sebuah dialog yang logis adalah sebuah sikap rasional dalam memandang sebuah perbedaan. Individu didalam ekosistem akan membangun ekosistem inklusif yang terjadi secara terus menerus dan meluas.
Gerakan membangun ekosistem kepemimpinan yang inklusif adalah gerakan menuju hidup yang berkeadilan dan gerakan tersebut adalah sebuah jalan mendekat kepada pemilik keadilan, Sang Maha Adil”
Erwin, Koordinator Leadership Sulsel
