*Oleh Mahmud Wafi
OPINI, EDUNEWS.ID – Agaknya kita perlu memahami lebih cermat kenapa politik kekerabatan (kinship) sangat lestari di negeri ini, hampir di segala level pemerintahan dan nyaris di semua daerah.
Temuan Nagara Institute (2020), hampir 80 wilayah di seluruh Indonesia didominasi politik dinasti, dimana kekuasaan politik diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga tertentu.
Dengan fakta ini, kita tidak perlu kaget jika seandainya di level puncak kekuasaan terjadi akrobat politik serupa. Praktik ini sudah mengakar dan menubuh dalam tradisi politik kita.
Dalam konteks politik, watak masyarakat primordial memberikan ruang bagi politik kekerabatan tumbuh subur. Pertimbangan etnis, kepercayaan, budaya dan sejenisnya masih sangat lekat di masyarakat dalam bersinggungan dengan politik kekuasaan.
Sikap politik semacam ini sering dianggap emotional-oriented, alih-alih rasional. Pembentukan loyalitas dan trust politik dalam masyarakat selalu didasari oleh kesamaan identitas. Politik kekerabatan secara epistemologis justru dilestarikan oleh primordialisme yang sangat kuat di masyarakat.
Secara struktural, politik kekerabatan bisa dipandang sebagai konsekuensi dari ketimpangan kekuasaan. Jatuhnya pilihan atas ahli keluarga untuk menduduki posisi politik tertentu dapat memberikan proteksi dari manuver lawan politik.
Praktik semacam ini jamak kita temui terutama di tingkat daerah, dan bukan hal yang tabu. Awalnya hanya berkuasa di eksekutif, misalnya, lama-kelamaan membesar dan memegang pengaruh di legislatif, yudikatif, dan seterusnya.
Dengan demikian, kekuasaan yang tidak merata melanggengkan politik kekerabatan guna mengimbangi pengaruh dan perebutan kuasa dari lawan politik. Untuk tujuan itu, homo policos cenderung berkoloni berdasarkan kesamaan identitas, ikatan darah, dan kecocokan kepentingan.
Dengan kata lain, politik kekerabatan tak lebih dari upaya survive dari ancaman lawan politik dan akibat dari kekuasaan yang tidak merata.
Selain itu, politik kekerabatan berkembang secara berkelanjutan berkat kuatnya jaringan politik antar anggota keluarga. Jaringan ini dapat dibangun melalui hubungan keluarga, pernikahan atau relasi kekerabatan lainnya.
Dalam politik kekerabatan, anggota keluarga saling mendukung dan melindungi kepentingan politik. Di sisi ini, politik kekerabatan berkelindan erat dengan skema patron-client, yang diposisikan guna mengekalkan dominasi politik keluarga. Walhasil, sumber daya, privilege, dan kapital hanya mengalir di situ-situ saja.
Di samping itu, basis (grassroot), menurut Lisa M. Martinez (Politizing Family, 2010), juga memainkan peran krusial dalam mengorganisir kekuatan keluarga dalam politik.
Rata-rata aktivisme politik kekerabatan selalu didukung simpatisan militan yang bertugas melayani secara prima apapun permintaan majikan.
Simpatisan ini dalam istilah Edward Aspinall disebut dengan broker politik karena merujuk pada cara kerjanya dalam membangun rasionalisasi artifisial di muka publik untuk memenangkan induk semang dan keluarga.
Selanjutnya, kemungkinan apa yang muncul jika politik kekerabatan terlanjur menguat?
Pertama, terbentuk oligarki keluarga. Kedua, menghambat partisipasi politik yang adil.
Oligarki keluarga mengindikasikan kendali kekuasaan hanya pada satu keluarga tertentu. Kepentingan keluarga ialah yang utama, meski harus mengebiri partisipasi publik. Ini tentunya kabar buruk bagi demokrasi.
Oligarki keluarga dalam tatanan demokrasi merupakan hal yang absurd, beda halnya dengan sistem kerajaan seperti Saudi, Qatar, dan lain-lain dimana keluarga jadi tumpuan kekuasaan.
Penimbunan kekuasaan pada segelintir orang menutup celah power participation, sebab segala urusan publik selesai di meja makan keluarga. Dengan demikian, dampak terburuk dari model ini dalam konteks Indonesia di antaranya dapat memantik instabilitas politik dan degradasi demokrasi.
Jeffrey A. Winter, pakar oligarki tersohor itu, bahkan mengungkapkan oligarki sangat potensial menetaskan ketidaksetaraan ekstrem, baik kekayaan maupun kekuasaan yang memicu bencana sosial lebih besar.
Untuk kemungkinan kedua, politik kekerabatan dengan serampangan akan mengabaikan prinsip meritokrasi dan kompetensi. Ini sebentuk kezaliman di tengah masyarakat demokratis dan berkebudayaan.
Orang-orang bisa saja berdalil untuk menjustifikasi politik kekerabatan asal kompeten, pilihan rakyat, dan seterusnya. Namun yang jadi pertanyaan, kalau instrumen kekuasaan semua sudah di bawah kendali keluarga apa artinya penilaian terhadap kompetensi.
Pembuktian terbuka melalui kinerja dan determinasi pada prinsip integritas adalah keniscayaan bagi pewaris kekuasaan.
Kenapa publik Indonesia agak risih dan cenderung berang terhadap politik kinship ini? Saya menduga-duga ini wujud ekspresif dari trauma historis, bayang-bayang otoritarianisme di masa silam memberi pelajaran berharga bagi bangsa ini.
Keseriusan bangsa ini bergerak progresif ke arah demokrasi ideal justru harus diganggu oleh masalah-masalah klasik. Kesadaran demokrasi mengharuskan sirkulasi kekuasaan dan penafian nepotisme, sedangkan politik kekeluargaan ingin membatalkan itu.
Sehingga, wajar jika publik agak reaksioner, tak ingin perjuangan demokrasi berakhir pilu.
Mahmud Wafi, Enthusiast of Islamic Politics and Researcher of Artikula Institute
