JAKARTA, EDUNEWS.ID – Dilansir dari analisis Toxic Bond Initiative, Adaro telah dinobatkan sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor sedunia. Adaro bergabung dengan jajaran perusahaan bahan bakar fosil terbesar di dunia dari berbagai belahan dunia seperti Adani, Exxon, Shell, Saudi Aramco dan Total Energies.
Berdasarkan Toxic Bonds Initiative, tahun ini akan ada hampir US$54 miliar obligasi dari perusahaan energi kotor yang akan jatuh tempo, termasuk obligasi milik Adaro. Di tanggal 31 Oktober tahun ini, obligasi milik anak perusahaan Adaro Energy Indonesia (ADRO), Adaro Indonesia, sebesar US$750 juta akan jatuh tempo. Adaro belum mengumumkan rencana refinancing untuk obligasi tersebut.
Nabilla Gunawan, Campaigner Energi dan Keuangan dari lembaga Market Forces, mengatakan bahwa walaupun Adaro belum mengumumkan rencana refinancing, prospek untuk mendapatkan dukungan investor sangat suram jika Adaro tidak segera membatasi dan transisi keluar dari batu-bara.
“Saat ini sudah ada lebih dari 200 lembaga keuangan yang memiliki kebijakan divestasi dari energi kotor, sudah tidak dapat dipungkiri, saat ini batu-bara kotor telah menjadi musuh bersama investor,” ucap Nabilla, dalam keterangan yang diterima edunews.id, Jumat 6 April 2024.
Nabilla juga menyampaikan bahwa tanpa rencana yang kredibel untuk transisi keluar dari bisnis batu-bara yang sejalan dengan net zero di tahun 2050, dan dengan berkurangnya sumber pendanaan batu-bara, premi Adaro untuk hutang maupun obligasi dapat meningkat.
Penobatan Adaro sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor di dunia terjadi di saat yang bersamaan setelah rentetan perusahaan dan bank-bank meninggalkan Adaro.
Contohnya, belum lama ini Hyundai keluar dari perjanjian MoU pembelian aluminium dari produksi Adaro Minerals (ADMR). Berdasarkan data Market Forces, ketika Adaro mencari pendanaan untuk proyek smelter dan pembangkit listrik PLTU tahun lalu, melalui Kalimantan Aluminium Industry (KAI) dan Kaltara Power Indonesia (KPI), Adaro juga tidak berhasil mendapatkan komitmen bank internasional.
Dengan meningkatnya risiko pendanaan aset dan perusahaan batu-bara, mayoritas perbankan internasional telah menutup pendanaan ke sektor tersebut.
Namun, berdasarkan analisis Bank Track, dengan menyusutnya pinjaman bank untuk sektor batu-bara dan energi fosil, perusahaan energi kotor beralih ke obligasi sebagai opsi instrumen pendanaan eksternal. Obligasi mewakili 53% dari pendanaan eksternal untuk perusahaan energi di tahun 2020, sedangkan angka tersebut 26% di tahun 2010.
Berdasarkan survei Standards & Poor’s (S&P), kebijakan perbankan untuk membatasi penyaluran kredit ke utang perusahaan batu-bara saat ini lebih ketat dibanding kebijakan investor untuk mendanai obligasi – melalui bentuk saluran kredit maupun jasa underwriting – perusahaan batu-bara.
Apekshita Varshney, Campaigner untuk Akuntabilitas Korporasi di Organisasi Ekō, mendesak perbankan untuk mengakui bahwa membantu underwriting Adaro sama dengan mendukung bisnis tanpa rencana transisi yang kredibel.
“Hal ini akan merusak reputasi perbankan, jika Adaro tidak meninggalkan proyek PLTU batu-bara ini, maka bijaksana untuk investor dan bank untuk menolak dukungan untuk hutang maupun obligasi terhadap seluruh unit usaha Adaro.” Sebut Apekshita.
Meningkatnya kesadaran orang muda, terutama dalam kalangan gen-Z, terhadap sustainability juga akan menjadi tuntutan bagi perbankan domestik Indonesia untuk meningkatkan praktik pendanaan yang lebih hijau, bersih, dan bertanggung jawab.
Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara dan perwakilan Kampanye #BersihkanBankmu mengatakan bahwa permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini menjadi isu yang sudah diperhatikan oleh generasi muda.
“Dengan mengetahui bahwa bank yang berinvestasi terhadap permasalahan krisis iklim, bank-bank domestik Indonesia harusnya sadar diri, menjauh dari sumber permasalahan krisis iklim yaitu perusahaan energi kotor seperti Adaro dan melakukan langkah nyata dengan berinvestasi terhadap transisi energi yang bersih dan berkeadilan,” sebut Reka.
Reka menambahkan bahwa bank-bank domestik bersikap sangat tidak bertanggung jawab jika mereka terus mendukung perusahaan yang mengotori udara dan memperparah krisis iklim. (rls)
