Opini

Pernikahan Dini Tak Terkendali, Bagaimana Peran Kohati

Penulis

*Oleh Nadia Salsabila

OPINI, EDUNEWS.ID – Risma (bukan nama sebenarnya) menangis melihat teman-temannya bersekolah, sementara ia sibuk mengurus bayinya yang berusia 2 bulan.

Risma menikah muda karena faktor pergaulan bebas sejak SMP. Namun, dia bukan satu-satunya siswa yang merasakan itu. 

Baru-baru ini 54 anak di Aceh Besar mengajukan dispensasi nikah. Ini merupakan kasus terbanyak karena hamil di luar nikah.

Kita ketahui bersama, berdasarkan UU terbaru (2019) tentang batas usia pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Itu artinya mereka yang mengajukan masih di bawah 19 tahun. 

Kasus yang terjadi di Aceh Besar bukan satu-satunya. Ketua Pengadilan Agama Kota Baubau Makbul Bakari mengatakan 46 orang anak di bawah umur di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, mengajukan permohonan dispensasi kawin melalui pihak pengadilan agama setempat sepanjang 2022. 

Selanjutnya, data Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, angka permohonan dispensasi kawin (diska) di Provinsi Jawa Timur pada 2022 mencapai 15.212 kasus. 

Kasus-kasus di atas perlu mendapat perhatian khusus. Mengingat usia mereka masih usia sekolah.

Selain itu, usia pernikahan dibawah umur memiliki dampak negatif. Misalnya mengalami depresi dan gangguan mental. 

Masalah akut tersebut dikuatkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa ditemukan fakta sebanyak 53 persen pelaku usia dini mengalaminya. 

Bukan hanya itu, kehamilan resiko tinggi serta kematian ketika melahirkan. Secara umum dapat dikatakan, pernikahan usia memiliki dampak negatif.

Lalu bagaimana Islam memandang usia pernikahan di bawah umur?

Dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas usia pernikahan, namun  Al-Qur’an menjelaskan secara umum mengenai kapan seseorang bisa dinikahkan.

Dalam Surah An-Nisa yang artinya ”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. Al-Nisâ:6) 

Bila dikaitkan dengan UU pernikahan tahun 2019, usia 19 tahun sebagai batas minimal, maka Islam dan hukum negara tidak bertentangan. Namun saling melengkapi.

Kemudian, berkaca dari dampak negatif pernikahan usia di bawah umur, maka perlu regulasi yang tegas.

Selain edukasi secara terorganisir dan terstruktur serta massif agar tidak terjadi nikah di usia dini. 

Sejauh ini, dampak negatif (mudharat) pernikahan usia dini belum teraktualisasi dan tersosialisasi secara optimal.

Olehnya, pemerintah sebaiknya mengajak komponen sipil, mahasiswa, LSM untuk ikut bergerak. Dengan demikian, usaha pencegahan dapat dilakukan lebih maksimal. 

Menurut pandangan saya selaku Kohati (Korps HMI-Wati) sebagai kelompok perempuan cerdas harus lebih aktif mengedukasi.

Kegiatan sosialisasi dampak negatif pernikahan usia dini masih kurang. Bila perlu, kohati menjadi garda terdepan menyuarakan apalagi perempuan menjadi objek dalam pernikahan usia dini. 

Sebab bagaimanapun, perempuan yang paling dirugikan dari pernikahan usia dini. Perempuan kerap disalahkan, dipandang rendah, hingga menelan resiko kematian karena hamil di usia muda.

Semoga Kohati tidak lagi mengabaikan tugas mulia ini, sebagai insan beriman dan berilmu, harus mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yakin usaha sampai

Nadia Salsabila, Peserta Training Raya LKK Tingkat Nasional  HMI Cabang Jakarta Raya 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top