Oleh: Muhammad Yusran*
OPINI, EDUNEWS.ID – Peresmian gedung baru perpustakaan Kabupaten Takalar beberapa hari yang lalu menjadi momentum refleksi arah gerakan literasi kedepannya ri Butta Panrannuanta.
Jangan sampai kita terlena dengan gedung mewah sehingga infrastruktur keilmuan menjadi ambruk.
Prosesi seremonial peresmian yang berlangsung meriah harus menjadi spirit agar gedung perpustakaan tidak lagi menjadi sarang laba-laba karena sepi pengunjung.
Dalam sambutannya, Bupati Takalar menyampaikan bahwa perpustakaan harus menjadi industri literasi.
Contoh yang diangkat adalah penerbit terbesar dunia dan jurnal internasional yang memiliki omset puluhan triliun setiap tahun.
Namun, bagaimana urgensi gagasan ini?. Takutnya hanya menjadi ungkapan utopis yang belum dibutuhkan masyarakat.
Dalam memberikan solusi maka kita harus mengetahui akar permasalahan. Apabila kita salah menganalisis maka solusi yang diberikan akan hampa.
Ketertinggalan teknologi, masalah pendidikan, dan ekonomi terbelakang bukanlah sebab yang menjadikan masyarakat Takalar begini-begini saja.
Lebih tepatnya, ini terjadi akibat keterpurukan masyarakat.
Artinya ada sesuatu mendasar yang harus diubah sebelum beralih kepada gagasan menyejahterakan masyarakat dengan industri literasi.
Dalam sejarah dunia, peradaban-peradaban yang maju memiliki suatu kesamaan, yaitu meningkatnya taraf berpikir (Siri’) dan kemampuan merasa (pacce).
Meningkatnya siri’ na pacce inilah yang akan membawa perubahan pada seluruh aspek kehidupan.
Kemudian siri’ na pacce mengkristal membentuk idealisme hidup bagi masyarakat.
Ranggong Daeng Romo telah memberikan keteladanan merawat idealisme yang berangkat dari siri’ na pacce. Sehingga berhasil mengukir sejarah saat memimpin ratusan pasukan Lapris menyerang pertahanan Belanda.
Hemat penulis, realitas hidup masyarakat Takalar tidak akan lebih jauh dari area yang tersorot mercusuar pikirannya.
Maka perpustakaan harus berperan sebagai industri pikiran untuk mengubah realitas hidup masyarakat.
Sebuah pelacuran literasi jika gedung perpustakaan Takalar minim kegiatan dan hanya menjadi bahan glorifikasi pemerintah.
Senandung gerakan literasi harus terngiang di seluruh telinga masyarakat terkhusus pemerintah.
Menjadi ladang pahala bagi Pj Bupati Takalar jika berkenan mengawal gerakan literasi.
Pj Bupati Takalar dapat menggunakan wewenangnya untuk menjadikan perpustakaan sebagai ring tinju gagasan dan arena pertengkaran intelektual.
Agar seluruh komponen bisa berkolaborasi meramu gagasan untuk merekonstruksi kesejahteraan masyarakat Takalar dengan literasi.
Gerakan Akar Rumput
Geliat literasi di Takalar tidak bisa dipisahkan dengan gerakan akar rumput para komunitas.
Hadirnya puluhan rumah baca dan masifnya dialektika gagasan menjadi bukti konkret kontribusi nyata komunitas literasi ri Butta Panrannuanta.
Angin literasi yang diciptakan para penggiat berhembus dari pelosok Mangngarabombang hingga pulau Tanakeke.
Apalagi dengan kehadiran Persatuan Penggiat Literasi Takalar (PELITA) sebagai wadah kolaborasi, menjadi potensi terciptanya tsunami literasi ri Butta Panrannuanta.
Kehendak itu lahir dari rahim pacce yang dituntun dengan siri’ yakni jika ada diujung Takalar sana yang terbatas akses bacaan dan anak yang buta huruf, maka kita harus mengatakan ini adalah tanggung jawabku.
Jika ada problematika sosial yang belum terselesaikan maka kita harus berseru inilah ruang kontribusiku.
Inovasi yang di usung oleh penggiat literasi Takalar adalah Perpustakaan punggung kepulau (KULAU) menjadi ransel media gerakan yang bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan dan aktivitas pendidikan di pulau Tanakeke lewat kolaborasi program.
Ini menjadi ikhtiar untuk menepis bahwa perpustakaan hanya sebatas gedung yang berisi bahan pustaka.
Perpustakaan harus menjadi rumah solusi agar masyarakat terhindar dari hujan kebodohan.
Percuma perpustakaan dengan gedung mewah jika tidak ada aktivitas literasi di dalamnya.
Poin pentingnya adalah efek kebermanfaatan dan kontribusinya untuk masyarakat.
Sudah cukup masyarakat Takalar menyaksikan pemerintah yang malas berpikir dan tuna rasa (Tena Pacce). Kita sudah bosan dengan fenomena pemerintah bertitel yang buta huruf.
Mereka alpa membaca lembaran kehidupan masyarakat, tidak mampu menelaah paragraf penderitaan rakyat, dan gagal mengeja problematika ri Butta Panrannuanta.
Sehingga kita berharap dari kehadiran gedung baru perpustakaan bisa menjadi rumah solusi.
Kita berharap gedung tersebut menyuplai masyarakat dengan referensi cerita perjuangan pahlawan Takalar, sejarah panjang masyarakat Takalar dan buku edukasi budaya tentang potensi ri Butta Panrannuanta.
Jangan sampai hanya menjadi gedung mewah yang susah diakses. Hanya riuh saat peresmian, kaya buku tetapi miskin gagasan.
Peresmian gedung perpustakaan baru menjadi pengingat bagi kita bahwa begitu banyak hutang literasi (masalah sosial) yang harus ditebus.
Ramuan solusi harus kita racik bersama dan perpustakaan harus menjadi kliniknya.
Sebab perpustakaan bukanlah sebatas gedung mewah yang dipenuhi buku, tetapi sebuah rumah solusi untuk mendidik siri’ dan menumbuhkan pacce.
Muhammad Yusran, Founder Rumah Baca Pesisir
