Oleh : Dr Sukaca*
OPINI, EDUNEWS.ID –Janur Kuning adalah daun kelapa yang masih muda. Pada awal perang kemerdekaan, Janur Kuning sangat terkenal. Serangan Umum TNI tanggal 1 Maret 1949, meskipun hanya menduduki ibu kota negara selama beberapa jam, mampu membuka mata dunia sekaligus membungkam Belanda di kancah internasional. Pasukan yang dipimpin oleh Soeharto pada serangan umum di Yogyakarta tersebut menggunakan simbol Janur Kuning yang dikaitkan di bahu tangan kiri setiap prajurit TNI.
Isu dugaan ijazah palsu Jokowi saat ini terus bergulir, bukannya surut, tetapi justru berkembang tanpa arah. Awalnya, isu ini sebatas keabsahan ijazah, kemudian berkembang ke keabsahan skripsi bahkan lokasi KKN, dan terakhir isu adanya orang besar di baliknya. Tiga alumni UGM sebagai aktor utama terus berteriak lantang menggulirkan isu tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah motifnya benar-benar penelitian ilmiah atau ada motif lainnya? Bagaimana pula dengan sikap Bapak Jokowi yang terlihat santai serta kapan pula penyidikan kasus tersebut akan naik ke persidangan?
Di berbagai kesempatan, baik Roy Suryo, Rismon Sianipar, maupun dr. Tifa menyatakan sebagai peneliti yang sedang melakukan kegiatan ilmiah karena tidak ingin ada mantan pejabat publik sekelas Jokowi menggunakan ijazah palsu dalam memperoleh jabatannya. Benarkah demikian?
Mantan Menko Polhukam, Prof. Dr. Mahfud MD, menyatakan bahwa seandainya pun ijazah mantan Gubernur DKI tersebut terbukti palsu, tidak akan berimplikasi pada keputusan dan kebijakan yang telah dibuat sewaktu menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI, maupun sebagai Presiden. Pendapat mantan Ketua MK ini selaras dengan asas dalam hukum, yakni “Presumtion Iustia Causa” yang artinya adalah suatu keputusan dianggap benar menurut hukum sampai dengan dibuktikan sebaliknya atau dibatalkan oleh pengadilan.
Farhat Abbas selaku kuasa hukum Prof. Paiman Raharjo pada acara di iNews TV menyatakan bahwa langkah Roy Suryo dan kawan-kawan tidak lebih hanya mengolok-olok mantan Presiden Jokowi. Apa yang disampaikan Farhat tersebut sesuai hasil uji forensik Bareskrim Polri yang menyatakan ijazah Jokowi identik. Dengan bahasa sederhana, ijazah Jokowi asli. Karena itu, Bareskrim menghentikan penyelidikan (SP3), yang berarti tidak menemukan unsur pidana sehingga tidak mungkin laporan dugaan tindak pidana pemalsuan ijazah Jokowi dinaikkan ke proses penyidikan, apalagi ke pengadilan.
Meskipun demikian, keputusan Bareskrim Polri ini ditentang oleh Roy Suryo dengan alasan keaslian ijazah Jokowi hanya pengadilan yang berwenang menguji. Pendapat ini lemah karena penyidik Mabes Polri tidak menemukan unsur pidana dalam proses penyelidikan. Seharusnya, pihak pelapor memberikan bukti yang lengkap kepada penyidik Bareskrim Mabes Polri walaupun telah dikeluarkan SP3.
Suatu penelitian ilmiah setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni metodologi dan pengambilan sampel penelitian. Tidak jelas metodologi yang digunakan oleh Resmon Sianipar yang katanya melakukan penelitian ilmiah, bahkan identitasnya sebagai peneliti pun dipertanyakan banyak pihak. Peneliti dari mana? Hasil penelitian dan kajian yang sudah dilakukan apa saja? Dilihat dari cara pengambilan sampel yang hanya mendasarkan pada data sekunder dan tidak pernah menelisik ijazah asli, apalagi objek penelitiannya pun berubah — awalnya keaslian ijazah, kemudian keabsahan skripsi, dan terakhir KKN — justru menguatkan keraguan yang bersangkutan sebagai peneliti.
Mengutip pernyataan staf ahli Kapolri, Ariyanto Setiadi, pada saat gelar perkara khusus, bahwa cara penulisan skripsi pada tahun 1985 di Fakultas Kehutanan UGM, seperti yang dimiliki Jokowi, bukanlah hal asing. Hampir separuh yang seperti itu. Ini menunjukkan bahwa Resmon Sianipar tidak cukup lengkap mengambil sampel penelitian. Seharusnya, ijazah ataupun skripsi yang dijadikan sampel sekurang-kurangnya adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan satu angkatan Jokowi. Kurangnya sampel penelitian berimplikasi pada diragukannya hasil penelitiannya.
Penolakan Bapak Jokowi untuk menunjukkan ijazah asli kepada Rismon Sianipar dan kawan-kawan cukup masuk akal, sebagaimana dalam tulisan saya sebelumnya. Resmon dan kawan-kawan yang menuduh ijazah palsu, dialah yang harus membuktikan. Apa urgensinya sehingga harus menunjukkan ijazah asli? Bisa dibayangkan kalau setiap orang tiba-tiba ingin melihat ijazah asli Bapak Jokowi, apakah tidak mengganggu privasinya? Toh, Resmon dan kawan-kawan bisa mengajukan permohonan melalui Komisi Informasi Publik sesuai UU No. 14 Tahun 2008, bukan mengumbar informasi yang belum jelas kebenarannya kepada publik.
Laporan pencemaran nama baik oleh Jokowi di Polda Metro Jaya merupakan langkah tepat. Tulisan saya tanggal 22 April 2025 telah memprediksi akhir dari kemelut ijazah palsu Jokowi akan berakhir di pengadilan atas laporan fitnah. Setelah uji forensik Mabes Polri hasilnya ijazah Jokowi identik, maka sejak saat itu muncullah hak terlapor untuk melakukan penuntutan balik.
Hingga saat ini, isu ijazah palsu Jokowi terus bergulir menjadi bahan pembicaraan banyak pihak dan menyedot perhatian publik. Penyidikan yang cepat dan tepat sangat diperlukan agar hasilnya dapat meredakan kegaduhan di masyarakat, meskipun tidak menafikan kecermatan. Yang pasti, laporan polisi dari Jokowi merupakan antiklimaks dari hiruk-pikuk penghinaan terhadap mantan Presiden ketujuh RI, sekaligus sebagai pembuka tabir terhadap suatu orkestra panjang yang merusak nama baik almamater saya, UGM. Akankah Jokowi juga menggunakan simbol “Janur Kuning”?
Sebelum penyidikan selesai, muncul aktor baru yang dituduh membuat ijazah palsu. Tentu saja, Prof. Paiman menolak mentah-mentah tudingan itu. Meskipun diakui Rektor Universitas Moestopo tersebut memiliki usaha jasa pengetikan di Pasar Pramuka, namun sejak tahun 2002 telah ditutup. Begitu pun, Roy Suryo menyatakan memiliki beberapa saksi yang menunjukkan sampai dengan tahun 2015 Prof. Paiman masih mondar-mandir di Pasar Pramuka.
Seandainya pun tudingan itu benar, apa salahnya? Tidak ada larangan bagi Bapak Rektor berkunjung ke Pasar Pramuka. Lain halnya bila para saksi itu melihat langsung pencetakan ijazah palsu Bapak Jokowi dilakukan oleh mantan Wamendes. Yang pasti, tudingan ke Prof. Paiman menambah peluang menjadi tersangka pemfitnahan lagi.
Dari narasi yang berkembang di media sosial, seolah-olah jabatan Wakil Menteri Desa diperoleh karena imbalan atas jasanya mencetak ijazah Bapak Jokowi. Padahal, sebagai Ketua Umum Relawan, beliau telah turut berjuang dalam Pilpres sehingga secara politik jabatan tersebut wajar disandangnya. Sebagai seorang guru besar, tuduhan pemalsuan ijazah adalah perbuatan yang diharamkan yang dapat merusak reputasinya dan sungguh sangat memalukan. Atas dasar itulah, beliau mengadukan ke Polda Metro Jaya untuk memulihkan nama baiknya.
Penulis adalah Alumni UGM, Kepala Pusat Kajian Otda dan PUU Univ Dirgantara Jakarta dan Dewan Pakar asosiasi DPRD Kabupaten se Indonesia
