Oleh Ibrahim Bahri*
(Penulis merupakan aktivis HMI Cabang Makassar)
OPINI, EDUNEWS.ID – Raja Ampat, nama yang tidak asing bagi dunia. Ia disebut sebagai salah satu titik keanekaragaman hayati laut tertinggi di bumi. Lautnya menyimpan lebih dari 1.500 spesies ikan dan ratusan jenis karang.
Pulau-pulaunya hijau, rimbun, penuh nyawa. Dari udara, gugusan itu tampak seperti mozaik surgawi yang belum ternoda. Tapi kini, awan gelap datang perlahan-lahan. Bukan badai alami, melainkan badai buatan manusia: tambang nikel PT.GAG yang mengancam segalanya.
PT.GAG adalah anak usaha dari PT Antam Tbk, yang dalam beberapa tahun terakhir memfokuskan ekspansi tambang nikel di Papua Barat, tepatnya di Pulau Waigeo, Raja Ampat.
Mereka datang dengan membawa dokumen izin, mesin berat, dan janji-janji kesejahteraan. Tapi masyarakat lokal mulai bertanya: benarkah tambang ini demi rakyat, atau demi pasar global?
Kemajuan atau Kehancuran
Pemerintah dan pihak korporasi mungkin akan menjual narasi bahwa tambang adalah jalan keluar dari kemiskinan, keterbelakangan, dan keterisolasian. Mereka bicara tentang lapangan kerja, pajak, dan fasilitas. Namun sejarah di berbagai daerah membuktikan: tambang lebih sering meninggalkan kerusakan ketimbang keberkahan. Ketika tanah dikeruk, air berubah warna, udara menjadi sesak, dan hutan menghilang kesejahteraan menjadi kata kosong.
Nikel adalah bahan baku baterai mobil listrik, simbol energi hijau. Ironisnya, untuk mewujudkan “energi bersih”, kita mengorbankan wilayah yang masih benar-benar bersih secara ekologis. Apakah ini bukan bentuk kemunafikan global yang disetujui oleh kekuasaan lokal?
Raja Ampat Bukan Tanah Kosong
Seringkali narasi pembangunan di Papua lahir dari cara pandang yang salah: bahwa Papua adalah tanah kosong yang siap dikelola. Padahal, tanah itu dihuni oleh masyarakat adat, oleh budaya yang hidup bersama alam, oleh hutan yang menjadi bagian dari identitas mereka. Masyarakat adat di Raja Ampat bukan anti-pembangunan, tetapi mereka menolak bentuk pembangunan yang merampas, meminggirkan, dan memutus warisan alam.
Mereka tidak bisa makan janji. Mereka tidak bisa memanen lubang tambang. Yang mereka butuhkan adalah tanah yang tetap hijau, laut yang tetap jernih, dan udara yang tetap layak dihirup anak cucu mereka kelak.
Sekali tambang masuk, kerusakan yang ditinggalkan hampir mustahil diperbaiki. Hutan primer akan lenyap. Satwa endemik kehilangan habitat. Limbah mencemari laut dan sungai. Dan ketika sumber daya habis, tambang pergi meninggalkan tanah tak subur dan masyarakat yang dibebani trauma, tanpa alternatif penghidupan.
Lebih dari itu, kerusakan ekologis akan mengganggu keseimbangan spiritual dan budaya masyarakat lokal. Bagi mereka, tanah bukan sekadar tempat berpijak ia adalah roh kehidupan, ia adalah identitas.
Suara yang Harus Didengar
Kini masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan sebagian pemimpin adat mulai bersuara. Mereka menolak tambang di Raja Ampat. Mereka tidak ingin surga terakhir di bumi menjadi neraka baru karena kerakusan manusia. Tapi suara mereka kerap tenggelam oleh kekuasaan, oleh dana besar, oleh narasi pembangunan yang dipaksakan.
Apakah kita akan diam saat laut rusak, hutan hilang, dan manusia hanya bisa meratap? Apakah kita rela mewariskan tanah gersang kepada anak-anak kita nanti, hanya karena kita takut bersuara hari ini?
Raja Ampat tidak butuh tambang. Ia butuh perlindungan. Ia butuh kesadaran bersama bahwa tidak semua tanah bisa dibeli, tidak semua alam bisa ditukar dengan uang. Jika hari ini kita tidak menjaga, maka esok kita hanya bisa menangisi.
Menjaga alam Raja Ampat adalah menjaga kehidupan. Bukan hanya untuk orang Papua, tetapi untuk dunia. Dan saat tambang menjadi ancaman nyata, maka menolak adalah bentuk keberpihakan pada kehidupan itu sendiri.
