Lingkungan

Reklamasi, MNP, dan Nelayan Tallo; Awal Mula Penyengsaraan

Penulis.

*Oleh Ian Hidayat

WACANA, EDUNEWS.ID – 21 November, Selasa sore, Saya berkunjung ke ujung timur Ujung Pandang.

Ujung Pandang adalah sebutan lain untuk Kota Makassar. Saya lebih senang menggunakan kata ‘Ujung Pandang’ dibanding ‘Makassar’. Sebab kata ‘Makassar’ menunjukkan satu suku tertentu.

Di ujung timur Ujung Pandang terdapat sebuah makam raja-raja. Berdekatan dengan itu, dibangun sebuah pelabuhan megah yang menghubungkan Ujung Pandang dengan kota-kota besar lainnya, Makassar New Port (MNP). Makassar New Port terletak di Tallo, berdekatan dengan itu juga tinggal masyarakat Nelayan.

Saya bersama Benar mengunjungi salah satu masyarakat Nelayan Tallo. ‘Benar’ disini adalah sebuah nama, bukan kata logika yang positif. Mungkin ayahnya penggemar Abu Bakar Assidiq, ‘Assidiq’ bisa disamakan dengan ‘benar’ dalam bahasa Indonesia. Itu inspirasi nama Benar.

Saya dan Benar menemui Matahari. Matahari adalah seorang masyarakat Tallo, sekarang Ia banyak beraktifitas sebagai “payabo”. Payabo merupakan bahasa daerah Makassar untuk pengumpul sampah. Matahari memiliki 2 anak.

Dulunya Matahari bekerja sebagai nelayan kerang. Daerah pesisir Tallo dulunya tempat melimpah untuk beberapa jenis kerang dan kepiting.

Iya, dulu. ‘Dulu’ merupakan kata yang unik. Kata itu merupakan kunci untuk menuju gerbang masa lampau sebelum waktu tiba. ‘Dulu’ juga dapat menghasilkan kebahagian, menuju masa lalu dan mengingat masa-masa membahagiakan yang pernah dilewati. Tapi ‘dulu’ juga dapat memancing kesedihan, sebab masa-masa kebahagian di masa lalu yang tak bisa diulangi membuat orang bersedih.

Itu yang dirasakan Matahari. Matahari hanya dapat mengenang masa-masa bahagianya dulu. Sebelum MNP beroperasi, Matahari dan beberapa Nelayan Tallo dapat menghasilkan pendapatan hingga Rp 200.000 per hari jika musim kerang tiba. Setara kerang hingga 5 ember. Sekarang, jangankan 5 ember, memenuhi satu ember saja mereka kesulitan.

Reklamasi MNP yang dibangun di atas area tangkap nelayan mempersempit ruang hidup masyarakat Tallo. Akibatnya Matahari dan beberapa nelayan lainnya memilih pekerjaan lain. Sayangnya, kebiasaan yang dibangun secara turun temurun di laut menyebabkan mereka kesulitan mencari pekerjaan.

Matahari sangat dekat dengan laut. Matahari tidak bisa dipisahkan dari laut, ia mencoba mencari pekerjaan di laut. Pilihan paling memungkinkan adalah memungut sampah-sampah plastik di laut.

Negara perlu bertanggung jawab atas hilangnya ruang hidup karena jadi fasilitator.

Negara merubah nelayan menjadi Payabo lewat program Bank Sampah. Jadi, para nelayan yang tidak memiliki kapal besar untuk melaut difasilitasi untuk menjual sampah plastik ke Bank Sampah. Tentu saja hasil ekonominya berbeda jauh ketika mereka menjadi Nelayan.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Hal itu pantas disematkan untuk Matahari. Sehabis ruang hidupnya dihilangkan kini motor suaminya diambil paksa.

Suami Matahari bekerja sebagai ojek pangkalan di Pasar Daya. Motor yang digunakan hasil dari menjadi debitur di salah satu perusahaan di Makassar.

Satu waktu, motornya ditarik oleh kreditur. Padahal Matahari sudah membayar sesuai perjanjian awal yang Ia sepakati dengan kreditur.

“Ada bede program kuikuti waktu covid, padahal nda pernah ka tanda tangan” jelasnya sambil terisak menangis.

Tak adanya surat jaminan fidusia yang diterima Matahari dari kreditur menjelaskan satu hal.

Kami mendapati fakta bahwa jaminan fidusia tidak disosialisasikan dengan baik oleh pihak kreditur.

Kami juga mendapati fakta bahwa dalam perubahan adendum perjanjian tidak ada kesepekatan yang sah. Apa yang disepakati dalam adendum berbeda dengan yang dialami oleh Matahari.

Matahari telah mengeluarkan biaya hingga lebih dari Rp. 20.000.000 untuk membayar kredit motornya. Sampai hari ini Matahari tidak tahu bagaimana nasibnya kelak.

Matahari adalah contoh kecil dari banyaknya korban reklamasi. Para korban harus tetap melawan. Di Ujung Pandang, reklamasi akan terus ada. Sejalan dengan itu, akan selalu ada nelayan yang dirugikan.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat dari buku Agus Mustafa, “Neraka itu bukan fenomena rabbiyah, tapi neraka itu adalah kondisi yang tercipta akibat kerakusan manusia”.

Ian Hidayat, Volunteer YLBHI-LBH Makassar
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top