Opini

Jokowi, Kanjuruhan, dan PSSI

Rivaldi Hapili, Penulis

*Oleh Rivaldi Hapili

OPINI, EDUNEWS.ID – Tragedi Kanjuruhan yang menyeret kurang lebih 754 orang sebagai korban kekerasan, menambah daftar hitam tragedi massal di Indonesia. Kurang lebih 133 nyawa harus melayang karena sepakbola. 

Tidak adanya kepastian hukum hingga jaminan keadilan bagi korban sampai kini belum menemui titik terang.

Mungkinkah tragedi Kanjuruhan diselesaikan dengan benar oleh negara? Di tengah sulitnya mengungkap kasus yang melibatkan aparat didalamnya.

Antara memang sulit diungkap, atau ada kesengajaan untuk menutupi, membuat publik meragukan kepemimpinan presiden Jokowi.

Tidak ada nyawa yang setara dengan sepakbola. Ia tidak bisa sekedar diungkap, seperti angka-angka statistik.

Satu nyawa yang hilang, sangat berarti, dan tak akan pernah tergantikan. Apalagi jumlahnya mencapai ratusan, sebagaimana tragedi Kanjurungan belum lama ini.

Jatuhnya ratusan korban, membuat ribuan masyarakat berduka. Publik bersolidaritas dengan mengecam dan melakukan berbagai tindakan atas represif kepolisian.

Disatu sisi, sepakbola adalah cahaya besar, yang dikenali, begitu dekat, dan digemari masyarakat segala usia.

Dari sepakbola, terbesit harapan besar, bahwa Indonesia bisa menorehkan prestasi, disaat elit pemerintahannya, justru mandul akan prestasi ‘politik nilai’.

Realita ini, menjadi satu dari sekian masalah kebangsaan yang menjadi kabut hitam menyelimuti bangsa ini.

Tragedi Kanjuruhan adalah sebuah masalah yang harus dikomunikasikan secara terbuka, dan secara adil.

Demikianlah tanggung jawab besar dalam mengurus sebuah bangsa yang kaya akan keragaman.

Tragedi Kanjuruhan hingga kini belum bisa diselesaikan oleh presiden, yang hanya bisa duduk ‘cupu’ dan menunduk di hadapan pimpinan parpol, sambil menyantap hidangan mewah.

Presiden mesti memahami, bangsa ini membutuhkan gagasan dalam merekonstruksi segala hal tentang sepakbola.

Walau pasca tragedi tersebut, pengamanan laga mulai diperketat, dan sanksi telah dijatuhkan atas oknum tertentu (penanggung jawab laga), tidak cukup mengobati rasa duka korban, keluarga, dan pecinta bola tanah air.

Setelah tragedi, kita kembali disuguhkan syahwat berkuasa di kubu PSSI, yang oleh Basri Amin disebut sebagai Mentalitas Cinta Kedudukan.

Setelah agenda KLB dihelat,  Erick Thohir terpilih sebagai Ketua Umum PSSI yang paling baru.

Tak perlu keheranan, sebab sedari dulu PSSI sudah dikuasai para politisi.

Baik Erick Thohir selaku Ketua umum dan Zainuddin Amali sebagai Wakil Ketua Umum PSSI, keduanya sama-sama memegang jabatan di rezim Jokowi.

Berbagai kejanggalan terpampang jelas. Rangkap jabatan dari menteri menjadi pengurus PSSI adalah potret yang menurut penulis, sangat tidak rasional.

Rangkap jabatan kedua menteri membuat penulis skeptis keduanya dapat bekerja profesional. 

Tidak berlebihan, PSSI kini diisi oleh berbagai manusia yang ‘haus’ jabatan. Tidak ada kepuasan baginya.

Kenyataan ini akan membuat infrastruktur sepakbola kita makin cacat, sekaligus memperlebar peluang Abuse Of Power, dan Conflict Of Interest.

Sehingga menjadi penting, tampuk kepemimpinan PSSI dibersihkan dari aktor politik dan sesegera mungkin diakhiri.

Pada titik inilah,  kepemimpinan nasional sangat dibutuhkan, untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Presiden harus mengeluarkan kebijakan, terhadap para menteri yang tidak tertib.

*Membenarkan yang Keliru

Faktanya, tidak tertibnya dua menteri Jokowi, malah dibenarkan Presiden, bahkan merestuinya.

Padahal Jokowi pernah mengatakan bahwa melarang para menteri merangkap jabatan, dengan pertimbangan banyak pekerjaan negara yang harus dituntaskan oleh menteri.

Kini, Presiden menjilat ludah sendiri. Tidak salah, bila dijuluki The King of Lip Service.

Meski begitu, sebagai pemimpin, Presiden tetap berkeharusan mengambil langkah ‘tegas’ dengan menertibkan keduanya.

Cukup satu saja, jangan rangkap-rangkap jabatan.

Hemat penulis, tiba saatnya kepemimpinan nasional, harus kembali digaungkan.

Hutang negara yang terus membengkak, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pola kerja pemerintahan yang kerap kali memberikan contoh buruk kepada masyarakat, menjadi PR besar para pejabat negeri ini.

Bukan malah berlomba-lomba memperbanyak jabatan, melampiaskan nafsu kekuasaan, dan mencederai amanah konstitusi.

Rivaldi Hapili, Rakyat Kecil

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top